Kekerasan masih terus terjadi di Kabupaten Intan Jaya dan Kabupaten Puncak, demikian informasi dari Administrator Keuskupan Timika Pastor Martin Kuayo Pr, tulis Siaran Pers Pemimpin-Pemimpin Gereja Katolik di Tanah Papua. Ada korban di pihak TNI dan TPNPB-OPM tetapi juga korban dari masyarakat sipil. Mereka menjadi korban entah karena “salah tembak” atau karena dicurigai sebagai mata-mata dari pihak lawan.
Menanggapi hal itu, para pemimpin Gereja Katolik di Tanah Papua mengatakan, “Siapapun yang menjadi korban, kekerasan kemanusiaan itu sendiri membuat kami sedih dan marah. Dan siapapun pelakunya, entah itu TNI-Polri atau TPNPB-OPM, tidak bisa dibenarkan, biarpun itu dilakukan dengan alasan yang luhur menurut pandangannya.”
Pernyataan dalam siaran pers 26 Februari dengan judul “Mari Kita Mulai Lagi Bekerja, Bekerja, Bekerja!” itu ditandatangani Uskup Jayapura Mgr Leo Laba Ladjar OFM, Uskup Agats Mgr Aloysius Murwito OFM, Administrator Keuskupan Timika Pastor Marthen Kuayo Pr, dan Vikjen Keuskupan Agung Merauke Pastor Henky Kariwop MSC.
Kebenaran dan keadilan, tulis para pemimpin Katolik itu, boleh diperjuangkan dan harus ditegakkan “tetapi perjuangan dengan cara kekerasan tidak akan pernah berhasil. Sebab kekerasan akan melahirkan kekerasan lain lagi, dan begitu terus. Karena itu kami menyerukan kepada semua pihak agar menghentikan kekerasan.”
Pimpinan Keuskupan-Keuskupan Gereja Katolik di Tanah Papua yang membentuk satu “Provinsi Gerejawi Merauke” dan mengadakan pertemuan tahunan di Jayapura, 22-26 Februari, berharap bupati sebagai kepala daerah yang bertanggung jawab membangun kerukunan warganya “mempertemukan semua pihak untuk bersama-sama mencari jalan penyelesaian.”
Para pimpinan Gereja itu mengaku membicarakan berbagai bidang kerjasama yang sudah lama berjalan seperti pendidikan filsafat-teologi, kesehatan dan pelayanan transportasi udara, AMA. “Selain itu kami juga berbagi pikiran dan perasaan mengenai situasi aktual dalam kehidupan publik di tanah Papua,” tulis mereka dalam siaran pers itu.
Selain “ketegangan dan tembak-menembak yang masih terus berlangsung di Kabupaten Intan Jaya dan Kabupaten Puncak,” mereka membicarakan status ekonomi otonomi khusus Papua pasca Pilkada di beberapa kabupaten dan menjelang pelantikan bupati-bupati baru.
Setelah membicarakan pokok-pokok itu, para pemimpin Gereja “merekomendasikan kepada yang yang berwenang dan kepada publik, untuk tindak lanjut yang perlu diambil agar suasana damai dalam masyarakat dapat dibangun dan dipelihara.”
Perdebatan UU OTSUS Papua belum selesai. “Energi kita habis untuk berdebat dan rapat dengar pendapat (RDP) dan cari dukungan, sedangkan banyak hal dari UU OTSUS Papua yang seharusnya menjadi kewajiban Pemerintah Daerah belum ditangani,” tulis mereka.
Awal baru untuk sejumlah bupati yang dilantik sebagai hasil Pilkada 2020, tegas mereka, “harus dimanfaatkan untuk membenahi pemerintahan daerah khususnya kabupaten.”
Siaran pers juga menguraikan diskusi dan debat sekitar revisi UU OTSUS, ada pihak yang merevisi bagian tertentu dan ada yang menolak seluruhnya, hambatan pembangunan di Papua khususnya di sejumlah Kabupaten, kewajiban pemerintah untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, dan tanggung jawab Bupati memajukan pendidikan dasar.
Kewajiban pemerintah daerah untuk mencegah dan menanggulangi penyakit endemik dan membahayakan kelangsungan hidup manusia dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan beban masyarakat serendah-rendahnya, juga diuraikan. Banyak tempat ada Puskesmas, tapi sering kosong karena petugasnya tinggal di tempat lain yang lebih aman.
Juga diuraikan perlunya pemerintah menetapkan kebijakan penempatan penduduk dan mempercepat terwujudnya pemberdayaan peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan, serta kewajiban pemerintah dan penduduk Papua menegakkan, memajukan dan melindungi Hak Asasi Manusia.
Dialog Jakarta-Papua. “Masalah Papua hanya bisa diselesaikan dengan jalan dialog, bukan dengan senjata dan tindak kekerasan. Itu yang kita inginkan dan sering diserukan oleh banyak pihak yang mau mewujudkan Papua Tanah Damai,” tulis para pemimpin Gereja itu.
Tentang pelaksanaan Inpres Nomor 9 tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, mereka menulis, “hendaknya tetap menempatkan pemerintah daerah atau bupati dan seluruh masyarakat sebagai subjek pelaksanaan Inpres itu.”
Di tengah “budaya internet” yang semakin kuat, para pemimpin Gereja juga menghimbau semua pihak peka terhadap penghormatan atas nilai-nilai dan martabat kemanusiaan, memiliki tanggung jawab moral dalam memanfaatkan media, mengutamakan Kebenaran, Keadilan dan Cinta Kasih untuk Papua Tanah Damai!”(PEN@ Katolik/Abdon Bisei)