Sepuluh martir Quiché (tiga imam dan tujuh awam) yang dibunuh karena keyakinan mereka di Guatemala menjadi “beato” dalam Misa beatifikasi di Katedral Santa Cruz del Quiché, Guatemalaari, 23 April. Misa itu dipimpin oleh wakil Paus Fransiskus, Kardinal Álvaro Leonel Ramazzini.
Tiga imam yang dibeatifikasi Paus Fransiskus itu anggota Misionaris Hati Kudus Yesus yakni Pastor Jose Maria Gran Cirera MSC, Pastor Juan Alonso Fernandez MSC dan Pastor Faustino Villanueva MSC. Tujuh awam adalah Rosalío Benito, Reyes Us, Domingo del Barrio, Nicolás Castro, Tomás Ramírez, Miguel Tiú dan Juan Barrera Méndez yang berusia 12 tahun. 10 orang itu tewas karena “kebencian terhadap iman” di Guatemala antara 1980 dan 1991.
Salah satu dari tiga imam MSC itu, kata Pastor Johanis Mangkey MSC kepada PEN@ Katolik di hari yang sama, pernah berkarya di Paroki Kokoleh, Keuskupan Manado, tahun 1963 hingga 1965. Nama imam itu Pastor Juan Alonso Fernandez MSC yang diberondong dengan peluru-peluru di suatu perbukitan, dalam perjalanan pastoralnya, 15 Februari 1981.
Ketika masih anak-anak dan sedang bermain di Pastoran Paroki Santo Antonius Padua Tataaran, Tondano Selatan, Sulawesi Utara, Pastor Mangkey mengaku pernah bertemu Pastor Alonso ketika imam itu mampir di parokinya dengan sepeda motor besar.
Pastor Mangkey baru menerjemahkan dan menerbitkan buku berjudul “Memberi Diri Seutuhnya. Para Martir MSC dari Amerika Tengah” dari “They Gave Their Lives. MSC Martyrs of Central America” yang merupakan terjemahan dari naskah asli berbahasa Spanyol “Dieron La Vida. Martires MSC en Centroamerica” tulisan Pastor Jesus Lada MSC.
Buku itu mengisahkan tentang empat misionaris anggota Tarekat MSC asal Spanyol yang rela bermisi ke Amerika Tengah. Tiga bertugas di wilayah El Quiché, Guatemala, dan satunya di Nikaragua; yang di Nikaragua belum masuk daftar beatifikasi.
Buku itu dikerjakan Pastor Mangkey sejak mendengar dektrit tentang kemartiran mereka dari Paus Fransiskus, Januari 2020, dengan motivasi “untuk menghargai karya pelayanan, kesaksian dan pengorbanan hidup mereka yang luar biasa, khususnya kepada Pastor Alonso yang rela datang berkarya di Keuskupan Manado, khususnya di Minahasa,” dan umat Katolik di Keuskupan Manado dan Indonesia tahu “bahwa ada misionaris yang pernah bekerja untuk Gereja di Indonesia, dan yang kemartirannya diakui resmi oleh Gereja.”
Dalam menerjemahkan buku itu, jelas imam itu, “saya menemukan semangat membara para misionaris itu yang menghantar mereka pada kemartiran, yakni cinta kepada Yesus yang mereka wartakan dan komitmen keberpihakan mereka terhadap orang miskin dan teraniaya oleh penguasa pemerintah dan rezim militer.” Menurut Pastor Mangkey, para martir itu bertekad dan berani menjadi suara bagi orang-orang yang tak mampu bersuara. “Mereka tahu dan sadar akan bahaya dan risiko besar pilihan ini, tetapi mereka memegang komitmen, tidak gentar, tidak mundur.”
Pastor Alonso, kata Pastor Mangkey, tahu risiko dari komitmen, tahu bahwa kapan saja ia bisa ditembak di tengah kegiatan pastoralnya. “Tapi dia pemberani. Risiko dan bahaya tidak menghalangi pelayanannya” dan tetap taat pada tugas diberikan pimpinannya.
Yang menarik, kata imam itu, Pastor Alonso mau tempat tugas lebih sulit dan meminta pimpinannya menempatkan dia ke daerah lebih atau paling sulit. Kisah Pastor Alonso di Minahasa, menurut Pastor Mangkey, juga menarik. “Ketika ditempatkan di Paroki Kokoleh, ia merasa masih banyak wilayah lebih sulit dan jarang dikunjungi pastor karena jumlah imam terbatas. Jiwa penjelajahnya membawa dia ke mana saja dengan motor besarnya. Tidak heran misalnya namanya sebagai pastor pembaptis tercatat juga di buku baptis Paroki Langowan yang berada di bagian Selatan Minahasa dan memiliki banyak stasi.”
Buku itum tegas Pastor Mangkey, berikan kepada generasi muda MSC, baik frater maupun bruder, yang sedang berada pada jenjang pendidikan dan pembinaan, “agar mereka dapat meneladani banyak keutamaan dari para martir ini, secara khusus supaya jiwa misioner generasi muda, yang mencakup kesiapsediaan, mobilitas, ketaatan, pengorbanan dan pemberian diri terus bertumbuh dan berkembang.”
Menurut Pastor Mangkey, Tarekat MSC sangat bersukacita bahwa anggota-anggota MSC diakui secara resmi dalam Gereja sebagai saksi-saksi iman. “Sukacita itu pasti besar. Secara khusus sukacita pasti sangat luar biasa dirasakan oleh Jenderal MSC Pastor Mario Absalon Alvarado Tovar MSC, yang berasal dari Guatemala. Dia orang Guatemala, penerus karya dari para martir itu,” kata imam itu.
Dalam wawancara dengan Vatican News, Uskup Quiché Mgr Rosolino Bianchetti Boffelli mengatakan, para martir itu “benar-benar misionaris yang bergerak, yang pergi dari rumah ke rumah, menjaga iman tetap hidup, berdoa bersama saudara-saudari mereka, menginjili. Mereka orang-orang yang sangat beriman, sangat percaya kepada Allah, tetapi juga orang-orang yang sangat berdedikasi untuk membawa perubahan, Guatemala yang berbeda.”
Antara 1960 hingga 1996, Guatemala berjuang melalui konflik antara rezim militernya dan berbagai kelompok kiri, lebih dari 200.000 orang terbunuh. Sekitar tahun 1980-an Gereja mulai mengalami penganiayaan sistematis karena perannya dalam membela martabat dan hak-hak orang miskin.
Uskup Emeritus Keuskupan Manado Mgr Josephus Suwatan MSC menulis dalam buku terjemahan Pastor Mangkey itu bahwa dia kenal Pastor Alonso saat bertemu di Manila lalu berangkat bersama dengan pesawat ke Jakarta, Juni 1963, dan terus ke Manado. “Dia suka berkunjung ke mana-mana dengan sepeda motor besarnya. Ternyata dia mempunyai jiwa penjelajah, ke mana pun motornya bisa bawa dia. Ia berjenggot dan selalu mengenakan jubah putih ke mana pun dia pergi, walau sudah kotor karena debu dan becek.”
Dalam sambutan buku itu, Provinsial MSC Indonesia Pastor Samuel Maransery MSC menuls bahwa para martir MSC itu adalah misionaris yang seperti Abraham rela diutus ke tempat di mana mereka tidak tahu dan tidak kenal, untuk mewartakan Kabar Gembira Kristus.”
Maka, selain menegaskan bahwa menjadi misionaris menuntut kerelaan meninggalkan tanah asal, kesiapan pergi ke tempat tidak dikenal, kemauan belajar bahasa, adat-istiadat dan budaya setempat, keberanian bekerja giat bersama umat, dan “apabila perlu … menyerahkan hidup kita bagi mereka,” Pastor Samuel menyambut gembira buku itu dan berharap “memperkaya setiap anggota tarekat MSC dan pembaca dengan visi misioner dan semangat kemartiran yang dihayati para martir MSC ini.”(PEN@ Katolik/paul c pati)