Menjelang Natal 2000, muncul pertanyaan, bagaimana bisa ada Sukacita Natal di saat pandemi ini? Pertanyaan ini bermunculan karena di banyak rumah dan komunitas, termasuk beberapa biara Dominikan, ada tempat duduk dan ruang yang sekarang kosong, karena orang-orang yang kita cintai yang dulu menempatinya meninggal tahun ini, tahun pandemi ini.
Namun, suasana Natal sudah terasa dan Master Ordo Dominikan Pastor Gerard Francisco Timoner III OP yakin, masker-masker bukan hanya meredam lagu Venite adoremus tapi juga menyembunyikan senyuman cemerlang orang-orang yang nyanyikan lagu-lagu Natal, seperti “pelita yang diletakkan di bawah gantang” (Mat. 5:15) yang tidak bisa sepenuhnya menerangi malam-malam gelap di bulan Desember ini.
Bagaimana bisa ada Sukacita Natal di saat pandemi? “Sukacita kita akan menjadi penuh, sebagaimana diyakinkan oleh murid terkasih, kalau kita mewartakan apa yang kita dengar, yang kita lihat dengan mata kita … dan yang kita raba dengan tangan kita tentang Firman hidup … telah dinyatakan (1 Yohanes 1: 1,3-4), tulis Master itu.
Untuk membaca Pesan Natal dari Master Ordo itu, berikut ini Paul C Pati dari PEN@ Katolik menerjemahkan untuk Anda:
PESAN NATAL MASTER ORDO DOMINIKAN
MINGGU KE-4 ADVEN
20 DESEMBER 2020
ROMA
Prot. 50/20/614 Surat-Surat untuk Ordo
“Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami … dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup … telah dinyatakan; Dia yang kami beritakan … supaya sukacita kami menjadi sempurna.” 1 Yohanes 1: 1,3-4
Saudara dan saudari terkasih,
Natal, baik di masa pandemi atau kemakmuran, adalah perayaan kedekatan tak terbayangkan dari Allah yang tinggal di dalam dan di antara kita; sebuah ucapan syukur kepada Allah kita yang murah hati yang memberikan diri-Nya sebagai karunia. Tahun Tuhan 2020 ini benar-benar tidak terduga, belum pernah terjadi sebelumnya, tak terlupakan. Sebagian besar dari kita merayakan Triduum Paskah, terkurung dengan pintu terkunci; hati kita dipenuhi kecemasan tentang masa depan yang tidak pasti. Tetapi kemudian, kita mengalihkan pikiran dan mengarahkan pandangan iman kepada Tuhan Yang Bangkit, yang masuk melalui pintu-pintu terkunci, yang menyapa kita dengan kedamaian-Nya dan menantang kita untuk tidak takut.
Sekarang kita merayakan Natal sambil berjuang melawan virus ini dan melindungi diri serta orang-orang yang kita cintai dengan saling menjaga jarak. Lagu Venite adoremus yang kita nyanyikan teredam oleh masker dan pelindung wajah. Santo Paulus menyerukan kepada kita untuk mencerminkan kemuliaan Tuhan “dengan muka yang tidak terselubung” (2 Korintus 3:18). Namun tahun ini, kita menyembah keindahan Raja yang baru lahir dengan wajah-wajah tertutup. Meskipun perayaan-perayaan kita mungkin tak banyak dan sederhana, kita mendapatkan harapan dan penghiburan dalam memperingati kelahiran Imanuel, Allah yang “lebih dekat dengan kita daripada kita dengan diri sendiri” (Santo Agustinus, Pengakuan-Pengakuan III, 6, 11).
Kenangan-kenangan Natal kita yang terindah terjadi di masa kecil, ketika pohon-pohon Natal tampak menjulang lebih tinggi daripada kita, ketika beberapa permen tampak seperti banyak sekali manisan di tangan kecil kita. Ketika beranjak dewasa, kita sadar bahwa Natal bukanlah tentang pesta dengan makanan lezat, tetapi berbagi makanan yang memuasi kelaparan tubuh-tubuh kita dan rasa lapar jiwa kita akan persekutuan dan persahabatan; bahwa Natal bukanlah tentang bertukar hadiah materi, tetapi hadiah kehadiran, waktu, percakapan, sekadar bersama sebagai saudara dan saudari, dengan keluarga dan teman-teman.
Namun, yang tetap menjadi pertanyaan, bagaimana bisa ada Sukacita Natal di saat pandemi? Di banyak rumah dan komunitas, termasuk beberapa biara kita sendiri, ada tempat duduk dan ruang yang sekarang kosong, yang mengingatkan kita pada orang-orang yang kita cintai yang meninggal tahun ini. Tidak akan ada pesta Natal karena uang sangat sedikit, karena kehilangan pekerjaan, dan kontraksi ekonomi. Karena pembatasan perjalanan dan pergerakan, para lansia akan sangat merindukan kunjungan dan pelukan orang-orang yang mereka cintai. Masker-masker akan menyembunyikan senyuman cemerlang orang-orang yang menyanyikan lagu-lagu Natal, seperti “pelita yang diletakkan di bawah gantang” (Mat. 5:15) yang tidak bisa sepenuhnya menerangi malam-malam gelap di bulan Desember ini. Bagaimana bisa ada Sukacita Natal di saat pandemi?
Sukacita kita akan menjadi penuh, sebagaimana diyakinkan oleh murid terkasih, kalau kita mewartakan apa yang kita dengar, yang kita lihat dengan mata kita … dan yang kita raba dengan tangan kita tentang Firman hidup … telah dinyatakan, 1 Yohanes 1: 1,3-4.
Itu tergambar bagus dalam lukisan indah Suster Orsola Maddalena Caccia, lukisan Santa Perawan Maria yang membiarkan Santo Dominikus melihat dan menyentuh bayi Yesus, seperti seorang ibu yang bangga membiarkan seorang teman dekat menggendong anaknya yang baru lahir. Itulah kebahagiaan Dominikus, sukacita mewartakan Dia yang telah ia dengar, lihat, dan sentuh, Inkarnasi Sabda.
Natal ini, saat kita memulai perayaan-perayaan seratus tahun Dies Natalis Santo Dominikus, kita bertanya pada diri sendiri, bagaimana kita mendengar, melihat, dan menyentuh Sabda itu di tahun ini? Di banyak tempat, suara sirene yang tak henti-hentinya menjadi pengingat pandemi. Tetapi itu juga berarti bahwa para petugas kesehatan terus membantu orang yang sakit.
Saya belajar dari seorang biarawan di Santa Sabina tentang kata indah dalam bahasa Jerman untuk perawat: krankenschwester, yang secara harfiah berarti “saudara perempuan dari orang yang sakit.” Orang sakit bukan hanya pasien, tapi anggota keluarga, salah satu dari kita sendiri. Di saat bencana, kita selalu melihat orang-orang yang membantu dan merawat orang. Ketika segala sesuatu berantakan, kita harus selalu mencari “para penolong,” orang-orang yang membuat kita merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja bahkan dalam menghadapi kesulitan; mereka memberi kita harapan. Sungguh, baiklah melihat salah satu dari mereka saat kita memandang cermin!
Belakangan ini, bahkan sebelum pandemi, berdekatan dan bersentuhan ditanggapi dengan kecurigaan, bahkan bisa menjadi tanda pelecehan. Karena ancaman Covid-19, berdekatan dan bersentuhan menjadi tindakan penularan dan bahaya. Kebencian menodai sentuhan dan membuat kedekatan menjadi berisiko dan sembrono, perbuatan amal kasih dengan menyentuh orang lain menjadi tabu dan sangat tidak sopan. Paradoksnya, menjaga jarak aman sebagai perlindungan dan pencegahan penularan virus diubah menjadi tanda tulus “kedekatan” kita, dan kepedulian tulus terhadap kesehatan dan keselamatan orang lain.
Saya senang bahwa di masa-masa sulit ini, kita mendengar dan melihat bermacam-macam pewartaan dan karya amal kasih dari saudara-saudari kita yang menyentuh hati banyak orang.
Sukacita Natal adalah karunia yang menanti kita manakala kita memberitakan Dia yang kita dengar, lihat dan sentuh. Tidaklah mengherankan bahwa sejak masa awal Ordo kita, kita berdoa:
Semoga Allah Bapa memberkati kita,
Semoga Allah Putra menyembuhkan kita,
Semoga Allah Roh Kudus menerangi kita dan memberi kepada kita
mata untuk melihat, telinga untuk mendengar,
tangan untuk melakukan karya Allah, kaki untuk berjalan,
dan mulut untuk mewartakan Sabda Keselamatan …
Suatu ketika saya menemukan sebuah cerita tentang seorang guru yang bertanya kepada murid-muridnya, bagaimana kalian bisa mengatakan bahwa malam telah berakhir dan hari telah dimulai? Seorang siswa menjawab, ketika dari kejauhan aku bisa melihat sebatang pohon dan bisa tahu apakah itu pohon apel atau pohon jeruk? Kata guru, masih belum benar. Siswa lain mengajukan diri, ketika dari kejauhan saya bisa melihat seekor binatang dan saya bisa tahu apakah itu sapi atau kuda? Kata guru, kurang tepat. Para siswa berteriak, kalau begitu katakan caranya. Guru berkata, “Ketika dari kejauhan kalian bisa melihat seseorang dan kalian sudah bisa melihat pada orang itu wajah saudara laki-laki atau saudara perempuan. Ketika itu terjadi, pasti kegelapan malam telah berakhir dan terang hari telah dimulai.”
Bagi kita umat Kristen, kegelapan berakhir kalau kita melihat dalam diri saudara dan saudari kita, pada setiap orang, terutama orang miskin, kehadiran Yesus sendiri. Itulah perayaan Natal yang sejati – mewartakan iman kita akan Imanuel, Allah-bersama-kita, Allah-yang-ada-dalam-setiap-dan-semua kita. Pertanyaan bagi kita pada Natal ini bukan hanya “siapakah Yesus bagi kita?” tetapi “di manakah Yesus dalam teman-teman kita?” Dia adalah Imanuel!
Semoga terang Kristus bersinar melalui kita,
untuk menghilangkan kegelapan di sekitar kita, di dalam diri kita.
Natal yang Terberkati untuk kalian dan semua yang kalian sayangi!
Saudaramu,
Gerard Francisco Timoner III OP
Master Ordo