“Good things take time but miracles take faith” (Untuk mendapatkan hasil baik perlu waktu, namun untuk mengalami mujizat diperlukan iman). Ini bisa kita renungkan dari bacaan Injil hari ini 31 Juli 2020 (Matius 13:54-58) yang mengisahkan tentang Yesus kembali ke tempat asal-Nya dan mengajar di rumah ibadat. Orang-orang yang mendengarkan ajaran-Nya pun menjadi takjub dan berkata, “Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu? Bukankah Dia itu anak tukang kayu?” Lalu mereka kecewa dan menolak Dia.
Sahabat terkasih, yang dialami orang-orang yang menolak Yesus ini mengingatkan kita akan perumpamaan ‘sang penabur’. Mereka merupakan contoh konkret dari tanah yang berbatu-batu atau seperti benih yang ditaburkan di pinggir jalan.
Benih yang ditabur adalah ‘sabda Allah’ yang hidup, benih itu hikmat dan penuh kuasa. Akan tetapi, karena hati mereka keras, benih itu hanya membuat mereka takjub sesaat. Benih itu tumbuh, namun karena hati mereka keras (akibat kesombongan dan pikiran yang sempit), maka ‘sabda’ itu segera mati di dalam hati mereka.
Tuhan Yesus berkata, “Seseorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya.” Karena ketidakpercayaan mereka, Yesus tidak mengerjakan banyak mujizat di situ. Melalui hal ini, kita pun diajak untuk menyadari kehadiran Allah melalui kehadiran sesama dan peristiwa hidup sehari-hari. Atau dengan kata lain, bagaimana kita dapat menemukan sesuatu yang luar biasa di dalam hal-hal yang biasa.
Mari renungkan sejenak, “Adakah hal yang menghalangi kita untuk melihat dan merasakan kuasa Allah?” Syukur pada Allah, hari ini Gereja kembali memperingati Santo Ignatius Loyola (1491–1556). Apabila kita membaca riwayat hidupnya, kita dapat melihat adanya transformasi, dari prajurit medan perang menjadi laskar Kristus (kesatria pembela iman).
Ini bermula dari hal sederhana, dari hati yang begitu tersentuh dan berkobar-kobar ketika membaca buku-buku tentang Kristus Yesus dan kehidupan para kudus, di antaranya Santo Fransiskus dan Santo Dominikus. Terinspirasi oleh kesucian para kudus, serta bermodal kedisiplinan sebagai mantan prajurit, Santo Ignatius mendirikan Serikat Yesus (SJ) yang bertujuan mempersiapkan para imam agar dapat membela dan mempertahankan iman Katolik dari pengaruh ajaran Protestan. Sekalipun usahanya ini tidaklah mudah dan harus menghadapi banyak tantangan, mereka tetap bertahan hingga saat ini.
Semoga, semua ini dapat menginspirasi hati dan pikiran kita supaya kita pun terus belajar bersabar demi mendapatkan yang terbaik, dan semakin percaya, hingga mujizat-Nya boleh terjadi dalam kehidupan kita. Biarlah, kita tidak berkecil hati apabila usaha kita untuk mewartakan kabar gembira dan membawa orang lain kepada pertobatan tidak dihargai bahkan ditolak orang lain. Sebab, Tuhan Yesus sendiri pernah mengalami semua itu. Tetaplah berdoa dan memohon pertolongan Roh Kudus supaya kuasa- Nya sungguh dapat bekerja di dalam diri kita dan sesama yang kita layani.
Frater Agustinus Hermawan OP