Senin, Desember 23, 2024
32 C
Jakarta

Larang Imam Jadi Pengurus dan Pengawas CU, Uskup Atambua Ingin Koperasi Menjadi Ranah Pelayanan Awam

Uskup Atambua Mgr Dominikus Saku saat membuka RAT CU Kasih Sejahtera Atambua. IST

ATAMBUA, Pena Katolik- Uskup Atambua, Mgr. Dominikus Saku melarang para imam menjadi pengurus dan pengawas Credit Union (CU) Kasih Sejahtera Atambua. Ia menginginkan, koperasi menjadi ranah pelayanan bagi awam.

Hal ini ditegaskan Uskup Atambua Mgr Dominikus Saku, Pr dalam sambutannya pada Rapat Anggota Tahunan (RAT) CU Kasih Sejahtera Tahun Buku 2021, Kamis 17 Februari 2022. Uskup kelahiran Kaenbaun TTU ini mempersilakan kaum awam yang hebat di CU Kasih Sejahtera Atambua untuk pengurus dan pengawas demi mengembangkan bisnis CU. Hingga sekarang pengurus dan pengawas masih dijabat oleh para Imam.

“Padahal mengurus CU dan Ekonomi itu harusnya ranah kaum awam,” tegas Mgr Domi.

Mgr. Dominikus mengatakan, tiga tahun ke depan kalau CU mengundangnya untuk misa di kantor, ia akan menolaknya. Selaku Uskup ia hanya mau melakukan misa RAT CU di kebun pisang, persawahan, tambak ikan milik anggota. Karena banyak orang yang tidak termasuk anggota CU tetapi maju luar biasa dalam bisnis. Contoh pelaku UMKM, atau pengusaha konstruksi.

“Anggota harus melihat pengusaha sukses di Atambua, TTU, dan Malaka. Mereka bukan anggota CU tetapi maju, sedangkan anggota CU tidak maju karena tidak belajar,” tegasnya.

Padahal, ada kekuatan dan potensi besar di organisasi ini. Kekuatan personal CU Kasih Sejahtera Atambua seharusnya bekerja berdasarkan organisatoris yang ada, tetapi faktanya lemah secara organisasi. Oraganisasi besar lain di dunia, maju karena ada orang-orang pejuang yang memiliki visi besar, daya juang besar, dan semangat untuk mengubah sesuatu.

Bagi managemen CU Kasih Sejahtera Atambua, ia meminta agar bekerja memanfaatkan kelompok basis (Kompas) untuk memacu lembaga tersebut lebih tumbuh ke depan.

Pinjalan untu Hel Keta

Mgr. Dominikus juga melarang anggota CU meminjam uang untuk kumpul keluarga dan Hela Keta. Sebab Hela Keta adalah budaya konsumtif yang tidak mengandung makna pemberdayaan ekonomi anggota.

Pernyataan ini menyusul larangan Hel Keta yang sebelumnya dikeluarkan Mgr. Dominikus. Dalam edaran yang ia keluarkan, Mgr. Dominikus melarang pelaksanaan Hel Keta di wilayah pastoral Keuskupan Atambua.

Hel Keta dikenal dalam masyarakat Atoin Meto (Suku Dawan) yang meliputi hampir sebagian penduduk Timor Barat. “Hel Keta” yaitu suatu ritual adat yang dilakukan di antara dua suku Atoin Meto (Dawan) dengan suku lain misalnya Tetun, Marae atau Kemak di Timor yang menurut tutur adat pernah terjadi perang suku di antara kedua suku tersebut.

Apabila terjadi perkawinan di antara kedua suku ini, yang pernah terjadi perang sehingga ada permusuhan, maka harus dilakukan ‘Hel Keta’ terlebih dahulu. Pernikahan kedua mempelai tidak dapat dilangsungkan sebelum upacara ini.

Dalam surat itu, Mgr. Dominikus menegaskan alasan melarang Hel Keta. Pertama, bertentangan degan iman Katolik (praktik supertisi dan mistis magis). Kedua, tidak memiliki dasar dalam kehidupan sosio-kulutral. Ketiga, memecah-belah hubungan kekerabatan dan hubungan antara manusia. Keempat, menambah berat beban ekonomi keluarga dan masyarakat. Mgr. Dominikus juga menyerukan kepada imamnya agar tidak melayani bahkan membatalkan perkawinan yang masih menyertakan upacara Hel Keta di dalamnya.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini