Pena Katolik- Sekitar 2500 tahun yang silam, Siddharta Gautama (563 SM — 483 SM) menyampaikan intisari ajarannya berupa “Empat Kebenaran Luhur.” Di bawah pohon bodi, Buddha mencapai pengertian selama meditasi tentang keempat kebenaran ini: (1) Kebenaran tentang derita (dukkha): (2) Kebenaran tentang asal derita (samudaya): (3) Kebenaran tentang penghentian derita (nirodha): (4) Kebenaran tentang jalan menuju penghentian derita (magga).
Buddha acapkali dibandingkan dengan seorang tabib. Dalam dua kebenaran pertama dia mendiagnosa masalah (derita) dan menunjukkan penyebabnya. Kebenaran luhur yang ketiga adalah perwujudan yang adalah suatu perawatan. Sedangkan kebenaran keempat yang mengandung delapan tahap adalah jalan untuk mencapai pembebasan dari derita. Menjadi seorang biksu pun perlu mengolah kebenaran ini supaya bisa mencapai nirwana.
Pembaktian diri
Pembaktian diri dalam dunia rohani pada hakikatnya menuntut penyangkalan diri. Manusia mengurung atau mengolah keimginan pribadi, sehingga sanggup memusatkan perhatian dan diri pada cara hidup yang telah dipilih.
Mendahulukan tuntutan religius dan menggeser keinginan atau kepentingan pribadi dengan sendirinya akan mengubah seluruh pola hidup seseorang. Tidak semua orang a an memahami cara hidup yang dibarui ini.
Cara hidup ini menyentuh perombak mentalitas atau tata pikir seseorang. Tidak semua orang akan mudah mencmp hidup yang dibarui. Meninggalkan dan membarui salah satu kecenderungan dalam hidup sehari-hari menuntut keterbukaan hati dan keberanian untuk memulainya dalam dalam hidup.
Pembaktian diri sebagai pengikut Yesus Kristus pada hakikatnya memegang , Sabda, kehendak dan perintah Yesus sebagai pemandu hidup sehari-hari. Keduduk: dan peran Yesus didahulukan. Manusia yang membaktikan diri kepada Yesus. Seluruh hidup dan teladan-Nya menjadi pelajaran bagi seluruh hidup murid-Nya.
Deretan pelajaran rohani yang sangat bermakna dapat ditimba dari Sang Guru. Dia memiliki warisan kekayaan yang menakjubkan dunia. Yesus membaktikan diri kepada Bapa surgawi melalui pemenuhan rencana dan kehendak Bapa surgawi hingga akhir hayat. Sejak kecil orang tua-Nya, Yosef dan Maria, telah mempersembahkan Yesus ke hadirat Bapa surgawi. Yesus mengarungi lingkungan hidup religius yang saleh.
Tugas dan kewajiban sebagai orang beuman dipenulu di mana dan kapan pun. Dalam rencana dan tugas apa pun Yesus tetap mengingat kehendak Bapa surgawi. Sebelum mengubah air menjadi anggur Yesus mengatakan bahwa waktu-Nya belum tiba. Pernyataan ini menunjukkan apapun yang dikerjakan Yesus selalu dalam kesatuan dengan Bapa surgawi. Setelah direstui, Yesus melakukan apa yang dikehendaki Bapa surgawi. Dalam doa pun Yesus mengutamakan kehendak Bapa surgawi.
Nilai Kesatuan
“Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga.” Kehendak Bapa surgawi yang harus terjadi. Keadaan di dalam surga hendaknya terjadi atas permukaan bumi. Dia mendambakan keadaan surga yang penuh kebahagiaan bagi umat manusia.
Dalam doa, Dia senantiasa bersyukur kepada Bapa surgawi sebagai ungkapan kegembiraan hati dan terima kasih atas segala kasih-karunia-Nya. Dia menyadari bahwa apapun yang diterima-Nya berasal dari kemurahan “Tuhan, hidup, keyaan dan hasil keyaan mencerminkan kemurahan Bapa surgawi bagi Yesus, Sang Juruselamat.
Pembaktian diri Yesus tampak dalam penyerahan diri, kehendak dan seluruh keadaan hidup ke dalam tangan Bapa surgawi. Dia merasa aman dan bahagia dalam telapak tangan Bapa surgawi. Dia bersyukur atas semua keadaan yang harus dihadapi dalam menjalankan misi Bapa.
Hanya dalam tangan Bapa surgawi datang ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan. Pembukaan diri Yesus tampak dalam pikiran, perkataan dan perbuatan Yesus. Dia dan Bapa surgawi adalah satu dan tak terpisahkan. Pembaktian diri menjadi nilai kesatuan dan penyatuan diri dengan Bapa surgawi, Yesus Kristus dan Roh Kudus.
Samuel/Pena Katolik