Dalam pengalaman sehari-hari istilah kata Percaya (dengan huruf besar P) memaksudkan kapasitas manusia yang memungkinkan relasi lebih dalam antara dirinya dengan realitas yang lebih tinggi yaitu sesuatu yang ia percaya. Jadi pada pemahaman terkait Percaya, jelas hal merujuk pada relasi personalnya dengan ‘realitas yang tak terbatas’. Pertanyaan prinsip percaya itupun muncul, apakah manusia hidup hanya sekedar sikap percaya (dengan huruf kecil p) semata?
Kalau jawaban berdasarkan opini personal ditambah dengan gimik keyakinan beragama, jelas bahwa sikap percaya itu adalah modal utama untuk hidup. Namun bagaimana jika manusia ‘yang lain’ tidak mengutamakan konsep kepercayaan yang mereka anut sebagai filosofi hidup utama dalam agama? Tidak salah jika mereka mengritisi bahkan mungkin saja bisa menuntut argumentasi dari kalimat ‘hanya sekedar percaya’. Manusia jenis ini membutuhkan alasan ‘logis’ (yang dimaksudkan dengan logis disini yaitu alasan logis berdasarkan kapasitas pemahaman makna yang mereka anut) untuk mengerti secara ‘dalam’ dan menuju sikap pemahaman tentang ke-Percaya-an yang mereka maksud.
Memasuki masa Renaisans, ditandai dengan kemunculan paham rasionalis, di mana Akal merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Mereka kaum rasionalis beranggapan bahwa sumber pengetahuan, bahkan sumber satu-satunya, hanyalah berasal dari akal budi, karena mereka berpendapat pancaindera seringkali melakukan kesalahan. Bagi masa ini, pancaindera tidak dapat diandalkan sebagai sumber pengetahuan yang sahih, hanya dengan menggunakan prosedur tertentu dari akal saja kita bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya. Bagi mereka, akal budi saja sudah cukup memberi pemahaman bagi manusia terlepas dari pancaindera.
Empirisisme
Misalnya rasionalisme abad ke-17 memiliki beberapa tokoh sentral seperti Rene Descartes (1596-1650), W. G. Leibniz (1646-1716), Christian Wolff (1679-1754) dan Baruch Spinoza (1632-1677). Tokoh-tokoh ini kebanyakan berasal dari Eropa Daratan, oleh karena itu Rasionalisme lebih dikenal sebagai filsafat kontinental. Di antara sekian tokoh tersebut, Descartes merupakan filosof sentral apabila hendak membahas rasionalisme secara mendalam dan komprehensif. Rene Descartes merupakan filosof Prancis yang digelari sebagai “bapak filsafat modern”. Ia adalah peletak dasar aliran rasionalisme.
Kemudian empirisisme muncul abad ke-17 M sering disebut sebagai empirisisme atomistik karena memahami pengetahuan sebagai data-data inderawi yang terpilah-pilah, tak berhubungan satu sama lain yang terterakan di benak manusia. Empirisme muncul di akhir Renaisans, melalui pemikiran Francis Bacon, yakni ketika ia menjelaskan metode induksinya. Akan tetapi baru dalam filsafat Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), dan David Hume (1711-1776), pengalaman entah yang bersifat inderawi atau batiniah, menjadi pokok refleksi utama.
Bagi kaum empiris, mereka menganggap tidak ada sumber pengetahuan lain selain pengalaman kita. Maka terutama hanya pancaindera –dan bukan akal budi— yang memainkan peranan penting dengan menyajikan bagi kita pengalaman langsung dengan objek tertentu. Peranan penting itu disebabkan karena: pertama, semua proposisi yang kita ucapkan merupakan hasil laporan dari pengalaman atau yang disimpulkan dari pengalaman.
Kedua, manusia tidak mampu mempunyai konsep ataupun ide apa pun tentang sesuatu kecuali berdasarkan pada apa yang diperoleh dari pengalaman. Ketiga,akal budi hanya bisa berfungsi kalau mempunyai acuan pada realitas atau pengalaman. Dengan demikian bagi kaum empiris, akal budi hanya mengombinasikan pengalaman inderawi sampai pada pengetahuan. Kata kunci dari masa itu boleh kita sebut dengan pengalaman inderawi yang menghasilkan pengetahuan. Begitulah kira-kira menurut mereka yang menyebut dirinya kaum empirisme.
Bagaimana manusia menyikapinya?
Pertanyaannya, haruskah manusia mengalami dulu baru percaya atau percaya dulu baru mengalami? Saudara pembaca yang budiman, jika bicara soal ke-Percaya-an berarti manusia sedang mengalami proses interpersonalnya dengan realitas yang paling tinggi karena itu, Percaya sifatnya pribadi (Privasi). Dalam konteks ini semakin jelas pula bahwa pengalaman mestinya dilakukan dengan sikap reflektif sehingga memiliki makna dari apa yang sudah dialami.
Hari berganti menjadi bulan kemudian berganti menjadi tahun merupakan kesempatan baik pula untuk melakukan aktivitas refleksi diri untuk masuk secara personal dengan realitas lebih tinggi (Allah) sehingga bisa terlepas dari belenggu ‘sakit’ yang selama ini menjadi ‘delusi’ mata manusia. Pilihan yang paling logis adalah menanganinya dengan sikap refleksi diri, karena kondisi delusi berpotensi mengacaukan pikiran rasional manusia yang melebur antara fantasi dan kenyataan hidup.
Untuk menyadarinya manusia membutuhkan sikap refleksi dan memetik buah berkat dari pengalaman empiris dan kemudian dari situlah manusia bisa lebih berpotensi menghadirkan sikap yakin dan percaya dengan nilai-nilai berharap hidup damai dengan diri sendiri maupun dengan lingkungan. Untuk pembaca yang budiman, manusia dengan sendirinya sudah memiliki kemampuan pengolahan sikap emosional positif, energi itulah kemudian berpotensi menggerakan manusia agar tetap bersikap tenang agar mampu menilik nilai-nilai dari peristiwa entah itu peristiwa yang disukai ataupun yang tidak disukai. Karena Percaya (dengan huruf besar P) adalah sebuah keindahan yang tak bisa diukur dan tidak bisa sekedar dijelaskan dengan kata, sebab kita tahu bahwa kata-kata manusia terbatas untuk menjelaskan kedalaman pengalaman itu.
Ke-Yakin-an itu posisinya kini semakin jelas karena ke-Percaya-an yang direfleksikan mengarah pada keyakinan pada apa yang mereka anut. Dalam hal ini, sedari Tuhan Yesus sudah mengajarkan cara-cara refleksi. Hal itu tampak saat Yesus mengajarkan para murid-muridnya dengan perumpamaan dan termasuklah pengalaman iman yang disaksikan oleh 5000 (lima ribuan) orang saat ia menggandakan lima roti dan dua ikan. (Samuel-Pena Katolik)