Karena Italia kini menghadapi lockdown baru, Paus Fransiskus merayakan Misa Natal di malam hari di Basilika Santo Petrus yang hampir kosong. Jutaan orang bisa mengikuti upacara itu melalui radio, televisi, dan berbagai sarana komunikasi sosial.
Dalam homili Misa 24 Desember itu, Paus berkata, “Kelahiran Yesus adalah ‘kebaruan’ yang memungkinkan kita untuk dilahirkan kembali setiap tahun dan untuk menemukan di dalam Dia kekuatan yang dibutuhkan untuk menghadapi setiap pencobaan.”
Paus menegaskan, Yesus lahir “untuk kita” dan kata “untuk” sering muncul “di malam kudus ini.” Namun, tanya Paus, “apa sebenarnya arti kata-kata ‘untuk kita’?” Kata-kata itu berarti bahwa Putra Allah, yang pada dasarnya kudus, datang untuk menjadikan kita anak-anak Allah, yang kudus oleh rahmat,” jawab Paus. Itulah “hadiah luar biasa,” kata Paus, hadiah yang merupakan “rahmat murni,” yang tidak bergantung pada apa pun yang bisa kita lakukan, tetapi semata-mata pada kasih Allah bagi kita.
Hadiah Allah untuk kita di hari Natal bukan sekedar barang atau benda. Sebaliknya, kata Paus, Allah memberikan Putra tunggalnya, “segala sukacita-Nya.” Tapi, lanjut Paus, “rasa tidak berterima kasih kepada Allah, dan ketidakadilan terhadap begitu banyak saudara dan saudari” bisa membuat kita bertanya-tanya apakah Allah benar memberi hadiah berupa Putra-Nya ini untuk kita. Faktanya, tak ada bisa kita lakukan yang membuat kita layak menerima hadiah itu. Sebaliknya, hanya karena “kasih terus-menerus” dari Allah untuk kita, “kasih-Nya yang tidak berubah mengubah kita” yang menyebabkan Allah memberi Putra-Nya kepada kita.
Karena kasih Allah yang tak terbatas kepada kita, Yesus lahir bukan di istana, tetapi di palungan sebuah kandang. Yesus “datang ke dunia seperti setiap anak kecil datang ke dunia, lemah dan rentan, sehingga kita bisa belajar menerima kelemahan dengan kasih yang lembut… Allah suka melakukan keajaiban melalui kemiskinan kita,” kata Paus.
Itulah tanda, lanjut Paus, “untuk membimbing kita menjalani hidup.” Di Betlehem, “Allah terbaring di palungan, seolah-olah mengingatkan bahwa, untuk hidup, kita membutuhkan Dia, seperti roti yang kita makan. Kita perlu dipenuhi dengan kasih-Nya yang bebas, tak habis-habisnya, dan konkret.”
Paus Fransiskus menegaskan “palungan, miskin segalanya namun kaya akan cinta, mengajarkan kita bahwa makanan sejati datang karena membiarkan diri kita dicintai oleh Allah dan pada gilirannya mencintai sesama.”
Allah datang kepada kita saat Natal sebagai Anak yang lemah dan rentan untuk mengajari kita cara mencintai, kata Paus. “Allah datang di antara kita dalam kemiskinan dan kebutuhan, untuk memberitahukan kepada kita bahwa dalam melayani orang miskin, kita akan menunjukkan kasih kita kepada-Nya.”
Homili Paus diakhiri dengan doa kepada Juruselamat yang baru lahir: “Yesus, Engkau adalah Anak yang menjadikan aku seorang anak. Engkau mencintaiku apa adanya, bukan seperti yang saya bayangkan. Dengan memelukmu, Anak dari palungan, aku sekali lagi memeluk hidupku. Dengan menyambut-Mu, Roti hidup, aku juga ingin memberi hidupku. Engkau, Juruselamatku, ajari aku untuk melayani. Engkau yang tidak meninggalkan aku sendiri, bantu aku menghibur saudara-saudaramu, karena, mulai malam ini, semua adalah saudara-saudariku.”(PEN@ Katolik/paul c pati berdasarkan Vatican News)