Senin, November 18, 2024
25.6 C
Jakarta

Siswi Muslim Dipilih Menjadi Ketua OSIS di SMA Katolik St Fransiskus Xaverius Ruteng: Pembelajaran Toleransis dan Anti Diskriminasi

Romo Martin Wiliam melantik pengurus OSIS SMA Katolik St Fransiskus Xaverius Ruteng. SMA K ft Fransiskus Xaverius

RUTENG, Pena Katolik –  Aprilia Inka Prasasti, peserta didik Muslim di SMA Katolik St. Fransiskus Xaverius Ruteng terpilih menjadi Ketua OSIS. Inka dipilih menjadi Ketua OSIS meski hanya empat orang Muslim di sekolah yang memiliki sekitar seribu murid itu.

Keterpilihan Inja karena ia dinilai unggul atas lima kandidat lain. Ia bersama anggota pengurus dilantik pada Senin, 24 Oktober 2022. Kepala Sekolah SMA St Fransiskus Xaverius, Romo Martin Wiliam menyebut terpilihnya Inka sebagai “sebuah gugatan” atas praktek yang kerap terjadi saat ini di sejumlah tempat. Ia menilai ada yang “mendewakan” agama dan mengesampingkan rasio dalam memilih pemimpin.

“Peristiwa ini boleh dimaknai sebagai kritik atas legitimasi berbagai sikap atau tindakan destruktif atas nama agama itu,” kata Romo Martin.

SMA Katolik St. Fransiskus Xaverius pada prinsipnya mendukung penuh siapapun peserta didik yang terpilih. Kriteria itu, jelasnya, adalah terbaik dari utusan. Dengan terpilihnya Inka dari komunitas minoritas agama di sekolahnya, komunitas sekolah itu sudah menunjukan bobot demokrasi yang baik dan benar. Romo Martin berharap maka semua warga sekolah mendukung program kerja Inka sebagai Ketua OSIS yang baru.

“Bahwa yang paling penting dan utama dalam kepemimpinan adalah kapabilitas kepemimpinan, yaitu memiliki intelek dan karakter yang baik,” kata Romo Martin.

Sementara itu, Inka merasa bangga karena bisa terpilih, meski ia adalah Islam. Ia mengatakan, ada tugas di pundaknya yang mesti ia tunaikan.

“Saya berusaha untuk mewujudkan visi dan misi, dengan merangkul seluruh warga sekolah,” kata siswi kelas 11 jurusan MIPA ini.

Sebagai siswa Muslim, Inka menceritakan, ia diizinkan untuk libur pada hari raya keagamaannya. Selain itu, teman-teman dan para guru yang antusias untuk memberikan ucapan juga dirasanya memberinya dukungan. Inka mengatakan ia mendapatkan pelajaran agama Islam hanya di rumah dan lingkungan sekitar saja, sementara untuk di sekolah, orangtuanya memberikan kesempatan untuk mengenal dan mempelajari agama lain.

Aprilia Inka Prasasti. SMAK

 “Karena pada intinya semua [agama] sama, sama sama mengajarkan kebaikan hidup,” kata Inka.

Inka adalah anak tunggal dari ayah yang berasal dari Lombok, NTB dan ibu dari Malang, Jawa Timur. Ia juga mengatakan tidak memakai jilbab selama di sekolah, bukan karena dilarang sekolah, tetapi karena pilihannya sendiri.

Inka berharao, kemenangannya dalam pemilihan Ketua OSIS ini memberi pesan kepada siapapun untuk bersedia memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua orang untuk menyalurkan bakat, minat, serta kemauan.

“Semua orang memiliki kesempatan yang sama seperti yang tersirat di Pancasila sila kelima,” katanya.

Banyak Apresiasi

Kabar terpilihnya Inka memicu lahirnya berbagai apresiasi. Hal ini karena peristiwa ini dianggap sebagai contoh inspiratif di tengah keprihatinan terhadap praktik intoleransi di lembaga-lembaga pendidikan.

Fransiska Widyawati, pengajar di Universitas Katolik Indonesia Santo Paulus Ruteng mengatakan, ini adalah contoh pendidikan yang maju di Indonesia. Peristiwa ini memberi pesan penting di tengah menguatnya politik identitas agama di Indonesia. Menurutnya, membawa-bawa nama agama dalam pemilihan pemimpin juga menjadi fenomena lainnya. Di level pendidikan, penolakan pluralisme beragama dan keberadaan penganut agama minoritas oleh mayoritas kerap menjadi berita yang memprihatinkan.

“Bangga [bahwa] ini ada di wilayah kami,” tulis Fransiskus di akun Facebooknya.

Doni Koesoema, pemerhati pendidikan mengatakan, peristiwa di SMA Katolik ini merupakan “tradisi demokrasi yang baik, yang perlu dilatihkan sejak awal pada para siswa.” Ia juga memberi catatan bahwa di sisi lain, dalam konteks leadership [kepemimpinan] Katolik, hal yang juga menjadi keprihatinan adalah mengapa kandidat yang beragama Katolik tidak terpilih.

“Pemilihan seperti ini menunjukkan bahwa para siswa memilih yang terbaik, bukan yang pengikut agamanya sama dan terbanyak, yang sebenarnya tidak relevan sebagai bahan untuk pertimbangan memilih Ketua OSIS,” katanya.

Doni Koesoema memberi catatan bahwa radikalisme muncul bukan karena kurang menghargai agama lain.

“Kurang menghargai agama lain menjadi akibat, bukan sebab, sedangkan penyebab radikalisme adalah salah menafsirkan ajaran agama dan menganggap agamanya yang paling benar dan yang lain salah,” katanya.

SMA Katolik St Fransiskus Xaverius berdiri pada 17 Juli 1987. Saat ini, sekolah ini memiliki 1.147 siswa beragama Katolik, 19 Protestan, 4 Muslim dan 3 Hindu. Pada setiap Hari Jumat, kata dia, kegiatan belajar mengajar berakhir pukul 12.00 Wita agar memberi kesempatan kepada siswa-siswi Muslim menjalankan ibadah.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini