Home BERITA TERKINI Tiktok Menyebabkan Lupa Realitas

Tiktok Menyebabkan Lupa Realitas

0

Pena Katolik- Hanya sekarang konsumsi media sosial di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Sebut saja perkembangan teknologi yang “melesat’ itu kini sudah menjadi-jadi.

Tidak sedikit orang berketergantungan dengan media sosial. Istilah kasarnya sambil “buang hajat”-pun anak sekarang tidak terlepas dari telepon selulernya, kalau bahasa canggihnya lebih dikenal dengan “HP”.

Sekrang media sosial seolah-olah menjadi kebutuhan sehari-hari, sebab dengan adanya itu memungkinkan penggunanya untuk saling berinteraksi serta membagikan hal apapun ke dalamnya.

Menurut data terbukti dari jumlah pengguna aktif media sosial untuk Indonesia telah mencapai 191 juta orang pada Januari 2022. Fenomena pengguna aktif tersebut telah naik 12,35% dari tahun sebelumnya. Salah satu media sosial yang populer dikalangan anak muda di Indonesia adalah tiktok.

Bagaimana dengan kasus tiktok?

Tak usah jauh-jauh, pengalaman pribadi dengan mertua dirumah. Menurut Ibu mertua saya, sekarang tiktok banyak informasi update dan bermacam-macam. Ada motivasi, ada pencemaran nama baik, ada berita yang sedang hot, ada juga kasus-kasus dan banyak lagi informasi lainnya.

Setidaknya pengakuan semacam ini adalah sebuah reaksi dari indikasi mulai ketergantungan informasi hanya bersumber dari satu hal. Untung saja Ibu mertua saya tidak demikian.

Kembali lagi, jika dilihat dari sejarahnya, sejatinya tiktok merupakan media sosial berbasis video dan musik yang diinisiasi oleh Zhang Yiming pendiri Bytedance pada September 2016.  Aplikasi Tiktok menawarkan kemudahan bagi para penggunanya dalam membuat maupun menonton konten video yang ada di dalamnya.

Eksepsi karena kemudahan yang ditawarkan, platform digital tiktok juga memiliki filter video dan musik yang dianggap lebih mempersona daripada media sosial yang lainnya.

Gelagat pengguna platform digital tiktok merupakan hal yang dinilai berpengaruh kuat terlebih bagi kalangan anak muda di Indonesia, celakanya banyak pengguna tiktok yang berlomba-lomba untuk membangun identitasnya demi mendapatkan citra yang mereka inginkan sehingga dapat menuai respon dan pujian dari masyarakat yang melihat mereka di aplikasi tiktok.

Keinginan untuk membangun citra di media sosial tiktok itu ternyata membuat para pengguna terbuai dan hanyut bahkan tidak sedikit yang terpengaruh untuk melakukan dan meniru konten video yang sedang populer, seperti menari, melakukan lip sync dan sebagainya.

Data menurut riset

Dalam kasus ini, aplikasi tiktok disisi lain memang menawarkan hal baru dalam berkomunikasi. Hal itu tampak pada penggunaannya yang lebih mudah dan menarik menjadikannya begitu populer di kalangan anak muda Indonesia.

Masalahnya akibat pengaruh dari ketersediaan teknologi itu mau atau tidak mau menimbulkan kebiasaan baru yang secara sadar atau tidak merubah pola pikir, analisis, ketajaman berpikir akibatnya informasi hoax pun “dilahap” tanpa dipikirkan terlebih dahulu. 

Pada 3 Juli 2018 Kementrian Komunikasi dan Informasi di Indonesia pernah mengumumkan pemblokiran media sosial tiktok karena banyak mendapat laporan informasi negatif. Informasi itu memuat beberapa pelanggaran konten, seperti; pornografi, asusila, pelecehan agama, kekerasan dan sebagainya.

Consumer News and Business Channel Indonesia (CNBC Indonesia) belum lama ini mempublikasikan artikel mengenai riset baru di bidang psikologi dengan mengutip Psypost. Dalam temuan yang diterbitkan pada International Journal Of Environmental Research and Public Health dikatakan untuk remaja atau orang yang kecanduan platform media sosial seperti tiktok cenderung mengalami depresi dan gangguan kecemasan yang bahkan dapat mengurangi kapasitas memori otak.

Keterangan itu dinilai dapat mempertegas sebenarnya aplikasi tiktok bukan hanya menyajikan konten-konten yang melanggar moral, tetapi dapat membawa pengaruh buruk terhadap mental penggunanya.

Jika mau dibawa dalam obrolan tentang hak asasi dan kebebasan, memang dalam kasus semacam ini tidak terlepas dari kehendak bebas si subjek itu sendiri. Bicara tentang kehendak bebas sering kali masyarakat terperangkap dalam lubang penerimaan berita yang tergolong ambiguitas.

Yang harusnya menjadi pusat keprihatinan adalah dampak pada masyarakat yang belum bisa memilih dan memilah mana berita yang kadar kebenarannya penuh, kurang, ataukah berita yang tidak mengandung kadar kebenaran.

Akhirnya masyarakat tidak mendapatkan informasi atau berita yang mutlak benar terjadi. Refleksi dari fenomena ini mengajak pembaca secara sadar sebagai manusia yang bermartabat untuk secara sadar menerima berita secara benar, minimal tidak ditipu-tipu kayak kasus ‘flexing’-lah.

Media sosial tiktok saat ini tidak terlepas dari pola yang sama dengan aplikasi lain yang dianggap dapat menjadi media pertunjukan seni baik suara, tarian bahkan unjuk gigi lewat konten videonya. Kegiatan untuk menunjukkan kebolehan di aplikasi tiktok itu celakanya dianggap “benar” bahwa hal tersebut bisa dijadikan alternatif bagi pertunjukan kesenian yang disebutkan sebelumnya.

alam hal ini, saya melihat pertunjukan ‘lenggak-lenggo’ bentuh tubuh di aplikasi tiktok justru menunjukkan betapa kasihannya kaum muda saat ini. Fenomena semacam ini saya analogikan seperti seorang manusia yang tidak bisa berenang yang suatu ketika terjatuh di tengah air. Karena ia tidak bisa berenang, maka ia berupaya untuk menggapai apapun yang ada diatas kepalanya untuk bertahan, kalau tidak ranting yang besar, apapun yang ada diatas menjadi pegangannya.

Pertanyaannya, mengapa ia terjatuh ditengah air? Udah tahu ia tidak bisa berenang? Nampaknya memang paradoks. Namun inilah analogi dari kemampuan otak manusia. Umumnya orang tidak tahu bahwa dirinya tidak mengetahui banyak hal, termasuk yang baik dan yang tidak baik. Untuk itu tidak heran juga kalau orang muda berlomba-lomba untuk eksis di media sosial.

Pengaruh konsumsi media sosial semacam ini seolah mau mengatakan bahwa adanya distraksi pada pengguna yang mengarahkan mereka pada keadaan hiperrealitas.

Apasih hiperrealitas?

Secara teoritis hiperrealitas adalah realitas-realitas buatan tanpa rujukan asal-usul yang bahkan tampak lebih nyata dibandingkan yang sebenarnya. Disisi lain hiperealitas juga digunakan di dalam semiotika dan filsafat pascamodern untuk menjelaskan ketidakmampuan kesadaran hipotetis untuk membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya di dalam budaya pascamodern berteknologi tinggi.

Dari pengertian diatas sudah jelas bahwa keadaan hiperrealitas untuk konteks ini yakni kondisi fantasi yang dipersepsikan seolah nyata, dimana manusia sudah tidak bisa membedakan mana realitas dan mana yang hanya sekedar fantasi.

Kebiasaan ini dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari, tidak usah jauh-jauh lihat saja anggota keluarga kita atau sekitar kita, seberapa tahan lama mereka tidak memegang android mereka? Kasus yang paling sederhana, “awalnya hanya balas WhatsApp (WA), eh buka instragram (IG) dulu ah kemudian ‘scroll’, sampai ‘bercucuran air mata-plus mata merah’, kemudian bengong, lanjut rebahan, lanjut buka FaceBook (FB), lanjut lagi nonton Tiktok, satu jam, dua jam, ujung-ujung tiga jam hanya melototi HP, kemudian lupa apa yang mau dibuat.”

Ini bukanlah sekedar cerita atau khayalan yang dibuat-buat, tapi begitulah faktanya. Ada yang pernah menjadi korban dari fenomena hiperrealitas?

Jika ada, berbahagialah karena usai membaca naskah ini anda hanya sekedar tahu saja informasi ini dan kembali pada kebiasaan sebelumnya, “bercanda, hehe”.

Maksud saya, berbahagialah karena ini justru sebuah kesempatan untuk merenung dan mengosongkan diri. Ada banyak cara untuk mengosongkan diri, salah satunya puasa untuk mengurangi penggunaan HP. Bagi yang Katolik, maksimalkan waktu untuk ikut pelayanan entah itu mengikuti retret, atau ziarah. 

Jika suka hobi, misalnya olah raga, berlatih musik atau mengikuti kegiatan yang tidak banyak bersentuhan dengan HP. Tidak ada cara lain untuk mengurangi dampak itu, selain mengurangi penggunaannya. Bagi yang suka membaca, smartphone bisa dimaksimalkan dengan membaca artikel-artikel tajam dan ilmu pengetahuan yang bertebaran di internet.

Samuel – 28 April 2022 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version