Magisterium Gereja berarti kuasa atau wewenang mengajar Gereja. Wewenang Mengajar itu paling tegas ada pada Paus dan Uskup, atau sering disebut ada pada para Uskup dan kesatuan dengan Paus. Kuasa itu diperoleh melalui Sakramen Tahbisan, yang didalamnya kebenaran Kristus menjadi pegangan utama dan cahaya kebenaran Roh Kudus menjadi inspirasi utama.
Sedangkan Dokumen Konsili Vatikan II menjadi rujukan karena ditinjau dari bobot ajaran Gereja, Konsili Vatikan II menempati posisi penting dalam kaitannya dengan kuat, valid dan dogmatisnya Ajaran Iman Gereja Katolik.
Besok ini, tanggal 30 Desember. Umat Katolik memperingati Pesta Keluarga Kudus. Dalam rangka momen Keluarga Kudus, tulisan ini hadir memberi pencerahan, dengan memetik inspirasi teologis dari beberapa pemikiran penting dokumen dan para Paus.
Sekiranya pemikiran yang tersaji dalam tulisan ini, tidak hanya dijadikan sebagai informasi melainkan dapat juga berguna sebagai inspirasi demi menumbuhkembangkan semangat kasih sayang dengan nafas pengetahuan baru dan penghayatan mendalam terhadapnya.
Konsili Vatikan II
Dokumen Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, artikel 47-52, mempersembahkan satu bab khusus, dan seluruhnya, dengan judul Martabat Perkawinan dan Keluarga.
Beberapa poin di bawah ini, diambil lalu diberi refleksi teologis. Sekiranya berguna di momen Keluarga Kudus.
Persekutuan Hidup dan Kasih Suami -Istri yang Mesrah
Hidup suami-istri merupakan suatu persekutuan. Persekutuan itu menjadi kuat karena dibangun atas dasar kasih. Kasih itu sabar, karena itu kemesraan menjadi muaranya langsung. Kasih yang sabar menempatkan kemesraan sebagai air segar pemuas dahaga persoalan; angin sejuk penenang badai ketegangan dan api hangat pembakar semangat.
Diadakan oleh Sang Pencipta
Persekutuan itu diadakan oleh Sang Pencipta sejak dari kisah penciptaan. Itu berarti, persekutuan itu berkanjang dalam semangat Taman Eden, di mana manusia masih merasa dekat dan mesrah dengan Allah. Dan di dalam kedekatan dan kemesraan itu, kasih Allah mengalir seluruhnya tiada batas. Kasih Allah itu nampak dalam instruksi kasih sayang untuk jangan melanggar, karena melanggar merusak semangat persekutuan.
Dikukuhkan oleh Hukum-HukumNya
Kasih dalam persekutuan itu dikukuhkan oleh Hukum-HukumNya. Tentu hukum itu terumuskan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 saat ini, yang nampak dalam larangan, halangan, sifat dan tujuan perkawinan Katolik saat ini.
Saya sebutkan saja sifat dan tujuan, yang mengandung unsur yuridis, demi menjaga persekutuan hidup perkawinan dan keluarga. Sifat-sifat itu ialah unitas (kesatuan) dan Indisollubilitas (tak tercerai-beraikan).
Dengan menyebut Unitas, Sakramen Perkawinan dalam keluarga merupakan sarana bagi keluarga untuk membina semangat persatuan dan persekutuan dengan meneladani semangat persekutuan Trinitas, yakni Bapak, Putera dan Roh Kudus.
Dengan menyebut Tak Tercerai-beraikan, Sakramen Perkawinan menampakkan cirikhas kekal; untuk selamanya; satu untuk selamanya, sampai maut memisahkan.
Dibangun oleh Janji Pernikahan atau Persetujuan Pribadi, yang Tidak Dapat Ditarik Kembali
Persekutuan itu dibangun atas janji. Janji itu dilakukan dengan bebas, tanpa paksaan dari siapapun, apapun dan situasi manapun. Janji ini disebut konsensus atau kesepakatan. Kesepakatan itu dilakukan dengan sadar, dan harus dipastikan bahwa tidak boleh ada praktek simulasi (penipuan), yang berbuat seolah-olah.
Cinta Kasih Suami-Istri merupakan Tindakan Manusiawi
Cinta kasih yang menjadi dasar persekutuan itu merupakan tindakan Manusiawi. Artinya manusia yang menikah. Namun karena berkat Kristus dan atas “Sakramen Permandian”, perkawinan itu diangkat levelnya menjadi tingkat Sakramen.
Tindakan Manusiawi itu Menunjuk pada Saling Menyerahkan Diri dan Saling Menerima sebagai Suami-Istri
Tindakan manusiawi itu tidak sekedar tindakan ragawi dan psikologis semata. Tindakan itu digerakkan oleh cinta kasih. Dan karena digerakkan oleh cinta kasih maka semangat insani Allah menjadi tolok ukur.
Sebagaimana Allah menyerahkan diri demi keselamatan umat manusia, dan Allah mau menerima kembali manusia pasca dosa, maka kasih manusia perlu menempatkan kasih Allah sebagai dasar dan utama, agar semangat persekutuan tetap terjaga dan stabil.
Pemberian Diri itu Bersifat Timbal Balik
Ketika cinta kasih antar suami-istri menjadikan semangat insani Allah yang nampak dalam spiritualitas pengorbanan Salib menjadi sebagai tolok ukur, maka penyerahan diri secara tombal-balik itu, sebetulnya merupakan ekspresi kasih yang paling nyata, yang di dalamnya, pengorbanan dengan tulus adalah syarat utamanya.
Cirikhas Timbal Balik itu Nampak dalam Semangat Memadukan dan Mengintegrasikan Dimensi Seksual dan Dimensi Afeksional
Dimensi seksual dan Afeksional perlu dilaksanakan secara timbal balik. Dalam cara timbal-balik itu, kedua dimensi itu tetap terintegrasi agar kuat dan kencang daya pikat dan daya terobos menurut cita rasa persekutuan.
Perpaduan Dua Dimensi itu Menurut Ketetapan Illahi.
Dua dimensi itu sebetulnya merupakan ketetapan Illahi. Melalui dimensi seksual, Allah menunjukkan DiriNya sebagai Pencipta kehidupan. Dan melaluinya pula, Allah menganugerahkan semangat co-creator bagi manusia dalam kehidupan berkeluarga, untuk turut berkarya; menciptakan kehidupan, mulai dari consummatum, pembuahan, kelahiran, dan pendidikan.
Sedangkan melalui dimensi afeksional, Allah menunjukkan DiriNya sebagai sumber perasaan kasih sayang. Kasih sayang ini merupakan yang mengalir dari Allah dan ditempatkan dalam hati sebagai kekuatan utama dalam menjaga persekutuan. Dengan semangat afeksional, para orang tua menanamkan dalam diri anak-anak bahwa kasih orang tua yang baik, sesungguhnya mengalir dari Allah, sebagai sumber kasih. Dan apabila orang tua melaksanakannya dengan baik, dan anak-anak pun menerimanya dengan tulus, sesungguhnya Allah sementara dihadirkan dalam kehidupan berkeluarga dan pendidikan anak-anak.
Menurut Ketetapan Illahi Perpaduan Dua Dimensi itu Menghasilkan Kehidupan, Keturunan dan Pendidikan
Kehidupan, keturunan dan pendidikan terhadap anak merupakan ekspresi dari perpaduan harmonis antara dimensi seksual dan dimensi afeksional. Kebahagiaan dalam hidup menjadi nampak apabila ada semangat harmonis. Keturunan menjadi rahmat apabila dilihat sebagai wujud Allah menghadirkan kehidupan di dunia. Pendidikan menjadi berguna, apabila prinsip cinta kasih, semangat persekutuan dan pelukan kemesraan menjadi nilai utama dalam keluarga dan bagi anak-anak.
Kristus Hadir dalam Kehidupan Berkeluarga Melalui Sakramen Perkawinan
Kristus adalah Kepala Gereja dan kita adalah anggota-anggotaNya; Kristus adalah mempelai Pria dan Gereja adalah mempelai wanita. Maka oleh Kristus, perkawinan diangkat ke tingkat Sakramen. Itu berarti, perkawinan suami-istri yang terjadi di dunia ini, sebetulnya merupakan suatu antisipasi eskatologis, karena itu menuntut semangat kasih dan persekutuan sebagai bekal dalam kehidupan surgawi. Karena kelak di sana, tidak ada yang kawin dan dikawinkan.
Beato Paulus VI
Beato Paulus VI dalam Ensiklik Humanae Vitae, dalam hubungannya dengan Perkawinan dan Keluarga, Ia menunjukkan ikatan hakiki antara cinta kasih suami-istri dan penerusan kehidupan.
Beberapa poin dibawah ini dapat direfleksikan
Cinta Kasih Suami-Istri Menuntut Kesadaran Penuh dan Tanggung Jawab sebagai Orang Tua
Cinta kasih perlu dilakukan dengan sadar demi menghindari perasaan psikologis semata. Cinta kasih harus dilakukan dalam kebenaran, agar muncul tanggung jawab yang tulus dan utuh. Tanggung jawab tanpa cinta kasih akan terjebak dalam formalisme perasaan dan perlakuan.
Dalam Surat Anjuran Apostolik Evangeli Nuntiandi, Paulus VI menunjukkan hubungan antara Keluarga dan Gereja. Menurut Bapak Paus, keluarga perlu diberi nama dengan nama yang indah. Paus Paulus VI menyebut nama yang indah itu ialah Keluarga merupakan Gereja Rumah Tangga, yang didalamnya, ibarat Gereja, Keluarga perlu dipandang sebagai suatu tempat di mana Injil diteruskan, dan darimana Injil Bercahaya.
Paus Santo Yohanes Paulus II memberikan perhatian khusus kepada keluarga dalam katekesenya tentang kasih manusia dan teologi tubuh. Menurut Bapak Suci, makna perkawinan tubuh manusia dan rencana Allah terhadap perkawinan dan keluarga, telah dimulai sejak penciptaan. Panggilan sebagai suami-istri mengantar mereka menuju kekudusan melalui cinta kasih saling menerima satu sama lain.
Paus Yohanes Paulus II, dalam Surat kepada Keluarga Gratissimam Sane dan khususnya dalam Anjuran Apostolik Famialiaris Conssortio, memandang keluarga sebagai Jalan Gereja.
Dalam pernikahan dan keluarga terbentuk hubungan-hubungan. Hubungan yang dimaksud itu ialah hidup sebagai suami-istri, kebapaan-keibuan, hubungan anak dan persaudaraan.
Dalam hubungan-hubungan itu, terintegrasi Kelurga Manusia dan Keluarga Allah. Integrasi dia model keluarga itu disebut Paus sebagai Gereja.
Paus Benediktus XVI
Paus Benediktus XVI dalam Ensikliknya Deus Caritas Est (Allah adalah Kasih), mengangkat kebenaran cinta kasih antara laki-laki dan perempuan, dengan menempatkan cinta kasih Kristus yang tersalib sebagai dasar dan teladan utama.
Menurut Paus Benediktus, perkawinan antara seorang lelaki dan perempuan bergerak dalam lingkaran kasih ekslusif dan defenitif. Lukisan ekslusif dan defenitif itu menunjuk pada hubungan Allah terhadap umatNya dan sebaliknya. Bapa Paus menyebut bahwa cara Allah mengasihi menjadi tolok ukur kasih insani.
Sementara dalam Ensiklik Caritas in Veritate (Kasih dalam Kebenaran), Paus Benediktus menempatkan dua poin utama, yakni kasih keluarga dan pengalaman kebaikan bersama. Paus menyebut kasih keluarga sebagai prinsip hidup dalam bermasyarakat. Dan di dalam keluarga yang penuh kasih itu, di sana lahir, tumbuh dan berkembang pengalaman kebaikan bersama. Itu berarti, syarat bagi pengalaman kebaikan bersama adalah pengalaman itu dilakukan dan dialami, diberi dan diterima dengan kasih.
Paus juga menyebut bahwa pengalaman kebaikan bersama itu perlu memandang kebutuhan sosial dan ekonomi sebagai suatu keindahan yang dipupuk dan terutama oleh negara, melalui kebijaksanaan yang memajukan sentralitas dan integritas keluarga, dengan catatan, karakter relasional pribadi-pribadi yang hidup dalam keluarga, dan termasuk kelurga itu sendiri, perlu dipandang sebagai yang paling mendasar dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Paus Fransiskus
Paus Fransiskus dalam Ensikliknya Lumen Fidei (Terang Iman), menyebutkan hubungan antara keluarga dan iman. Bapa Suci menyebut Keluarga sebagai tempat pertama di mana iman menerangi kota kediaman manusia. Sebagai tempat pertama, Paus Fransiskus menganjurkan kesatuan stabil antara laki-laki dan perempuan sebagai yang terutama dalam perkawinan. Paus menyebut bahwa janji cinta dalam perkawinan, perlu dipandang sebagai sebagai komitmen yang dilakukan dengan pemahaman yang benar terhadap rencana Allah, bahwa rencana Allah lebih besar daripada gagasan manusia dan upaya-upaya manusia.
Dalam Surat Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium, Paus Fransiskus mengingatkan tentang sentralitas keluarga dengan mengutamakan keluarga sebagai tempat bagi orang tua untuk mewariskan imannya bagi anak-anaknya. Bapa Paus melihat itu penting, mengingat bahwa krisis serius saat ini, keluarga-keluarga saat ini, banyak terkontaminasi dan memiliki kecenderungan untuk membangun dan mengubah kepuasan emosional belaka menurut kehendak sendiri.
Sumber :
Seri Dokumen Gerejawi Nomor 103 tentang Panggilan dan Misi Keluarga Dalam Gereja dan Dalam Dunia Dewasa Ini, Dokpen KWI, Jakarta ; Januari 2018. Dokumen ini merupakan hasil dari Sidang Para Uskup, Sidang Umum Biasa ke-XIV dan Laporan Akhir Para Uskup Kepada Bapa Suci, Paus Fransiskus, 25 Oktober 2015. Isi tulisan ini diambil khusus dasi Bab II dalam Dokumen ini tentang
Keluarga dalam Magisterium Gereja.