Sabtu, Juli 27, 2024
26.1 C
Jakarta

Buya, Gus Dur, dan Mangun

Oleh : Setyo Budiantoro

Laku para intelektual, selalu menarik perhatian. Namun, tentu bukan para “intelektual salon”. Intelektual salon adalah intelektual yang hanya berkutat di menara gading. Hanya sibuk dengan pengetahuan, tanpa bergumul dan memperjuangkan dalam “lumpur” kehidupan nyata. Rendra juga menggunakan istilah “penyair salon”, yang bersajak tentang anggur dan rembulan, namun lepas dari kehidupan nyata.

Buya Syafii Maarif tentu saja bukan intelektual salon. Tulisannya tentang “Islam dan Pancasila”, membuat saya “jatuh cinta” pada pemikirannya. Tulisan itu kalau tidak salah ada di Jurnal Majalah Prisma. Tulisan cukup lama, ketika menjadi Guru Besar di IKIP Yogyakarta.

Saya agak lupa karena cukup lama membaca, namun kira2 beliau menyampaikan betapa kompatibelnya Islam & Pancasila. Lalu tentang nafas universalisme Islam, inklusifitas, keterbukaan dan humanisme. Siapa tidak “jatuh cinta” dengan pemikiran yg begitu luas & dalam, serta penuh kearifan.

Sangat beruntung, satu waktu bisa diskusi secara intens dengan beliau. Waktu itu, kami bertandang ke Maarif Institute yang beliau dirikan. Rendah hati, ramah dan mengapresiasi pemikiran yang muda serta memotivasi, itu kesan yang saya dapat. Beliau percaya dan berharap dengan anak muda. Tak heran, beliau sangat mendorong perkembangan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).

Sejauh yang saya pahami, Buya seorang yang tegak lurus dengan prinsip. Bila ingin hidup mewah, tak susah bagi beliau yang menjabat dua kali sebagai Ketua PP Muhammadiyah. Akses kekuasaan dan jejaring para “saudagar” di kalangan keluarga Muhammadiyah, sangat bisa untuk dimanfaatkan. Namun, kehidupan mewah bukanlah ketertarikannya.

Buya memilih hidup sederhana. Menggunakan transportasi publik (KRL), dilakoninya dengan biasa. Juga menggunakan sepeda sederhana, bukan yang nilainya puluhan juta. Buya adalah seorang intelektual yang dijamin integritasnya 24 karat. Tegak lurus dalam pemikiran dan tindakan.

Buya seorang yang tegak lurus. Bahkan berani tidak populer dan berseberangan dengan opini publik. Ini terjadi ketika kasus Ahok. Buya waktu itu bahkan bertentangan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang menfatwakan Ahok melakukan penistaan agama. Buya pertama kali sependapat dengan MUI. Namun setelah melihat video secara utuh di Pulau Pramuka, beliau berpendapat berbeda.

Bagi Buya, yang dikritik adalah penggunaan ayat untuk kepentingan politik dan bukan mengkritik ayat. Jadi, landasan fatwa sangat lemah menurut Buya. Kasus terpelesetnya Ahok yang kemudian menjadi komoditas politik, akhirnya menjadi turbulensi dahsyat politik.

Terlepas setuju atau tidak setuju dengan pendapat Buya. Di sini terlihat, Buya benar-benar seorang yang berintegritas dengan apa yang diyakininya. Dia tidak takut berbeda dengan otoritas apapun atau opini publik, tetap bersuara lantang. Nilai-nilai obyektivitas, kemajemukan, kemanusiaan dan universalitas dipegang dengan gagah berani.

Di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), tentu saja kita juga mengenal Gus Dur. Beliau seorang intelektual besar dan sosok yang mencintai kemanusiaan dan keberagaman hingga sumsum tulang. Meskipun beliau belum tentu setuju dengan ajaran Ahmadiyah, namun beliau berada di depan ketika para penganut Ahmadiyah dipersekusi dan dianiaya.

Bahkan, dalam tausiyah tahun 2008 di GP Ansor beliau berwasiat untuk tetap melindungi Ahmadiyah. Berbeda tentu bisa diperdebatkan, namun menganiaya mereka yang berbeda pendapat sangatlah tidak bisa diterima. Menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan penganiayaan, akan membawa peradaban bangsa ke titik nadir.

Di kalangan Katolik, sangat dikenal Romo Mangun. Rohaniwan sekaligus intelektual ini sangat pekat nilai kemanusiaannya. Beliau bila turun hujan sering gelisah. Beliau risau membayangkan anak-anak gelandangan yang tidur di emperan toko. Meski lembut, namun beliau bisa sekeras baja bila menyangkut persoalan kemanusiaan.

Mangun melakukan mogok makan ketika penghuni kampung Code akan digusur, karena dianggap kumuh. Lalu beliau mendesain dan membangun kawasan kumuh itu dengan memanfaatkan keterbatasan sumber daya lokalitas yang ada. Kampung Code lalu mendapat penghargaan Aga Khan. Penghargaan prestisius di bidang arsitektur.

Romo Mangun juga mendampingi warga desa Kedung Ombo yang digusur sewenang-wenang dengan ganti rugi yang tidak berperikemanusiaan. Teror, intimidasi dan kekerasan fisik sangat sering terjadi di Kedung Ombo, ini terjadi di tahun 1980-an saat kekuasaan otoriter Orde Baru sangat kuat. Bisa dipastikan, di Code atau Kedung Ombo, wilayah tersebut mungkin tidak ada satupun yg beragama Katolik. Namun, nilai kemanusiaan jelas melampaui primordialisme formal agama.

Saya terharu dengan poster Gus Dur dan Romo Mangun di media sosial yang menyambut Buya Syafii Maarif (ke surga), saya lalu menulis ini. Saya sangat setuju ketiga tokoh tersebut sangat layak untuk diteladani. Mereka para intelektual besar penuh integritas dan berani memperjuangkan kemanusiaan yang dihayati hingga sumsum tulang, tanpa ragu dan takut sekalipun. Meski menghadapi berbagai tentangan atau intimidasi, mereka tetap memperjuangkan pendiriannya. Monggo Gusti.

Semoga keteladanan ini tetap terus menular, meskipun beliau bertiga telah berpulang. Dan semoga, kita menjadi bagian dari ini sesuai peran masing-masing. Amin.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini