Paus perbarui sanksi hukuman di Gereja: Kemurahan perlu koreksi

0
1953

sanksi

“Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa tetapi dengan sukarela, sesuai kehendak Allah” (lih. 1 Pet 5: 2). Demikian kata-kata Rasul Petrus memulai Buku VI Kitab Hukum Kanonik tentang sanksi pidana dalam Gereja yang diperbaiki Paus Fransiskus dengan menggunakan Konstitusi Apostolik “Pascite Gregem Dei.” Teks baru, yang dipresentasikan hari Selasa, 1 Juni, di Kantor Pers Takhta Suci itu mulai berlaku 8 Desember.

“Untuk menanggapi secara memadai kebutuhan Gereja di seluruh dunia,” jelas Paus Fransiskus, “tampak jelas bahwa peraturan hukuman yang diumumkan Santo Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983 dalam Kitab Hukum Kanonik perlu direvisi, dan perlu modifikasi sedemikian rupa agar para pastor menggunakannya sebagai sarana yang lebih menyelamatkan dan korektif, untuk diterapkan segera dan dengan kasih pastoral guna menghindari kejahatan lebih serius dan menenangkan luka yang disebabkan oleh kelemahan manusia.”

Paus ingat bahwa Benediktus XVI melancarkan revisi ini tahun 2007, sebuah proses yang melibatkan “dengan semangat kolegialitas dan kerja sama,” para ahli Hukum Kanonik dari seluruh dunia, serta dengan Konferensi-Konferensi Waligereja, para superior utama lembaga-lembaga religius, dan Dikasteri-Dikasteri Kuria Romawi. Naskah yang intens dan kompleks yang dihasilkan telah diserahkan kepada Paus pada Februari 2020.

Dalam Konstitusi Apostoliknya, Paus Fransiskus mencatat bahwa Gereja selama berabad-abad telah menetapkan aturan perilaku “yang mempersatukan Umat Allah dan pelaksanaannya menjadi tanggung jawab para uskup.” Paus juga menekankan bahwa “kemurahan dan belas kasihan perlu seorang Bapa untuk berkomitmen juga meluruskan apa yang terkadang menjadi bengkok.”

Inilah tugas, jelas Paus, “yang harus dilaksanakan sebagai tuntutan kemurahan yang nyata dan tidak dapat dicabut bukan hanya terhadap Gereja, umat Kristen dan kemungkinan korban, tetapi juga terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan, yang membutuhkan belas kasihan dan koreksi dari Gereja. Di masa lalu, banyak kerusakan disebabkan oleh kurangnya persepsi tentang hubungan intim yang ada dalam Gereja antara pelaksanaan kemurahan dan sumber bantuan lain, kalau keadaan dan keadilan mengharuskannya, hingga sanksi pidana.”

Tren ini, kata Paus, mewakili cara berpikir yang membuat koreksi lebih sulit, “seringkali menimbulkan skandal dan kebingungan di antara umat beriman.” Maka, lanjut Paus, “kelalaian seorang Pastor dalam menggunakan sistem pidana menunjukkan bahwa dia tidak memenuhi fungsinya dengan benar dan sungguh-sungguh.”

Kenyataannya, “kemurahan menuntut para Pastor memiliki sumber bantuan lain untuk sistem pidana sesering yang diperlukan, dan mengingat tiga tujuan yang membuatnya perlu dalam komunitas gerejawi, yaitu, pemulihan tuntutan keadilan, amandemen pelanggar, dan pemulihan skandal.”

“Teks baru itu,” kata Paus, “memperkenalkan berbagai perubahan pada undang-undang yang saat ini berlaku dan menjatuhkan sanksi pada beberapa pelanggaran baru.” Paus mencatat bahwa Buku VI juga telah diperbaiki “dari sudut pandang teknis, terutama berkaitan dengan aspek-aspek fundamental hukum pidana, seperti hak pembelaan, statuta pembatasan untuk tindakan kriminal, dan penentuan hukuman yang lebih tepat,” serta memberikan “kriteria obyektif dalam mengidentifikasi sanksi paling tepat untuk diterapkan dalam kasus konkret” dan mengurangi kebijaksanaan otoritas, untuk mendukung kesatuan gerejawi dalam penerapan hukuman, “terutama untuk pelanggaran yang menyebabkan kerusakan dan skandal lebih besar di masyarakat.”

Dari 89 kanon dalam Buku VI, 63 dimodifikasi; sembilan kanon lainnya dipindahkan dan hanya 17 yang tetap tidak berubah. Perubahan signifikan menyangkut masalah kekerasan terhadap anak. Sebelumnya dianggap dalam konteks melanggar kaul kesucian, penyalahgunaan ini juga dipandang sebagai pelanggaran terhadap kehidupan dan “martabat” – serta kebebasan manusia (Judul VI).

Ini menyangkut pelecehan seksual yang dilakukan klerus pada anak di bawah umur tetapi juga pada orang-orang yang rapuh. Teks itu juga mencakup perawatan anak di bawah umur dan kepemilikan atau tampilan pornografi anak (Kan. 1398).

Konstitusi Apostolik “Pascite Gregem Dei” tertanggal 23 Mei 2021, Hari Raya Pentakosta, mulai berlaku 8 Desember 2021.(PEN@ Katolik/paul c pati/Vatican News/Aleteia)

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here