Suatu pagi di hari Minggu, Putra Diding yang waktu itu masih SMP menemukan fenomena ‘tidak biasa’ di Kapela Santo Petrus dan Paulus Oesapa, Kupang. Dia melihat seorang berjubah putih, berjenggot panjang, seperti Santa Claus, berdiri gembira di halaman gereja stasi. Dia heran mendengar bahwa imam itu yang akan pimpin Misa, karena biasanya imam yang akan memimpin Misa menyiapkan batin dengan tenang di sakristi, sedangkan beliau menyambut setiap umat yang datang menyium tangannya.
Namun, website Misionaris Claretian menulis Pastor Jose Miguel Celma Puig CMF, anggota Provinsi CMF Santiago itu meninggal 24 September 2020 di Madrid, Spanyol. Orang Spayol yang fasih berbahasa Indonesia itu pernah memimpin Seminari Tinggi Claretian Kupang dan mengajar eksegese dengan mata kuliah Perjanjian baru, Injil lukas dan Injil Yohanes.
Menurut Putra Diding, saat perayaan Misa selesai, imam Klaretian itu keluar dari sakristi, menyalami anak-anak dan umat di pendopo gereja, dan bernyanyi bersama anak-anak dan beberapa orang tua. “Bagi saya, gaya kegembalaannya yang khas, menempatkan diri di antara semua kalangan dan generasi, adalah pemancar kegembiraan Allah,” katanya seraya berharap karya imam itu di tanah misi Indonesia dan Timor Leste, “menjadi motivasi bagi kita dalam memelihara dan mengembangkan iman.”
Sementara Alvin Talok mengenang Alabaré “lagu indah dengan arti yang bagus” yang suka dinyanyikan Pastor Celma di Kupang saat dia kecil, Elias Luan mengenang Pastor Celma sebagai Dosen Kitab Suci di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang yang dikenal killer dan unik.
Namun, menurut Noval Kolin, ketika pertama berjumpa di STC Kupang tahun 2006, Pastor Celma “langsung meminta saya memangkas rambutnya, merasa seperti sahabat, bapa dan guru yang baik.” Dia gambarkan misionaris itu memiliki semangat dalam membina calon imam, semangat dalam mengajar dan menjelaskan eksegese Kitab Suci. “Kami kenang jasamu misionaris tanpa kenal lelah,” katanya.
Sementara itu, Tommy Aquino berterima kasih buat ilmu Eksegese yang dibagikan Pastor Celma kepada calon imam di Seminari Tinggi Claret dan Fakultas Filsafat Unwira. “Terima kasih sudah mengajarkan kami nilai kedisiplinan dan kejujuran dalam mendapatkan nilai ujian. Tidak boleh ‘melihat tetangga’ (nyontek), walau kadang kami tanya ‘tetangga’ hanya karena terlalu takut program ulang. Tidak boleh menulis, saat Pater bilang ‘stop’. Tidak ada toleransi soal nilai. Tidak lulus, ya tidak lulus dan siap program ulang. Terima kasih karena sudah meletakkan fondasi dan semangat Klaretian yang kuat di tanah Timor,” tulisnya.
Merry Aksari sedih mendengar berita itu karena seminggu sebelumnya pastor itu “masih sempat ucap selamat ulang tahun untuk kami mama anak.” Dia juga berterima kasih untuk nama Aurora yang diberikan imam itu kepada putrinya dan “Terima kasih untuk cintamu pada kami semua secara khusus kami yang bergabung dalam Mudika RPI Santo Andreas Lasiana kala itu. Opa mengajarkan banyak hal tentang hidup,” katanya seraya mengenang “Te Amo Misenior Te Amo,” lagu yang selalu dinyanyikan bersama saat berkumpul.
Terima kasih juga diberikan oleh Yuliana Hale. “Selamat jalan Pater yang biasa disapa opa. Bahagia bersama bapak di surga. Terima kasih banyak atas cinta kasih dan kebaikan Pater Celma beberapa tahun memimpin Paroki Santa Maria Fatima Nurobo,” kata Yulina yang mengaku selalu mendapat ucapan selamat saat ulang tahun. Thya menambahkan, “Terima kasih untuk semua pelayanan imanmu selama tujuh tahun bersama umat Paroki Nurobo.”
Meski sudah pulang ke Spanyol, imam itu masih berhubungan dengan umat di Timor. Niya Bifel, yang mengaku Pastor Celma adalah bapa rohaninya, mengatakan, “Pater, sedih rasanya mendengar berita ini. Beberapa bulan lalu, engkau masih memberkati dan mendoakan saya dari negeri seberang.”
Pastor Celma sudah meninggal namun susah dilupakan karena menurut Ansel Che Sengga, “dia ayah sekaligus formator yang keras dan tegas tapi mudah memaafkan, dia ajarkan untuk tidak mudah menyerah dalam berjuang dan bersemangat selalu dalam segala hal.” Kini, Pastor Celma meninggalkan dunia dan Indonesia yang sangat dicintainya. “Banyak kisah yang tak akan habis diceritakan tentangnya.”
Rofina Sengga mengaku sangat kehilangan. “Kami sangat kehilangan. Kami mengenalmu ketika mengikuti ‘Jalan Kemuliaan’ di Seminari Claretian. Engkau begitu semangat dengan lagu dan tarian.”
“Tenemos tanto, tenemos tanto, tenemos tanto para agradecer…” adalah salah satu lagu dari sejumlah lagu pendek berbahasa Spanyol yang pernah diajarkan Pastor Celma, selama di Timor. Namun, di antara ungkapan dukacita yang dikirim ke Facebook oleh para kenalan yang mencintainya, menurut Mario F Lawi, ada satu video yang menunjukkan imam itu menyanyikan lagu “Sio Mama” dan menjelaskan maknanya dalam bahasa Spanyol untuk orang-orang yang mendengarkannya.
Banyak hal dikenang dari imam itu. Yang paling mudah dikenang, lanjut Mario, “setiap kali ada orang mengutip pepatah “qui bene cantat bis orat” (siapa pun yang bernyanyi dengan baik, ia berdoa dua kali), orang pertama yang saya ingat melakukannya adalah Pater Miguel. Beliau memperkenalkan sejumlah lagu pendek berbahasa Spanyol, “Tenemos tanto,” “Caminamos a la luz de Dios,” dan “Alabaré,” kepada anak-anak di Timor. Lagu-lagu itu masih dinyanyikan sampai hari ini.”
Menurut Mario, pastor yang selalu bergembira itu membuat “Jalan Kemuliaan,” ibadah di hari-hari Minggu di masa Paskah di biara Claretian Matani, menjadi lebih semarak. “Di beberapa perhentian, Pater bersemangat berdiri memegang lilin Paskah di tengah lingkaran sambil mengajak orang bersama-sama menyanyikan lagu-lagu yang pernah beliau ajarkan, misalnya, ‘Caminamos a la luz de Dios’. Lagu itu kadang dinyanyikan dalam versi Inggris “We are walking in the light of God” dan versi Indonesia “Kita jalan di terang Tuhan.” Di perhentian lain, ia akan menyanyikan solo lagu “Alabaré” sambil memberi umat aba-aba untuk bersiap menyanyikan refrain bersama-sama.(PEN@ Katolik/paul c pati)