Pastor Barnabas Winkler OFMCap, misionaris asal Italia, yang pernah Administrator Diosesan Keuskupan Sibolga (2004 -2007), Provinsial Kapusin Indonesia dua periode (1985, 1988), Provinsial Kapusin Sibolga tiga periode (1990, 1994, 1997), meninggal dunia di Rumah Sakit Elisabeth, Medan, 6 November. Pemimpin dan arsitektur otodidak, yang pernah tertimbun semalam di bawah reruntuhan gempa itu, meninggal di usia 81 tahun.
Imam yang lahir di Provinsi Tirol Selatan, Italia bagian timur laut, 19 Juni 1938, itu sebelumnya pernah menjadi superior regio Kapusin Sibolga untuk tiga periode yakni 1978, 1981, dan 1984, dan sejak 1973 menunjukkan bakat arsitek dan kepemimpinan dengan membangun antara lain bruderan dan mendampingi para bruder Kapusin di Gunungsitoli, Kepulauan Nias, serta tahun 1976 membangun Biara Santa Clara dan mendampingi para suster Klaris di kota yang sama.
Pastor Barnabas adalah kakak beradik dengan Almarhum Pastor Wildrid Winkler OFMcap yang juga pernah berkarya di Keuskupan Sibolga dan kembali ke Tirol.
Dalam wawancara oleh Vikjen Sibolga Pastor Charles Sebastian Sihombing OFMCap dan ditayangkan di YouTube, 27 September, dengan judul “Pengalaman Pastor Barnabas Winkler OFMCap: Satu Malam di bawah Reruntuhan Gempa,” Pastor Barnabas yang tinggal di Yohaneum, Sibolga, di masa tuanya itu mengaku “semakin lemah dan berjalan memakai tongkat” namun “masih bisa mengatur kamar sendiri, masih bisa makan sendiri, dan masih bisa membaca doa-doa sendiri.”
Diceritakan, ketika di Indonesia ada tiga regio Kapusin (Mesan, Sibolga dan Pontianak), Pastor Barnabas menjadi pimpinan atau regional Regio Sibolga. Ketika ketiga regio itu membentuk satu provinsi, Pastor Barnabas menjadi Provinsial Indonesia. Dan, saat Medan, Pontianak dan Sibolga masing-masing mekar menjadi provinsi, Pastor Barnabas menjadi Provinsial Kapusin Sibolga.
Dan, waktu Uskup Anicetus Sinaga OFMCap dipanggil menjadi Uskup Koajutor Keuskupan Agung Medan, Pastor Barnabas terpilih menjadi Administrator Diosesan Keuskupan Sibolga, dan saat bertugas itu terjadi gempa di Nias, tahun 2005, saat Pastor Barnabas sedang tidur di Pastoran Santa Maria Gunungsitoli.
Akibatnya, Pastor Barbabas tertimbun di bawah reruntuhan dalam keadaan sadar. Saat itu semua penghuni pastoran itu lari ke gunung. Di sana mereka baru sadar bahwa Pastor Barnabas tidak bersama mereka. Maka, mereka turun dari gunung mencari imam itu.
Misionaris itu mengaku “tidak bisa keluar lagi, karena tertimbun di tempat tidur, tetapi untung juga di tempat tidur itu ada yang melindungi sedikit, jadi tidak begitu sakit, tidak langsung kena badan, semua jatuh di sekeliling saya dan saya masih bisa bernafas. Hanya permulaan, sedikit banyak debu, tidak bisa bernafas dengan baik. Dan pelan-pelan debu hilang dan lebih gampang bernafas.”
Menjelang pagi Pastor Barnabas mendengar orang-orang datang mencari dan memanggil namanya. “Bisa saya jawab. Mereka berhasil masuk membebaskan saya, tetapi waktu itu agak kurang sadar, saya seakan berjalan seperti bermimpi. Saya tertimbun satu malam. Ketika mulai terang terdengar suara orang.”
Ketika Pastoran Santa Maria Gunungsitoli tiga lantai itu dibangun, Pastor Barnabas sebenarnya sudah mengingatkan “kalau kamu harapkan ini tahan, jangan harapkan ini tahan, … dia tertawa saja tetapi akhirnya terjadi.” Alasannya, kata imam yang mengaku hanya belajar pembangunan dari buku-buku yang dia miliki , “karena semua kurang beres, membangun saja tetapi tidak diperhatikan campurannya, maka saya lihat tidak mungkin tahan pembangunan seperti itu.”(PEN@ Katolik/paul c pati)
Artikel Terkait:
Tiga imam Kapusin dan satu diosesan Keuskupan Sibolga meninggal sejak September
Uskup Sibolga Mgr Ludovikus Simanullang OFMCap meninggal dunia
Mgr Anicetus Bongsu Sinaga OFMCap positif Covid-19: doa-doa kita adalah obat