Pen@ Katolik

Mgr Antonius Subianto ajak media komsos jadi media populis, bukan sekedar populer

Uskup Bandung Mgr Antonius Subianto Bunjamin OSC sedang berbicara dalam Hari Studi Rapat Anggota Signis Indonesia 2021 (PEN@ Katolik/screenshot)
Uskup Bandung Mgr Antonius Subianto Bunjamin OSC sedang berbicara dalam Hari Studi Rapat Anggota Signis Indonesia 2021 (PEN@ Katolik/screenshot)

“Media komunikasi menjadi sarana untuk mengkomunikasikan kebenaran dengan cara mempromosikan budaya perjumpaan, di mana perbedaan menjadi peluang untuk saling bertumbuh dan saling mengasihi. Media komsos diajak tidak mengejar popularitas dengan mengorbankan kebenaran, tetapi bagaimana media komsos menjadi media populis, bukan sekedar populer.”

Pernyataan itu diungkapkan Uskup Bandung yang juga Sekjen KWI Mgr Antonius Subianto Bunjamin OSC dalam webinar yang dilakukan di hari studi mengawali Rapat Tahunan 2021 Signis Indonesia, 19 April. Presentasi Mgr Antonius berjudul “Datang dan Lihatlah Semua Adalah Saudara,” Gereja Mengkomukasikan Kebenaran.

Webinar yang dibuka oleh Sekretaris Eksekutif Komisi Komsos KWI Pastor Antonius Steven Lalu Pr dengan moderator Ketua Komsos Keuskupan Purwokerto Pastor Teguh Budiarto Pr juga menampilkan Suster Geredette Philips RSCJ bersama Mochamad Zialhaq yang membicarakan “Telling the Truth dalam membangun persaudaraan manusia” dan Wartawan Kompas Yohanes Krisnawan tentang “Teling the Truth dalam Jurnalisms.”

Dalam pembicaraan yang mererefleksikan Ensiklik Paus Fransiskus berjudul “Fratelli Tutti” dan Pesan untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-55, Mgr Subianto menjelaskan perbedaan populis dan populer. “Populer itu asal terkenal, sedangkan populis itu berpihak kepada rakyat, dengan hati dan budi terarah pada rakyat, sehingga energi juga diberikan kepada rakyat, demi pemberitaan pada rakyat.”

Maka, kata Mgr Subianto, dalam pesan itu Paus minta kita “hati-hati dengan godaan berita tendensius” dan mengajak “menggunakan metode ‘datang dan lihat’ untuk mengenal realitas, dan untuk verifikasi paling jujur dari setiap pernyataan tentang kebenaran yang hendak disampaikan, karena untuk mengetahui harus bertemu dan membiarkan orang di depan saya berbicara, serta membiarkan kesaksiannya sampai kepada saya.”

Untuk itu, kata uskup kepada peserta rapat yang melanjutkan dua hari bisnis setelah hari studi itu, Paus ajak kita turun ke jalan, menghabiskan sol sepatu agar terjadi perjumpaan yang konkret. “Jika kita tidak membuka diri pada perjumpaan, kita tetap tinggal sebagai penonton dari luar, meskipun inovasi teknologi mampu membuat kita seolah-olah tenggelam dalam sebuah realitas luas secara langsung.”

Contoh berita populis yang tak populer dan beresiko, kata Mgr Subianto, adalah berita penganiayaan kaum minoritas, ketidakadilan dan penindasan atas orang miskin dan ciptaan serta peperangan. “Jika suara-suara ini bungkam atau berkurang, bukan hanya pemberitaan yang akan rugi, tetapi terutama seluruh masyarakat dan demokrasi. Situasi ini sungguh sebuah pemiskinan atas kemanusiaan kita,” kata uskup.

Berita-berita itu, lanjut uskup, tidak populer untuk pihak tertentu, berbeda dengan konten tertentu dari Youtube, misalnya, yang bisa menarik ratusan jutaan viewer, termasuk kita yang ingin tahu, tapi konten yang bagus sedikit viewer.”

Paus, kata uskup itu, berterima kasih kepada jurnalis yang mempunyai keberanian, “dan saya tambahkan keberanian kreatif dalam memberitakan seperti keberanian kreatif yang dilakukan Santo Yosef.

Agar informasi lebih otentik, Mgr Subianto, mengajak anggota Komsos untuk melakukan perjumpaan, membuat “Budaya Perjumpaanyang mengandaikan pengalaman “datanglah dan lihatlah.” Fratelli Tutti 47 menulis, “Kebijaksanaan sejati menuntut adanya perjumpaan dengan realitas. Akan tetapi dewasa ini segala hal yang dapat diciptakan, disamarkan dan dipermak, dan perjumpaan langsung bahkan dengan berbagai pinggiran realitas dapat dilakukan.”

Jika tidak membuka diri pada perjumpaan, tegas Mgr Subianto, “kita tetap tinggal sebagai penonton dari luar, meski inovasi teknologi mampu membuat kita seolah-olah tenggelam dalam sebuah realitas luas secara langsung.“ Untuk mengetahui, lanjut Uskup Bandung itu, “harus bertemu dan membiarkan orang di depan saya berbicara, serta membiarkan kesaksiannya sampai kepada saya.”

Mgr Subianto mengingatkan “Yohanes Pembaptis adalah sang komunikator sejati, seorang wartawan asli, yang datang dan melihat siapakah Yesus sehingga ia jugalah yang mengantar para muridnya untuk menjadi murid Yesus, seperti yang tulis Yohanes 1:35, “Dan aku telah melihat-Nya dan memberi kesaksian: Ia inilah Anak Allah.”

Mgr Subianto juga mengingatkan peserta yang sebagian adalah para imam ketua Komsos Keuskupan bahwa dialog-dialog penting Yohanes Pembaptis menggunakan kata melihat yang diawali “Lihatlah Anak Domba Allah!” dan diakhiri “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya engkau akan melihat langit terbuka dan malaikat-malaikat Allah turun naik kepada Anak Manusia.”

Dan di tengahnya, lanjut uskup, ada dialog inti yang menjadi dasar biblis pesan Paus, “Ia berkata kepada mereka: Marilah dan kamu akan melihatnya. Mereka pun datang dan melihat di mana Ia tinggal, dan hari itu mereka tinggal bersama-sama dengan Dia; waktu itu kira-kira pukul empat.” (Yohanes 1: 39).

Mgr Subianto juga mengingatkan para anggota Signis itu untuk melihat bagian awal Pesan Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-54 berjudul “Hidup Menjadi Cerita.” Di situ, kata uskup, Paus mengajak kita membuat dan menyebarkan “cerita yang membangun, bukan menghancurkan, cerita yang membantu menemukan kembali akar dan kekuatan untuk bergerak maju bersama.”

Di tengah-tengah hiruk-pikuk suara dan pesan membingungkan, uskup mengutip pesan itu, “kita butuh cerita manusiawi yang bicara tentang diri sendiri dan segala keindahan di sekitar, cerita yang mampu memandang dunia dan peristiwa dengan penuh kelembutan. Itulah kiranya yang menjadi ajakan untuk mengkomunikasikan kebenaran.”

Mgr Subianto menegaskan, kita diajak membuat cerita “kisah kasih” karena itu media komsos menjadi salah satu sarana jalan kekudusan dan “datang dan lihatlah adalah tindakan konkret jalan kekudusan kita.

Saat ini kata-kata atau kalimat yang paling banyak disebarkan, “apakah-kata-kata kasih, hormat, syukur, maaf, peneguhan, atau tuduhan, hujatan, kekecewaan dan kebencian?” Ternyata, kata uskup, ada banyak cerita berisi kebencian yang disebarkan iblis untuk mengacaukan manusia, “tetapi kita diajak untuk menyebarkan kisah kasih Allah kepada manusia dan cinta manusia kepada Allah, atau relasi saling mengasihi manusia, yang jelas bisa kita baca dalam Kitab Suci sebagai cerita segala cerita.”

Mgr Subianto berharap agar berita yang kita buat “merupakan kisah kasih Allah kepada manusia, kisah kasih kita kepada sesama, dan kisah kasih manusia kepada Allah, sehingga fasilitas dan sarana medsos dan orang-orang yang terlibat menjadi berkat dan jalan menuju kekudusan.”(PEN@ Katolik/paul c pati)

Swkretaris Eksekutif Komisi Komsos KWI Pastor Steven Lalu Pr