Home BERITA TERKINI Memahami Sikap Vatikan yang Dinilai Diam atas Peradilan Kardinal Joseph Zen

Memahami Sikap Vatikan yang Dinilai Diam atas Peradilan Kardinal Joseph Zen

0
Paus Fransiskus saat berjumpa dengan Kardinal Joseph Zen di Vatikan. IST

VATIKAN, Pena Katolik – Saat persidangan Kardinal Joseph Zen yang berusia 90 tahun dibuka di Hong Kong, Paus Fransiskus telah “diadili dan dihukum” di pengadilan yang sangat berbeda. Opini publik menuduh Paus sebagai pengecut. Bagaimana hal ini dipahami?

Di antara banyak kritikan itu, salah satu yang cukup keras disampaikan Rod Dreher, penulis konservatif itu menyatakan bahwa Kardinal Zen telah “dikhianati” oleh Paus yang menjual Gereja Katolik Tiongkok bawah tanah. Ia menyerukan bahwa Paus perlu memperbaiki perlakuannya terhadap Kardinal Zen.

Seorang Kardinal asal Jerman, mantan Prefek Kongregasi Ajakran Iman, Kardinal Gerhard Müller bahkan menyesali sikap diam paus selama pertemuan puncak para kardinal baru-baru ini di Roma, Italia.

Lalu, apakah benar Vatikan bersikap demikian dan mengabaikan Kardinal Zen? Lalu apakah benar Paus sudah “menjual” umat Katolik di Tiongkok?

Dalam sebuah wawancara dengan media Crux, Paus Fransiskus memberi komentar atas sikap Vatican pada kasus yang menimpa Kardinal Zen. Crux menanyakan, apakah Paus menganggap persidangan Kardinal Zen sebagai pelanggaran kebebasan beragama.

“Untuk memahami Tiongkok membutuhkan waktu satu abad, dan kita tidak hidup selama satu abad. Untuk memahami, kita telah memilih jalan dialog, terbuka untuk dialog. Tidak mudah memahami apa yang dipikirkan pemerintahan Tionghoa (Tiongkok), tetapi harus dihormati. Saya selalu menghormati ini. Memahami Tiongkok adalah hal yang luar biasa. Tapi, Anda tidak harus kehilangan kesabaran, kita harus berdialog,” ujar Paus Fransiskus.

Kata kunci dalam hal ini adalah “kesabaran” dan “dialog”. Untuk itu, sikap Paus dalam relasi dengan Tiongkok didasarkan pada kedua hal ini. Meski begitu, sebagian pengkritiknya terkadang gagal memahami hal ini.

Tidak diragukan lagi, sulit bagi banyak orang untuk memahami, bagaimana seorang Paus dapat memilih untuk tidak membela salah satu miliknya sendiri. Menengok ke belakangan, pada tahun 1974, ketika Uskup Agung Melkite Yunani, Mgr. Hilarion Capucci tertangkap basah oleh orang Israel menyelundupkan senapan, pistol, dinamit, dan dan senapan Kalashnikov untuk dikirimkan kepada Palestine Liberation Organization (PLO), saat itu Vatikan menyatakan “sangat sedih” atas penangkapannya. Namun, Vatikan bahkan belum mengatakan pernyataan semacam itu tentang Kardinal Zen, meskipun satu-satunya dugaan kejahatannya adalah meminta dukungan asing untuk pengunjuk rasa pro-demokrasi.

Banyak yang menilai, Paus Fransiskus tampak sedikit menjauhkan diri dari Kardinal Zen dengan mengatakan, “Dia (Kardinal Zen) mengatakan apa yang dia rasakan, dan Anda dapat melihat bahwa ada batasan di sana,” ujar Paus.

Penjelasan atas dinamika ini dapat dipahami sebagai berikut: Pertama, baik Vatikan dan Tiongkok telah berpikir selama berabad-abad. Katolik sudah ada di Tiongkok sejak abad ke-13. Situasi berubah pasca Partai Komunis berkuasa tahun 1943. Paus Fransiskus dalam hal ini bersikap sabar dan terus mengupayakan dialog. Pendekatan itu mungkin membuat frustrasi, tetapi tetap menjadi bagian proses dialog ini.

Kedua, Paus Fransiskus adalah seorang Yesuit, ia belajar dari apa yang terjadi pada Pastor Matteo Ricci. Saat ini, Gereja Katolik meyakini bahwa ada kesalahan terkait strategi Gereja ketika mulai menjalankan karya misinya di Tiongkok di zaman Matteo Ricci. Gereja Katolik membuat kesalahan perhitungan yang sangat besar dengan menolak pendekatan akomodatif Pastor Ricci terhadap kontroversi ritus Tiongkok pada abad ke-16 dan ke-17. Kesalahan tidak mau akomodatif ini justru menutup pintu bagi evangelisasi Tiongkok. Tidak diragukan lagi Paus Fransiskus bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan itu. Paus ingin bersikap akomodatif dalam dialog dengan Tiongkok agar dapat membuka pintu lebih lebar bagi evangelisasi di Negeri Tirai Bambu itu.

Ketiga, Paus harus mempertimbangkan konsekuensi dunia nyata, dari apa pun yang mereka katakan atau lakukan. Setiap Paus modern mengingat apa yang terjadi pada tahun 1943, setelah para uskup Belanda mengeluarkan surat pastoral yang mengkritik kebijakan anti-Yahudi Nazi di Belanda. Sebagai tanggapan atas protes itu, semua umat Katolik asal Yahudi, termasuk St. Edith Stein, ditangkap dan dikirim ke Auschwitz. Pada saat itu, sebagian besar “umat Katolik Yahudi” yang ditahan itu tewas.

Tentu, Paus Fransiskus tidak ingin, sebagian besar umatnya di Tiongkok akan megalami nasib serupa, apabila ia keras dalam bersikap terhadap apa yang terjadi saat ini, terutama pada apa yang menimpa Kardinal Zen.

Tentu, Paus berharap, apa yang ia usahakan selama ini akan berdampak bagi perkembangan kekatolikan di Tiongkok. Ia berharap, umat Katolik di sana dapat beribadat dan hidup dengan damai.

Dengan mengeluarkan pernyataan yang mendukung Kardinal Zen, Paus Fransiskus mungkin mendapat tepuk tangan. Terutama jika dia mengecam Beijing atas penangkapan Kardinal Zen. Tetapi, dia harus mempertimbangkan akibatnya, yang mungkin tidak hanya berdampak bagi Kardinal Zen, tetapi juga bagi sekitar 13 juta umat Katolik di Tiongkok.

Keempat, Kardinal Zen tidak selalu mendukung sikap Paus Fransiskus. Uskup Agung Emeritus Hong Kong itu sejak awal tidak senang atas kebijakan Paus di Tiongkok (Sino-Vatikan). Dalam beberapa tahun terakhir, Kardinal Zen semakin terjerumus ke dalam orbit beberapa kritik paling keras kepada Paus Fransiskus. Misalnya, ia adalah penandatangan surat terbuka yang ditulis oleh Uskup Agung Italia, Mgr. Carlo Maria Vigan pada Mei 2020 yang mengklaim pandemi virus corona sedang dimanipulasi untuk memaksakan mode pemerintahan otoriter di seluruh dunia. Keduanya juga mengecam Paus karena mendukung pembatasan yang direkomendasikan pemerintah di berbagai negara.

Kelima, fakta nyata dari masalah ini adalah bahwa mereka yang mengkritik Paus Fransiskus, karena sikap diam pada Kardinal Zen, adalah orang yang sama yang telah menentang kepausannya di berbagai bidang sejak awal.

Kardinal Müller, misalnya, menolak garis progresif paus dalam dokumen Amoris laetitia ‘Kegembiraan cinta’. Posisi ini yang mungkin menyebabkan ia harus dicopot sebagai prefek dari Kongregasi untuk Ajaran Iman.

Diamnya Paus bukan berarti Vatikan tidak memiliki kepedulian pada Kardinal Zen, atas jasanya selama ini dalam menggembalakan umat Katolik di Tiongkok, terutama bersama umat Katolik bawah tanah. Namun, ada hal yang lebih besar yang ingin diperjuangkan Paus Fransiskus. Sekali lagi, dialog dan kesabaran. Paus ingin lebih mempererat relasi antara Katolik dan Tiongkok. Untuk mewujudkan itu, Paus menyadari perlu sabar, kadang bahkan harus merelakan prinsip-prinsip yang selama ini dipegang, untuk cita-cita yang lebih besar.

Penjelasan ini tentu akan dilihat sebagai pembelaan terhadap kebijakan Paus Fransiskus atas Tiongkok, tentu saja, setiap orang dapat berpendapat. Namun, setidaknya, ini adalah salah satu penjelasan. (Antonius E. Sugiyanto)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version