“Memang, hidup solider dengan sesama manusia tidaklah gampang untuk diwujudkan oleh kita para pengikut Yesus. Namun, walaupun tak gampang, kita para pengikut Yesus harus melaksanakannya. Hidup solider dengan sesama manusia, itulah panggilan dan perutusan kita, itulah jati diri kita sebagai pengikut Yesus.”
Demikian tulis Uskup Agung Merauke Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC dalam Surat Gembala Prapaskah 2021 Keuskupan Agung Merauke dengan tema sesuai tema Aksi Puasa Pembangunan (APP) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) 2021, “Semakin Beriman, Semakin Solider.”
Seperti pada Yesus, tegas uskup itu, Roh Kudus juga ada pada para pengikut Yesus. “Oleh sebab Ia telah mengurapi kita untuk menyampaikan kabar baik kepada orang miskin, dan Ia telah mengurapi kita untuk memberitakan pembebasan kepada ada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan Tahun Rahmat telah datang (bdk. Lukas 4:8-19).
Mgr Mandagi menjelaskan arti solidaritas pengikut Yesus kepada sesama dengan mengutip Paus Fransiskus yang mengatakan, “Ketika anda melupakan diri sendiri dan memikirkan orang lain itulah solidaritas, itulah cinta kasih,” dan Teilhard de Chardin, seorang filsuf Perancis, seorang imam Jesuit, “Hal yang paling memuaskan dalam hidup ialah mampu memberi diri sendiri kepada orang lain.”
Tapi saat ini, prelatus itu mengamati, semakin tak gampang manusia menjalankan hidup solider. “Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia dewasa ini semakin mengutamakan materi, uang, dan kesenangan duniawi dan semakin acuh tak acuh serta melupakan sesama manusia. Kita saksikan dalam kehidupan kita sehari-hari, tak jarang orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin, tidak jarang orang kaya menutup hati bagi orang miskin dan tidak rela serta bersedia membantu mereka. Di bidang pendidikan banyak anak miskin tak mampu bersekolah atau melanjutkan pendidikan dan orang kaya tak mempunyai kepedulian untuk membantu mereka,” tulis Mgr Mandagi.
Selain itu, Mgr Mandagi mencatat banyak tantangan dan hambatan dalam diri, misalnya egoisme, dan dari luar. Namun, prelatus itu percaya, tantangan dan hambatan itu mampu diatasi dengan iman yang kuat dan dalam. “Semakin beriman, semakin solider. Sebagai orang beragama, kita lahir dari Allah. Kata Santo Yohanes dalam suratnya, ‘Perintah Yesus itu tidak berat, sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia. Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita’ (1 Yohanes 5:3-4).”
Beriman berarti Yesus sebagai pokok anggur yang benar tinggal dalam kita dan kita dalam Dia (bdk Yoh 15:4), beriman berarti seperti Bunda Maria, kita berkata, “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Didorong oleh imannya yang kuat, Maria menyatakan solidaritasnya dengan Elizabeth saudarinya dengan “berangkat dia langsung berjalan ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda. Di situ ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elizabeth. “Bunda Maria semakin semakin solider,” jelas Mgr Mandagi.
Menyadari bahwa iman pengikut Yesus tidak sepenuhnya ada, kuat dan mendalam, Mgr Mandagi mengajak umatnya untuk terus-menerus memupuk iman pertama melalui diam, keheningan dan doa, kedua melalui sakramen khususnya Ekaristi dan ketiga melalui puasa.
Uskup mengutip Santa Teresa dari Kalkuta yang mengatakan, “Kita perlu menemukan Tuhan dan Dia tak dapat ditemukan dalam kegaduhan dan kegelisahan. Tuhan adalah teman yang diam. Lihatlah bagaimana alam, pohon, bunga, rumput-rumput tumbuh dalam diam. Lihat bintang, bulan dan matahari, bagaimana mereka bergerak dalam keheningan. Kita perlu diam untuk bisa menyentuh jiwa.”
Santo Yohanes Paulus II, tulis uskup agung itu, pernah mengatakan, “Ekaristi sebagai kehadiran Kristus yang menyelamatkan dalam umat beriman dan sebagai makanan rohani umat beriman, merupakan milik paling berharga yang Gereja dapat miliki dalam perjalanannya sepanjang sejarah.”
Selanjutnya, puasa merupakan sarana yang indah untuk memupuk dan menguatkan iman dan cinta pada Tuhan dengan menghindari perbuatan-perbuatan jahat, tulis Administrator Apostolik Keuskupan Amboina itu mengutip Santo Basilius Agung, yang mengatakan, “Puasa sejati adalah menolak kejahatan, menguasai lidah, pantang marah, menjauhkan diri dari nafsu, fitnah, kebohongan, dan sumpah palsu.”(PEN@ Katolik/Getrudis Saga Keo)