VATIKAN, Pena Katolik – Paus Fransiskus ditanya tentang kemungkinan adanya revisi atau perubahan pada pilihan hidup selibat bagi imam Katolik. Hal ini ditanyakan kepadanya saat sesi wawancara dengan jurnalis Argentina, Daniel Hadad.
Apakah selibat dapat ditinjau ulang? Atas pertanyaan ini Paus menjawab, “Ya, ya. Nyatanya, semua orang di Gereja Timur sudah menikah. Atau mereka yang mau. Di sana mereka membuat pilihan. Sebelum ditahbiskan, ada pilihan untuk menikah atau membujang,” demikian jawaban Paus Fransiskus yang terdapat dalam transkrip rekaman wawancara itu.
Paus Fransiskus mempertegas jawabannya, tentang maksud tinjauan ulang hidup selibat yang ia maksud. Dalam pernyataan ini, ia menunjukkan apa yang terjadi di Gereja Katolik Ritus Timur. Kenyataannya, di sana sebagian imam menikah, dan sebagian lain hidup selibat.
Meski begitu, hal ini tidak serta merta dapat diterapkan dalam Gereja Katolik Ritus Latin. Menurutnya, membuat selibat sebuah opsional, atau pilihan, tidak akan serta merta menyebabkan lebih banyak orang terpanggil untuk Imamat.
“Saya kira tidak.”
Paus mencatat, bahwa sudah ada imam yang menikah di Gereja Katolik dalam ritus Timur. Paus menambahkan bahwa sebelumnya ia telah bertemu dengan seorang imam Katolik Timur yang bekerja di Kuria Roma, yang memiliki seorang istri dan seorang anak laki-laki.
Terkait dengan selibat ini, Paus Francis telah berbicara sebelumnya yaitu pada Januari 2019. Saat itu ia mengatakan, bahwa selibat adalah karunia bagi Gereja.
“Secara pribadi, saya pikir selibat adalah karunia bagi Gereja. Saya akan mengatakan bahwa saya tidak setuju dengan mengizinkan selibat opsional, tidak.”
Di sini jelas bahwa Posisi Paus Fransiskus dalam hal ini tidak menyetujui bahwa hidup selibat menjadi sebuah pilihan obsional bagi seorang imam. Ini berarti, seorang imam haruslah memilih untuk hidup selibat, atau tidak menikah.
Namun, Paus menambahkan, menurutnya ada ruang untuk mempertimbangkan beberapa pengecualian. Hal ini terutama ketika ada kebutuhan pastoral, misalnya di lokasi terpencil karena kekurangan imam. Situasi ini dialami misalnya di kepulauan Pasifik yang kekurangan imam. Pada situasi tertentu, ada ruang untuk mempertimbangkan seorang menikah di situasi ini.
Sementara itu, ketika berbicara tentang pembatalan pernikahan, Paus Fransiskus menyarankan untuk melihat apa yang dikatakan pendahulunya Benediktus XVI. Ia mengatakan bahwa sebagian besar pernikahan gereja tidak sah karena kurangnya iman.
“Kadang-kadang (seseorang) pergi ke pesta pernikahan dan tampaknya itu lebih seperti resepsi sosial dan bukan sakramen,” kata Paus Fransiskus. “Ketika orang muda mengatakan ‘selamanya’, siapa yang tahu apa yang mereka maksud [dengan] ‘selamanya’ itu.”
“Seorang wanita yang sangat bijak pernah mengatakan kepada saya: ‘Kalian para imam sangat bersemangat. Untuk ditahbiskan menjadi imam Anda harus menghabiskan enam, tujuh tahun di seminari. Di sisi lain, untuk menikah, yang ikatannya seumur hidup, kami hanya diberi empat kali pertemuan persiapan’,” ujar Paus.