Santa Yosefina Bakhita, yang diperingati oleh Gereja Katolik tanggal 8 Februari, mengalami kegelapan yang kelam, tetapi dia mampu menjaga harapan Kristus tetap hidup di dalam hatinya.
Budak Afrika di abad ke-19 itu mengalami secara langsung kengerian manusia. Dia diculik di usia muda dan dipukuli sampai berdarah. Hidupnya sulit, tapi kemudian, saat bertemu agama Kristen, dia dapat memiliki harapan besar yang dapat mengatasi penderitaan yang dia alami.
Paus Benediktus XVI menyoroti teladannya dalam ensikliknya tentang harapan, Spe salvi, dan menceritakan bagaimana perempuan itu mengenal harapan yang ditemukan dalam Yesus.
Di sini, setelah para “master” (tuan) menahannya, Bakhita mengetahui jenis “master” yang sama sekali berbeda — dalam dialek Venesia, yang sekarang ia pelajari, ia menggunakan nama “paron” untuk Allah yang hidup, Tuhan Yesus Kristus. Sampai saat itu dia hanya mengenal tuan-tuan yang membenci dan menganiayanya, atau paling tidak menganggapnya budak yang berguna. Namun sekarang, dia mendengar bahwa ada “paron” di atas semua tuan, Tuhan dari semua tuan, dan bahwa Tuhan ini baik, kebaikan secara pribadi. Dia jadi tahu bahwa Tuhan ini bahkan mengenalnya, bahwa Dia menciptakannya — bahwa dia benar-benar mencintainya. Dia juga dicintai, dan bukan oleh yang lain selain “Paron” yang tertinggi, yang sebelumnya semua guru lain tidak lebih dari pelayan rendahan. Dia dikenal dan dicintai dan dia ditunggu. Terlebih lagi, master ini sendiri menerima takdir untuk dicambuk dan sekarang Dia menunggunya “di tangan kanan Bapa.”
Cinta dari Allah ini yang memberinya tujuan baru dalam hidup dan harapan yang tidak dapat disentuh oleh siapa pun.
Kini dia punya “harapan” — tidak lagi sekadar harapan sederhana untuk bertemu para master yang tidak begitu kejam, tetapi harapan besar: “Saya benar-benar dicintai dan apa pun yang terjadi pada saya — saya ditunggu oleh Cinta ini. Dan dengan demikian hidup saya baik.” Melalui pengetahuan tentang harapan ini dia “ditebus”, bukan lagi seorang budak, tetapi anak Allah yang bebas. Dia mengerti apa yang Paulus maksudkan saat mengingatkan orang Efesus bahwa sebelumnya mereka tanpa harapan dan tanpa Allah di dunia — tanpa harapan karena tanpa Allah. Maka, saat hendak dibawa kembali ke Sudan, Bakhita menolak; dia tidak ingin dipisahkan lagi dari “Paron”-nya.
Harapan barunya akan Allah mendorong setiap bagian dari dirinya dan dia menyebarkan harapan itu kepada semua orang yang dia temui.
Dia melakukan beberapa perjalanan keliling Italia untuk mempromosikan misi: pembebasan yang dia terima melalui perjumpaan dengan Tuhan Yesus Kristus, dia merasa dia harus memperluas, harus diteruskan kepada orang lain, kepada sebanyak mungkin orang. Harapan yang lahir dalam dirinya, yang telah “menebus” dia, tidak bisa dia simpan untuk diri sendiri; harapan ini harus menjangkau banyak orang, menjangkau semua orang.
Ketika hidup menjadi sulit, pandanglah kehidupan Santa Yosefina Bakhita dan mintalah dia untuk menanamkan dalam diri Anda harapan supernatural yang dapat menanggung pencobaan apa pun. (PEN@ Katolik/pcp/Philip Kosloski/Aleteia)