“Saya masih ingat ketika anak-anak, orangtua menanamkan semangat memperhatikan orang lain dalam satu tembang sederhana dalam bahasa Jawa tentang seorang anak yang ‘melapor’ kepada ibunya apa yang dia lihat, yang dalam bahasa Indonesia berarti, ‘Ibu minta uang, di luar ada pengemis, pengemisnya sudah tua, mengeluh karena haus dan lapar.’ Ibunya menjawab, ‘Ade, tolong berilah dia nasi, lauk dan air, dan tolong beri tahu pengemis itu untuk datang ke sini setiap hari Minggu’.”
Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo menegaskan perlunya merawat dan membangun semangat memperhatikan sesama itu dalam homili Misa online Hari Anak dan Remaja Misioner Sedunia ke-178 Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), di Kapel Santa Ursula Jakarta, pada Pesta Penampakan Tuhan, 3 Januari 2021.
Kardinal Suharyo heran bahwa dia ingat tahu lagu yang dia nyanyikan saat SD atau SR saat itu. Arti lagu itu, jelas kardinal, “semangat untuk memberi perhatian kepada sesama mesti dibangun sejak anak-anak dan dicarikan jalan supaya gampang pembinaan itu. Bagi anak-anak desa, yang paling gampang adalah tembang seperti itu. Tentu sekarang caranya lebih maju. Itu perhatian kepada sesama.”
Didampingi Direktur Diosesan Karya Kepausan Indonesia (KKI) KAJ Pastor Yohanes Radityo Wisnu Pr dan Direktur KKI Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Pastor Markus Nur Widipranoto Pr, kardinal minta anak dan remaja terus bertumbuh “menjadi saksi-saksi yang semakin handal, menjadi misionaris-misionaris yang gembira dengan pedoman 2D dan 2 K (Doa, Derma, Korban, Kesaksian).
Menjadi saksi dan menjadi misionaris berarti menjadi “bintang,” yang bisa membuat orang lain percaya kepada Allah, kepada Yesus yang merupakan wajah Allah. Anak anak dan remaja adalah bintang-bintang misioner, tegas kardinal dalam Misa yang diakhiri pengumuman dan penampilan cuplikan pemenang lomba lagu misioner online masing-masing, pertama, Paroki Kelapa Gading, kedua, Paroki Pantai Indah Kapuk, ketiga, Paroki Cilandak.
Gereja merayakan Hari Anak Misioner Sedunia bersamaan dengan Pesta Penampakan Tuhan, menurut Ketua KWI itu, “karena bagi anak-anak dan remaja misioner serta umat Kristiani pasti mudah memahami dan menerima bahwa Yesus yang lahir di tengah-tengah kita adalah penampakan wajah Allah” dan maksudnya “perlu kesaksian untuk membawa orang percaya kepada Allah dan untuk sampai kepada keyakinan bahwa Yesus adalah penampakan wajah Allah itu.”
Menjadi saksi-saksi handal dan bersemangat kesaksian, menurut Kardinal Suharyo, perlu pembinaan sejak anak-anak dan remaja. “Maka, Pesta Penampakan Tuhan sekaligus adalah hari ketika anak-anak dan remaja misioner merayaan Hari Anak Misioner sedunia, agar sejak anak-anak dan remaja kita terus bertumbuh menjadi saksi-saksi yang semakin dapat dipercaya lewat pedoman 2 D dan 2 K.”
Orang-orang Majus dalam cerita Injil adalah orang yang tidak percaya tapi melihat tanda. “Bagi mereka tanda itu bintang, karena mereka ahli-ahli perbintangan. Coba bayangkan perjalanan jauh dari wilayah yang sekarang Irak dan Iran sampai Betlehem, karena mereka melihat bintang yang menjadi tanda ada sesuatu yang istimewa sedang terjadi, yaitu penampakan wajah Allah. Maka dengan bimbingan dan petunjuk bintang mereka pergi mencari dan sampailah ketiga orang Majus ini pada Yesus.”
Perjalanan jauh itu “melambangkan betapa jauhnya perjalanan iman kita untuk percaya, untuk sampai kepada keyakinan bahwa Yesus adalah penampakan Tuhan,” kata Kardinal Suharyo seraya menyebut anak-anak misioner itu sebagai ‘bintang’ yang dapat membuat orang lain percaya kepada Allah dan kepada Yesus yang merupakan wajah Allah. “Kalian adalah bintang-bintang misioner itu,” tegas kardinal.
Dan, kalau benar anak dan remaja misioner harus atau diutus menjadi bintang, jelas Kardinal Suharyo, “maka kalian dan kita semua meski menunjukkan wajah Allah. Kalau orang lain melihat di dalam diri kita wajah Allah, lalu apa yang kita yakini, yang hidupi, yang kita lakukan menjadi bintang bagi orang lain.”
Wajah Allah yang tak pernah kelihatan, kata Kardinal Suharyo, “bisa kita lihat dalam Kitab Suci. Wajah Allah adalah wajah yang memberi perhatian, wajah yang menjaga, wajah yang merawat.” Setiap kali kita menjaga sesama dan memberi perhatian kepada sesama “kita menunjukkan wajah Allah” karena watak Allah adalah “memberi perhatian dan menjaga.”
Allah yang sama, lanjut Uskup Agung Jakarta, selalu memberi perhatian, menjaga alam ciptaan, “maka ketika Tuhan menciptakan manusia, Ia menciptakan Taman Firdaus supaya manusia hidup damai, sejahtera, semua tersedia.” Maka, tegas kardinal, “kalau kalian dalam tindakan sekecil apapun memperhatikan sesama, merawat alam ciptaan, kalian menampakkan wajah Tuhan. Dan perhatian itu mesti bertumbuh dalam diri kita, mesti dijaga supaya terus dirawat dan berkembang.”
Kardinal Suharyo mengakhiri homili dengan cerita tentang burung beo yang tinggal bersama segala macam burung di sebuah pohon yang sangat besar dan sangat rimbun, sehingga mereka bebas dari hujan dan panas matahari, serta gembira dan senang.
Namun, “suatu hari seekor kijang, yang lelah berlari menghindari pemburu, terduduk dekat pohon rimbun itu, dan si pemburu pun melepaskan anak panahnya. Kijang melompat ke samping dan anak panah itu menancap di pohon besar itu. Karena panah itu beracun, pohon besar dan rindang itu mulai mati. Daun-daunnya menguning dan jatuh dan semua burung pergi kecuali burung beo itu, meski hujan dan panas.
“Suatu hari, seorang pengembara heran melihat pohon itu, dan bertanya mengapa burung beo tidak pergi. Burung beo menjawab dengan mengatakan, ‘bapak bagaimana saya bisa pergi dari pohon ini, kakek nenek saya bersarang di sini, bapak ibu saya bersarang di sini, adik-adik saya tinggal di sini sebelum pohon ini seperti ini, bagaimana mungkin saya tinggalkan pohon yang begitu berjasa bagi segala burung yang berteduh di sini?
“Kata pengembara itu, ‘burung beo, sangat mulia hatimu. Coba ajukan satu permintaan akan saya kabulkan.’ Pengembara itu ternyata mahadewa yang bisa kabulkan permintaan apapun. Jawab burung beo, ‘apalagi yang akan saya minta selain hidupnya kembali pohon ini.’ Dan, betul terjadi. Sang mahadewa menghidupkan kembali pohon itu. Kuncup-kuncup hijau keluar lagi dan semakin rimbun. Burung-burung pun kembali berteduh, bersarang, beranak pinak, gembira seperti di Taman Firdaus.”(PEN@ Katolik/konradus r mangu)