Rabu, Desember 18, 2024
27.4 C
Jakarta

Gereja Katolik dan Raja Inggris, Bagaimana Charles III di Hadapan Masalah Iman?

Paus Fransiskus berjumpa dengan Pangeran Charles, yang kini telah dinobatkan menjadi Raja Charles III. Catholic Herald.

LONDON, Pena Katolik – Dalam Journal of a Soul-nya, Paus Yohanes XXIII mencatat pada tanggal 29 April 1903, Roma merayakan kedatangan Raja Edward VII, Raja Inggris. Angelo Roncalli (kelak menjadi Paus Yohanes XXIII) muda sedang berada di seminari di Roma pada saat itu. Tetapi, ia jelas tidak terkesan dengan kemegahan dan arak-arakan kunjungan Raja Edward VII itu.

“Saya juga melihat Raja; tapi semua keributan itu membuatku kesal dan sedih,” tulis Roncalli.

Ia menggambarkan kunjungan itu sebagai “halaman mulia dalam sejarah Kepausan Romawi; peristiwa yang sangat penting ini, tentang seorang Raja sesat dari Protestan Inggris, yang telah menganiaya Gereja Katolik selama lebih dari tiga abad, pergi untuk memberikan penghormatan kepada Paus Leo XIII, yang sudah sangat tua.

Tentu, Komentar tersebut menggambarkan sejarah panjang dan kompleks antara Gereja Katolik dan Inggris Raya, yang tidak selalu menyenangkan. Ketika Roncalli menulis buku harian itu pada tahun 1903, hukum pidana anti-Katolik masih dalam ingatan beberapa umat Katolik Inggris yang berumur panjang.

Ingatan sejarah itu kini berubah kea rah yang bisa dikatakan menggembirakan saat pada tanggal 6 Mei lalu, umat Katolik di Inggris bergabung dengan umat lainnya merayakan penobatan Raja Charles III. Tulisan ini bermaksud menjadi pengingat salah satu perjalanan antara Inggris Raya dengan Gereja Katolik.

Raja Terakhir

Edward VII adalah raja Inggris terakhir yang bersumpah bahwa Misa adalah “takhayul dan penyembahan berhala”. Sumpah ini ia ucapkan pada penobatannya Agustus 1902. Kata-kata itu berasal dari Undang-Undang Penyelesaian 1701, yang dirancang untuk mengamankan suksesi takhta Protestan setelah pengasingan Raja James II ke Prancis.

Tak berlangsung lama, putra Edward VII, Raja George V, menginginkan sumpah itu diubah menjelang penobatannya pada Juni 1911, yang akhirnya benar-benar dirubah. Ini diakui menjaid titik balik dari relasi antara Inggris dan Gereja Katolik.

Mengikuti Undang-Undang Deklarasi Aksesi tahun 1910 yang baru dibuat itu, bahasa anti-Katolik dicabut. Raja hanya bersumpah, bahwa mereka adalah “orang Kristen yang setia”. Sumpah ini juga diucapkan Elizabeth II pada penobatannya pada bulan Juni 1953. Dalam kenyataannya, Ratu Inggris terlama dalam sejarah itu bisa dibilang dia melakukan lebih banyak dari Raja Inggris lain dalam sejarah, dalam usaha meningkatkan hubungan antara umat Katolik dan Protestan di Inggris. Tindakan ini ia lakukan melalui perbuatan dan bukan hanya kata-kata.

Pada tahun 1995, Ratu Elizabeth menghadiri Vesper di Katedral Westminster untuk menandai hari jadi Katedral itu yang ke-100.  Pada masa akhir pemerintahan Ratu Elizabeth II, undang-undang anti-Katolik terakhir di negara ini dihapus dengan disahkannya Undang-Undang Suksesi Mahkota tahun 2013. Dalam undang-undang itu dikatakan, anggota Keluarga Kerajaan Inggris tidak perlu lagi melepaskan klaim mereka atas takhta, jika mereka menikah dengan seorang Katolik.

Charles III

Kini, setelah Charles III naik takshta, ada banyak tanda, ia akan melanjutkan pekerjaan mendiang ibunya. Ia akan meningkatkan pemahaman dan hubungan antara orang-orang dari berbagai denominasi Kristen dan kepercayaan yang berbeda. Ia sering berbicara tentang “penganiayaan jahat” terhadap orang Kristen di seluruh dunia. Ia telah menjadi pendukung publik dari kelompok-kelompok seperti Aid to the Church in Need, lembaga advokasi yang membantu Gereja-Gereja Katolik teraniaya di seluruh dunia. Ia adalah salah satu pemimpin pertama yang mengunjungi Katedral Katolik Ukraina di London, setelah invasi Rusia ke Ukraina.

Selama bertahun-tahun, Raja telah menunjukkan pengetahuan dan minat yang mendalam pada iman Katolik. Dia telah berbicara dengan mengharukan tentang St John Henry Newman, menggambarkannya di L’Osservatore Romano sebagai “pembela kebenaran yang tak kenal takut” dan “pemikir di masa depan”.

Bukan hanya raja Inggris yang menaruh minat lebih besar pada Katolik Roma; namun Vatikan juga tampaknya lebih banyak “berinvestasi” dalam hubungannya dengan Inggris, termasuk kedaulatannya. Hal ini terlihat dari datangnya dua kardinal dan beberapa prelatus senior yang menghadiri upacara penobatan di Westminster Abbey kemarin. Kardinal Pietro Parolin, Sekretaris Negara Tahta Suci, hadir untuk mewakili Paus Fransiskus.

Hari ini, 150 tahun kemudian, Inggris adalah tempat yang sangat berbeda, tidak terkecuali dalam bagaimana umat Katolik dipandang dan diperlakukan dalam masyarakat. Sebuah survei baru-baru ini dari Catholic Union menemukan bahwa hampir sepertiga responden merasa dirugikan di tempat kerja atas dasar keyakinan mereka.

Umat ​​Katolik, bersama dengan orang Kristen lainnya dan orang beriman, akan mengharapkan kepemimpinan Raja Charles III. Marilah kita berharap dan berdoa agar pemerintahan Raja Charles menjadi bagian dari fajar baru bagi hubungan antara umat Kristiani dan pemeluk agama lain.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini