Senin, Desember 23, 2024
26.1 C
Jakarta

Satu Abad Percetakan Kanisius, Di Awal Sejarahnya Pernah Mencetak Mata Uang Indonesia

Para pekerja pada tahun-tahun awal Canisius Drukkerij atau Percetakan Kanisius yang dimulai dari sebuah gedung bekas pabrik besi di Yogyakarta. Dok. PT Kanisius.

YOGYAKARTA, Pena Katolik – Tahun ini, PT Kanisius berusia satu abad. Tonggak ini mengukuhkan bahwa Kanisius menjadi perusahaan penerbitan dan percetakan di Indonesia yang mampu bertahan hingga usia 100 tahun. Rentang usia ini tentu bukan sebuah perjalanan yang mudah. Ada dinamika, ada jatuh bangun dalam “nguri-uri” perusahaan penerbitan yang berdiri sejak 26 Januari 1922 ini.

Canisius Drukkerij begitu nama yang diberikan di awal berdidinya Kanisius. Awalnya berdiri di Jalan P Senopati, Yogyakarta tak jauh dari Tugu 0 Km. awalnya, sebuah Gudang bekas pabrik besi digunakan sebagai workshop awal percetakan.

Salah satu catatan sejarah terdapat dalam terbitan Kompas tertanggal 30 April 1972. Saat itu, Kanisius sudah berusia 50 tahun. Laporan itu menyatakan Kanisius, penerbit milik Serikat Yesus ini, sebagai tiga penerbit terbesar di Indonesia.

“Pertjetakan ini jang dimulai serba ketjil2an setengah abad jang lampau, kini telah berkembang, terutama setelah beberapa tahun terachir ini menjadi sebuah pertjetakan modern dan besar (termasuk tiga besar di seluruh Indonesia” (harian Kompas, 30 April 1972). Perayaan syukur 50 tahun itu diadakan di Hotel Garuda Yogyakarta, April 1972.  Kanisius sudah berusia 50 tahun, saat Indonesia masih tergolong muda, 27 tahun.

Adalah Romo J Hoeberechts SJ yang dri budinya lahir gagasan untuk meletakkan dasat membangun sebuah percetakan yang lahir dari “Rahim” Katolik Hindia Belanda. Bahkan sebelum gagasan tentang Indonesia lahir, lewat peristiwa Sumpah Pemuda, Kanisius sudah dirintis Bruder Bellinus FIC. Keduanya tak akan menyangka, kini usia Kanisius melampaui usia 50 tahun.

Serba Ketjil2an

“Serba ketjil2an” begitu laporan Kompas menuliskan bagaimana Kanisius diawali. Pernyataan ini rasanya tidak bisa dimaknai lain, bahwa semua serba sederhana, saat percetakan ini dimulai. Saat mulai beroperasi, Canisius Drukkerij hanya mampu mengoperasikan dua mesin. Pegawainya pun “ketjil2an” yaitu hanya tiga orang.

Dibutuhkan waktu hanya setahun, setahun kemudian, Canisius Drukkerij membangun gedung seluas 200 meter persegi. Bruder Bellinus juga mendatangkan mesin-mesin baru dari Eropa. Dari tiga karyawan, pegawai kemudian bertambah menjadi 20 orang. Saat Bruder Baldewinus FIC memimpin percetakan ini tahun 1934, lokasi percetakan ini pindah lagi di Jalan P Senopati 24 yang lebih luas. Kapasitas mesin pun ditingkatkan.

Saat berusia 20 tahun, ibarat seorang pemuda yang sedang dalam gelora semangatnya, Canisius Drukkerij percetakan ini dibuat hampir mati selama penjajahan Jepang tahun 1942. Bruder Baldewinus diasingkan oleh Jepang, karena dianggap “antek Belanda”.

Penampakan Oeang Reborblik Indonesia (ORI) yang dicetak oleh PT Kanisius tahun 1946. Dok. IST

Mencetak Uang Indonesia

Perusahaan ini berangsur “hidup” kembali ketika Jepang menyerah dan Indonesia merdeka. Titik ini juga menjadi penanda pergantian manajemen Kanisius. Pemerintah Indonesia menyerahkan pengelolaan Kanisius kepada Pastor A Djajasepoetra SJ sebagai wakil uskup pada 8 Mei 1946. Pada awal kelahiran Indonesia ini, Kanisius mendapat kepercayaan dari negara untuk mencetak Oeang Repoeblik Indonesia (ORI).

Pada 29 Oktober 1946, RRI Yogyakarta, menyiarkan pernyataan Wakil Presiden, Mohammad Hatta yang mengumumkan terbitnya ORI. Uang itu dimaksudkan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sejak saat itu juga, mata uang buatan Jepang mulai tergantikan. Saat ini ada tiga mata uang yang beredar, selain ORI dan mata uang Jepang, masih ada banyak mata uang Netherlands Indies Civil Administration (NICA () yang masih beredar luas.

Tahun 1968, Penerbit Kanisius menjadi anggota ke-19 Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Ini jadi bukti bahwa percetakan ini mampu bertahan dan terus berkarya bagi Gereja dan bangsa. dalam perjalanannya hingga tahun itu, percetakan ini terus berhasil melalui gelombang tantangan yang silih berganti datang.

“Kapal layar” yang menjadi logo percetakan ini menjadi gambaran akan ketangguhan penerbit Kanisius dalam mengarungi gelombang pasang surut sejarah Indonesia. Pada 1980, perusahaan ini menghadapi kesulitan keuangan. Percetakan Kanisius bahkan sempat hampir dijual oleh Serikat Jesus,  sebagai pemilik, kepada Percetakan Arnoldus Ende.

“hantaman” ini berhasil dikalahkan. Pimpinan dan karyawan bersama gotong royong untuk tetap mempertahankan Kanisius. Hingga memasuki era 1980 sampai 2000-an, Kanisius lalu berkembang pesat. Selain buku, berbagai macam produk multimedia hingga permainan edukatif diterbitkan. Pada periode ini, Kanisius melakukan perluasan pasar pun dilakukan hingga ke luar negeri. Pada 1996, Penerbit-Percetakan Kanisius pertama kali hadir dalam Frankfurt Book Fair di Jerman.

Taman Baca Kanisius di Yogyakarta. Dok. PT Kanisius

Kembalu diterpa

Pada 2010, gelombang besar itu kembali datang. Saat itu, Kanisius berusia 88 tahun. Kali ini krisis kepemimpinan dan kekacauan menejemen menjadi biang keladi. Tidak ad acara lain, Kanisus haru “ditata ulang”. Beruntung, usaha in berhasil, Kanisius pun kembali Berjaya.

Dengan keberhasilan melalui gemlombang terakhir ini, Kanisius menjadi perusahaan yang sepenuhnya professional. Namanya pun berganti menjadi PT (Perseroan Terbatas) Kanisius pada Januari 2014. Di sinilah, Kanisius terjun di “dunia baru” yaitu dalam bisnis digital.

Kini, diusianya ke 100 tahun, Kanisius mencetak beragam terbitan, tidak saja dalam tema-tema Gerejawi namun juga dalam bidang Pendidikan. Terbitan-terbitan ini begitu bernilai memberi bekal bagi banyak orang muda dengan ilmu.

Uskup Agung Semarang, Mgr. Robertus Rubiyatmoko menyampaikan, bahwa Kanisius juga berjasa dalam kelahiran Keuskupan Agung Semarang (KAS). Ia menyanpaikan, apa yang dihasilkan Kanisius adalah sumbangan bagi Gereja dan juga bagi masyarakat Indonesia.

“Kita bersyukur, PT Kanisius dari waktu ke waktu selalu memegang misi ini, yaitu berperan aktif untuk karya perutusan Gereja dan Pendidikan masyarakat dan untuk kemuliaan Allah,” ujar Mgr. Rubi.

Direktur PT Kanisius, Romo E. Azizmurdopo Subroto SJ menyampaikan, bahwa warisan dari para leluhur berupa Percetakan Kanisius ini akan menjadi tanggung jawab seluruh karyawan untuk menjaga dan mengembangkannya. Pada momen ini, sebagai hasil refleksi seabad Kanisius, Kanisius ingin menjadi perusaan inspiratif dan berdaya ubah. Hasil refleksi ini juga memunculkan lima nilai yaitu jujur, disiplin, sigap, inovatif, dan peduli, yang akan menjadi penggerak karya Kanisius. Refleksi ini juga disarikan dalam semboyan “Cita dan karya warnai Indonesia”.

Kanisius bukanlah PT yang didorong untuk mencari laba sebanyak-banyaknya. Namun misi Kanisius adalah menjadi PT yang inspiratif dan berdaya ubah. Provinsial Serikat Yesus, Romo Benedictus Hari Juliawan SJ mengatakan, berjalannya PT Kanisius hendaknya memiliki daya ubah bagi masyarakat Indoneisa menuju masyarakat yang lebih baik. “Kanisius akan hidup 100 tahun lagi,” ujar Romo Beni.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini