VATIKAN, Pena Katolik – Saat itu 13 Maret 2013, Konklaf sudah memasuki hari kedua, namun Paus baru yang akan menggantikan Paus Benediktus XVI belum juga terpilih. Waktu sudah menginjak sore hari di Roma, ketika sesi terakhir konklaf pada hari itu akan dimulai.
Pada salah satu jeda sesi, para Kardinal biasa saling berbicara di depan Kapel Sistina, termasuk Kardinal Jose Mario Bergoglio SJ, Uskup Agung Buenos Aires, Argentina. Ketika sesi terakhir hari itu akan dimulai, para Kardinal sudah masuk ke Kapel Sistina, tempat di mana konklaf akan berlangsung. Namun, Kardinal Bergoglio tampak masih asyik ngobrol dengan seseorang, sehingga ia tidak sadar, bahwa ia adalah orang terakhir yang masih berada di luar kapel.
Ketika sesi konklaf akan dimulai, semua tersadar, bahwa masih ada satu Kardinal yang belum berada di ruangan kapel. Rupanya, Kardinal Bergoglio begitu yakin, dia tidak akan terpilih sebagai Paus, sehingga, dia hampir melewatkan pemungutan suara terakhir itu. Saat itu, ia bahkan harus diingatkan bahwa sudah saatnya masuk kembali ke dalam kapel.
“Pembawa acara keluar dan berkata, ‘Apakah Anda akan masuk atau tidak?’” kenang Fransiskus dalam wawancara baru-baru ini dengan The Associated Press.
“Setelah itu saya menyadari, itu adalah penolakan bawah sadar saya untuk masuk (ke dalam Kapel Sistina-red),” ujar Paus.
Begitulah, Paus Fransiskus pun nyaris tidak jadi terpilih pada konklaf hari itu, karena ia tidak sadar sudah saatnay masuk ke Kapel Sistina. Namun siapa sangka, pada akhirnya ia yang terpilih sebagai paus ke-266 pada pemungutan suara hari itu. Ia menjadi imam Serikat Yesus pertama yang menjadi Paus. Ia juga menjadi orang non Eropa pertama yang terpilih menjadi pengganti St Petrus.
Awal Panggilan
Suatu hari pada usia 16 tahun, Jose jatuh cinta kepada salah seorang gadis di kampungnya. Saat itu, tahun 1953, dia telah bertemu dengan wanita muda yang dia harap akan bersedia menjadi istrinya. Ia bahkan telah berencana mengutarakan niat ini kepada kekasihnya pada 21 September tahun itu. Ia melaksanakan rencanannya saat makan siang al fresco yang diadakan sekolahnya setiap tahun.
Hari itu, ketika berjalan ke acara tersebut makan siang itu, Jose melewati gereja di dekat rumahnya. Ia pun terdorong untuk berkunjung. Saat memasuki gereja, ia melihat seorang imam yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Itu adalah Pater Duarte, seorang imam yang sakit parah dan perlahan-lahan mendekati kematian tetapi masih memancarkan kekudusan yang menular. Jose meminta imam itu untuk mendengar Pengakuannya.
Justru di sinilah, menjadi momen dimana hidup Jose berubah selamanya.nSaat dia berbicara dengan Pater Duarte, jiwanya dipenuhi dengan kerinduan untuk mempersembahkan hidupnya bagi Gereja. Saat itu, ia bertekat meninggalkan kekasihnya dan memberikan semua cintanya kepada Gereja.
“Dalam Pengakuan itu, sesuatu yang sangat langka terjadi pada saya. Itu adalah kejutan, keheranan dari sebuah pertemuan. Saya menyadari bahwa Tuhan sedang menunggu saya,” kenang Paus Fransiskus dalam buku yang ditulis tahun 2010 oleh Sergio Rubin.
Awalnya dia menyembunyikan panggilannya menjadi imamat, namun ia lalu memberi tahu ibunya, bahwa ia ingin belajar kedokteran. Terkesan bahwa putranya memiliki ambisi yang begitu mulia, ia membersihkan loteng dan mengubahnya menjadi ruang belajar. Alih-alih menari tango atau bermain sepak bola, yang merupakan dua dari hobi favoritnya, dia menghabiskan waktu berjam-jam untuk belajar. Tetapi, Jose tidak belajar tentang obat-obatan, dia membaca buku-buku teologi.
Ibunya terkejut ketika dia pergi untuk merapikan loteng dan tidak menemukan buku teks kedokteran. Ia sangat gelisah, dia menghadapi putranya. Jawabannya mengandung sedikit keterampilan retoris Jesuit yang nantinya akan dia kembangkan sepenuhnya.
“Saya belajar kedokteran, tetapi kedokteran jiwa,” katanya.
Menjadi Jesuit
Saat dia memasuki kehidupan seminari di akhir tahun 1950-an, dia yakin akan pilihannya. Namun kepastian itu tertantang ketika dia bertemu dengan seorang wanita muda yang memesona di sebuah pernikahan keluarga. Sekembalinya ke seminari, pikiran tentang wanita muda itu menyela doanya.
“Saya tidak bisa berdoa selama minggu berikutnya karena ketika saya pergi berdoa, gadis itu muncul di benak saya,” katanya kemudian.
Selanjutnya, hari-hari di seminari merupakan pergumulan untuk memutuskan antara mengejar remaja putri itu atau tetap tinggal di seminari. Tetapi, dia kembali berkomitmen dan ditahbiskan pada 13 Desember 1969, hanya empat hari sebelum dia berusia 33 tahun.
Selama tahun-tahun awalnya sebagai Jesuit, Pater Jorge semakin popular. Pemimpin Provinsi mengangkatnya sebagai anak emas mereka. Pada tahun 1973, hanya beberapa bulan setelah mengikrarkan kaul abadinya, dia diangkat menjadi pemimpin provinsi, pemimpin semua Yesuit di Argentina.
Tanggung jawab yang sangat besar diletakkan di pundak seseorang yang begitu muda dan dia akan diuji dengan berat, bukan hanya karena perang yang berkecamuk dari tahun 1976 hingga 1983 tetapi juga karena saat itu Ordo Jesuit terpecah menjadi dua blok: liberal dan konservatif. Apa yang terjadi di dalam Serikat Yesus pada tahun 1970-an telah menjadi ciri Gereja sedunia. Pater Bergoglio harus menyatukan dua sisi itu.
Sekarang, tidak saja Jesuit, ia harus mempersatukan Gereja sedunia. Ia melakukannya tidak hanya dengan menantang kaum progresif untuk lebih setia kepada Magisterium atau dengan menghukum kaum konservatif karena berpikiran tertutup. Dia juga memfokuskan pikiran kita pada amal yang nyata dan kebutuhan untuk lebih memberi diri.
Peta Jalan Fransiskus
Untuk memahami Fransiskus, penting untuk memahami pengabdiannya yang kuat kepada St Theresia dari Lisieux. Ketika dia menjadi kardinal dia terlihat berdoa di depan patungnya. Paus Fransiskus telah mengadopsi “Jalan Kecil” ke dalam kepausannya. Sama seperti “Bunga Kecil” (St Teresia-red) yang diejek oleh sesama biarawati. Ada orang yang mencemooh pentingnya Paus Fransiskus mengambil langkah-langkah kecil untuk menjadi lebih murah hati, sambil menggabungkan kesalehan dengan perbuatan baik.
Ketika Paus Fransiskus melakukan tindakan kebaikan kecil, hal itu menarik imajinasi masyarakat dunia dan mendorong orang untuk mencoba melakukan hal serupa. Hal ini tercermin misalnya dalam tindakannya yang sering tak terduga, misalnya ia tiba-tiba melakukan kunjungan ke keluarga-keluarga Katolik, atau saat ia mengunjungi penjara dan membasuh kaki sebagian dari tahanan.
Orang-orang muda yang merasakan gejolak panggilan religious, mereka memiliki panutan yang baik pada didi Paus Fransiskus. Ia setidaknya pernah melepaskan dua minat cinta. Ia meski memiliki kecerdasan untuk menjadi dokter, tetapi memilih menjadi “dokter jiwa”, bertahan melalui ujian selama di seminari dna akhirnya ditahbiskan.
Perjalanan Paus Fransiskus terlihat sudah sampai pada puncaknya. Ia pernah menjadi provincial Serikat Yesus Argentina, pernah menjadi uskup, Kardinal, dan akhirnya menjadi paus. Namun siapa sangka, impian dan kerinduan terdalamnya adalah menjadi seorang imam biasa. Imam yang melayani umat, merayakan Misa harian dan dekat dengan mereka yang ia layani.
“Yang saya sukai adalah menjadi seorang imam, itulah mengapa dari semua gelar yang saya miliki, Saya lebih suka dipanggil ‘Bapak’,” ujarnya.
Alasan Memilih Jesuit
Begitu banyak pengalaman Paus Fransiskus dalam hidup dan panggilannya memengaruhi apa yang dia katakan hari ini tentang imamat, apa artinya dan apa yang seharusnya bagi gereja. Seperti Yesus dan para rasul mula-mula, imam adalah seorang misionaris, dan ini adalah salah satu alasan Bergoglio yang berusia 21 tahun memilih untuk masuk Serikat Yesus.
“Saya tertarik pada posisinya, untuk menempatkannya dalam istilah militer, garis depan Gereja, yang didasarkan pada kepatuhan dan disiplin. Itu juga karena fokusnya pada pekerjaan misi,” katanya.
Tetapi ada keseimbangan yang harus dilakukan oleh imam yang menggabungkan belas kasih Yesus dan disiplin yang kuat itu. Paus mengatakan, Gereja adalah ibarat “rumah sakit lapangan”. Di sini ada bergitu banyak orang terluka, tugas para imam untuk menyembuhkan mereka.
“Saat ini kita dapat menganggap gereja sebagai ‘rumah sakit lapangan’. Ada begitu banyak orang yang terluka oleh masalah materi, oleh skandal, juga di dalam Gereja. Orang-orang terluka oleh ilusi dunia. Kita para imam harus ada di sana, dekat dengan orang-orang ini, segera merawat luka-luka itu dengan belas kasihan sebelum menyelidiki detailnya,” ujar Paus Fransiskus.