KINSHASA, Pena Katolik – Mengambil sikap melawan korupsi, menjaga kehidupan doa yang aktif dan mengatasi godaan untuk kenyamanan duniawi adalah pesan utama Paus Fransiskus kepada Gereja pada hari terakhirnya di Republik Demokratik Kongo. Ia menekankan pesan anti-korupsinya selama pertemuan meriah dengan sekitar 65.000 orang muda dan katekis di Stadion Martir di Kinshasa, 2 Februari 2023.
Pernyataan Paus yang menyerukan diakhirinya “penyebaran korupsi” mendapat sorak-sorai dan tepuk tangan meriah. Sorakan ini seakan menjadi seruan untuk Presiden Kongo Felix Tshisekedi, dan sekaligus mempertanyakan mandatnya yang telah “berakhir”.
Presiden Tshisekedi, yang mencalonkan lagi pada pemilu pada bulan Desember, seharusnya menandai era baru dan berakhirnya kepresidenan Joseph Kabila selama 18 tahun. Namun, ia justru, dilaporkan sedang diselidiki karena menggelapkan dana sebesar $138 juta. Lagi, para pengkritiknya mengatakan, Tshisekedi belum cukup berbuat untuk memperbaiki kehidupan masyarakat di Kongo. Pada tahun 2020, pengadilan Kongo menemukan seorang pembantu senior presiden bersalah menggelapkan $50 juta (£39 juta) dana publik.
Korupsi tetap menjadi masalah mendasar yang besar bagi Kongo, di mana kepentingan luar mengeksploitasi sumber daya alamnya yang melimpah sementara sebagian besar penduduknya hidup dalam kemiskinan yang parah. Paus Fransiskus mengecam kelompok yang mengobarkan konflik di negara itu sambil memperkaya diri sendiri.
“Kita memiliki kebebasan untuk memilih. Jangan biarkan hidupmu terseret oleh arus korupsi,” kata Paus Fransiskus.
“Jika seseorang menawarkan Anda suap, atau menjanjikan Anda bantuan dan banyak uang, jangan jatuh ke dalam perangkap. Jangan tertipu – jangan tersedot ke dalam rawa kejahatan.”
Gereja di Kongo telah mengambil peran utama dalam upaya membangun masyarakat sipil, memastikan pemilu yang bebas, dan memberantas korupsi. Pater Giulio Albanese, seorang misionaris Italia yang telah bekerja di Afrika Sub-Sahara selama bertahun-tahun, mengatakan bahwa perang di Kongo pada dasarnya dilancarkan melawan “masyarakat sipil” mengingat eksploitasi negara untuk keuntungan ekonomi.
“Gereja telah menjadi ladang di mana masyarakat sipil tumbuh. Ini menunjukkan bahwa menjadi seorang Katolik yang baik berarti menjadi warga negara yang baik,” katanya.
Pater Albanese menunjuk warisan dua uskup Kongo yang merupakan dua pembela hak asasi manusia dan masyarakat sipil: Mgr. Emmanuel Kataliko (1932-2000) dan Mgr. Christophe Munzihirwa Mwene Ngabo. Nama yang terakhir ini adalah seorang Yesuit yang dibunuh pada tahun 1996 dan disebut sebagai “Oscar Romero Kongo”.
Baru-baru ini, Gereja terlibat erat dalam perjanjian perdamaian St Sylvester 2016, yang berupaya menyelesaikan krisis politik, konstitusional, dan sosial serta membantu membentuk pemerintahan. Pidato Paus pada pertemuan pemuda menekankan membangun komunitas, pengampunan dan doa pribadi. Ia mengatakan Kristus tidak boleh dilihat sebagai “makhluk yang jauh”, tetapi “sahabat terbaik”.
“Kekuatan itu punya nama. Apakah Anda tahu siapa itu? Itu adalah Roh Kudus, Penghibur, Pemberi kehidupan. Roh Kudus adalah kekuatan pendorong perdamaian, kekuatan perdamaian sejati,” kata Fransiskus.
Paus Fransiskus melanjutkan seruannya tentang bahaya uang (korupsi) ketika dia bertemu dengan para imam, diakon, biarawan dan seminaris di Katedral St Maria. Katedral ini dibangun pada tahun 1947 dan merupakan gereja induk dari Keuskupan Agung Kinshasa. Paus Fransiskus memperingatkan para imam yang berkumpul untuk tidak menyerah pada godaan kenyamanan duniawi.
“Milik kita bukanlah profesi, atau posisi sosial, atau sarana untuk menafkahi keluarga kita di rumah,” kata Fransiskus.
Menyedihkan ketika seorang imam menyerahkan diri sendiri dan menjadi birokrat yang dingin. Alih-alih melayani Injil, imam semacam itu sibuk mengelola keuangan dan mengejar bisnis yang menguntungkan bagi diri sendiri. Paus Jesuit itu mengatakan tidak ada kompromi dengan uang. Ia mendesak 1.200 orang yang hadir untuk merangkul kemiskinan dan hidup selibat sebagai tanda ketersediaan penuh untuk kerajaan Allah.
“Sungguh memalukan ketika ini terjadi dalam kehidupan seorang imam atau religius, karena mereka seharusnya menjadi model ketenangan dan kebebasan batin.”
Sebelum berbicara, Paus Fransiskus mendengar kesaksian Suster Alice Sala, yang mengatakan bahwa Paus berusia 86 tahun itu telah mengikuti teladan Orang Samaria yang Baik Hati. Paus datang membantu orang yang dilupakan di panggung internasional, ketika begitu banyak yang datang hanya untuk menjarah kekayaan bangsa Kongo.
Divin Mukama, seorang seminaris, kemudian berbicara tentang fenomena revivalis Gereja Pantekosta di Kongo yang menurutnya telah memicu krisis identitas Katolik. Ia menyimpulkan dengan mengikrarkan komitmennya untuk membangun “Gereja sinode.”
Paus mengatakan kepada para imam dan religius bahwa rahasia segala sesuatu adalah doa, menekankan pentingnya perayaan harian Ekaristi dan brevir. Namun, ia menjelaskan bahwa hafalan doa saja tidak cukup dan waktu harus dihabiskan dari hati ke hati dengan Tuhan, bahkan di tengah aktivitas. Doa, kata Fransiskus, membantu mengatasi “ketidakmampuan rohani”.
Paus Fransiskus kemudian menegaskan bahwa pembinaan klerus yang sedang berlangsung bukanlah tambahan opsional dan bahwa adalah mungkin untuk mengatasi “kekakuan” dan “tidak terpaku pada ide dan posisi sendiri”.
Kata-kata Fransiskus tentang formasi penting mengingat penolakan terhadap reformasi sinodalnya yang terlihat di antara beberapa klerus muda. Besok pagi Paus akan bertemu dengan para uskup Kongo sebelum menaiki pesawat ke Sudan Selatan untuk perjalanan kedua ke Afrika.
Ketika dia tiba di Juba, Uskup Agung Canterbury dan Moderator Majelis Umum Gereja Skotlandia menyambut Fransiskus. Ketiga pemimpin Gereja itu akan memulai ziarah ekumenis bersejarah untuk perdamaian di negara termuda di dunia itu dari 3-5 Februari.