Home BERITA FOTO Fransiska Huberta Iyangsari Harinowo: Matematika Tuhan itu lebih hebat

Fransiska Huberta Iyangsari Harinowo: Matematika Tuhan itu lebih hebat

2
Peti jenazah Siska ditutupi kain bergambar Bunda Maria dan Salam Maria dalam Bahasa Latin (Ist)
Peti jenazah Siska ditutupi kain bergambar Bunda Maria dan Salam Maria dalam Bahasa Latin (Ist)

Bapa yang di surga, kami berdua. Bersujud di depan-Mu, di altar mulia. Saling mengucap kata, berserah setia. Ingin hidup berdua, dengan penuh cinta. S’moga Engkau berkati, niat suci ini. Padu menjadi satu di dalam nama-Mu. Bapa yang di surga, bimbinglah kami. Agar cinta yang suci, kekal dan abadi.

Lagu duet pernikahan dengan judul “Berkatilah” ini ternyata pertama kali dinyanyikan oleh Cyrillus Harinowo bersama Fransiska Huberta Iyangsari (Siska). Pencipta lagu itu, Totok Pudjianto, meminta pasangan suami-istri yang sudah punya empat anak itu menyanyikan lagu itu dalam sebuah Misa Pernikahan di Gereja Santo Stefanus di Cilandak, Jakarta.

Harinowo dan Siska memang pasutri yang bertemu saat Harinowo sedang latihan nyanyi di Vocalista Sonora pimpinan Paul Widyawan dan Romo Karl Edmund Prier di Yogyakarta. “Siska datang ke situ untuk mencari teks-teks lagu. Itu tahun 1975, waktu saya tingkat 3 di Fakultas Ekonomi UGM. Siska suaranya sangat bagus,” kata Harinowo.

Tapi, Fransiska Huberta Iyangsari Harinowo meninggal karena pembengkakan pembuluh darah aorta di belakang paru-paru di usia 62 tahun, pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus 14 Juni 2020, dan dimakamkan di Pemakaman San Diego Hills Karawang, 17 Juni.

Dan, Harinowo menemani perjalanan pulang Siska ke Rumah Bapa dengan bernyanyi, “Panis angelicus, fit panis hominum; Dat panis cœlicus, figuris terminum: O res mirabilis! Manducat Dominum, pauper, servus et humilis” pada Misa Penutupan Peti.

Lagu dalam bahasa Latin dengan arti “roti para malaikat’ itu sebenarnya adalah bait kedua terakhir  dari himne “Sacris solemniis” yang ditulis tahun 1249 untuk Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus oleh salah seorang teolog dan filsuf terbesar, biarawan Dominikan dari Lazio, Roma, Santo Thomas Aquinas.

Siska meninggalkan empat anak, Tata (Maria Frederica Permatasari yang lahir 5 Desember 1980 di North Adam Massacussets, AS), Gusta (Frans Augusta Adipermana yang lahir 15 Agustus 1982 di Nashville Tennessee, AS), Tika (Maria Kartika Purisari yang lahir di Jakarta 20 Agustus 1987) dan Derry (Fredericus Adiwaskita yang lahir 4 Juni 1992 di Jakarta). Setelah Harinowo menyanyi, keempat anak itu menunjukkan masih bisa berdialog dengan ibunya dengan bernyanyi “Mother How Are You Today.”

Tempat kelahiran dua anak pertama bercerita bahwa keluarga itu pernah tinggal AS. Benar, Harinowo pernah bermukim di sana bersama Siska. Pertama antara 1980-1985 saat Harinowo mengambil S2 di Williams College di Massachussets dan mengambil Doktor di Vanderbilt University, Nashville, negara bagian Tennessee.

Bersama keluarga, Harinowo kembali ke AS tahun 1998 sebagai Alternate Executive Director dari International Monetary Fund (IMF) dan Technical Assistance Advisor pada Monetary and Exchange Affairs IMF. Tahun 2003, Harinowo pulang ke Indonesia dan setahun berikutnya diikuti oleh keluarganya

Namun, dalam pembicaraan dengan PEN@ Katolik, 26 Juni 2020, Harinowo tidak bercerita tentang prestasi dirinya atau tentang anak pertama yang sambil kuliah di University of Maryland belajar kerja dengan mengantar koran setiap pagi (03.00-07.00) ke rumah-rumah selama tiga tahun, tetapi tentang peran Siska dalam karyanya.

Oktober 2002, kata Harinowo, kontraknya untuk bekerja di IMF diperpanjang dua tahun. Tapi tidak lama kemudian, Siska menyampaikan pada Harinowo supaya berhenti bekerja di IMF dan kembali ke Bank Indonesia (BI). “Kalau engkau tidak kembali, bisa diberhentikan tidak dengan hormat oleh Bank Indonesia,” begitu perkataan Siska yang diingatnya.

Tanpa membanta dan bertanya lagi, Harinowo mengikuti sepenuhnya saran Siska. Dia lalu menemui direkturnya di IMF Dr Stefan Ingves dan memberitahukan kepada Gubernur BI waktu itu, Syahril Sabirin. Stefan Ingves meminta agar tugas Harinowo diperpanjang tiga bulan untuk mencari penggantinya dan dia berhenti setelah ada pengganti dari Kanada.

Akhir Maret 2003 Harinowo mengakhiri tugas di IMF dan pulang ke Indonesia. Tetapi ternyata, dia pulang sendiri. Anak-anaknya mau melanjutkan sekolah ditemani oleh Siska. Malam sebelum pulang, Harinowo gelisah. Dia berpikir, kalau kembali ke BI dia hanya akan menerima gaji sebesar 2 ribu dolar (ekuivalen), padahal keperluan hidup di Washington paling sedikit 6 ribu dolar untuk cicilan rumah, mobil, uang sekolah dan keperluan lain.

Dalam kegelisahan itu, Siska datang dan bertanya, “Kenapa kamu gelisah?” Harinowo lalu menceritakan permasalahannya. “Kau sombong, seakan-akan matematikamu hebat. Matematika Tuhan itu lebih hebat,” jawab Siska. Dengan kata-kata yang menguatkan hati itu, Harinowo kembali ke Jakarta.

Ternyata, seminggu setelah sampai di Jakarta, Harinowo dicalonkan sebagai Gubernur Bank Indonesia oleh Presiden Megawati. Dia berkali-kali berpikir, apakah ini menjawab Matematika Tuhan itu? Namun, dia kalah dalam pemilihan tersebut. Suaranya ‘nol’.

Seminggu setelah kekalahan itu, Harinowo diundang oleh pemilik perusahaan Djarum yang sekaligus pemegang saham BCA. Setelah empat kali pertemuan, dia diminta menjadi Komisaris BCA. Penghasilannya ternyata sangat mencukupi untuk membiayai keperluan keluarga di Washington. Terjawab sudah Matematika Tuhan itu. “Perlu kekuatan iman untuk bisa menunggu terjawabnya Matematika Tuhan itu,” kata Harinowo yang tanggal 25 Juni 2020 merayakan ke-17 bergabungnya ke BCA.

Harinowo punya cerita lain tentang ‘kehebatan’ Siska. Tahun 1999 Siska menemaninya ke Atlanta untuk peresmian perkumpulan Keluarga Katolik Indonesia (KKI) Cabang Atlanta. Siska yang sangat lincah bergaul dengan mudah merangkul sahabat-sahabat baru dari Atlanta yang dipimpin oleh Pancha Anugerah.

Dalam acara itu Harinowo melihat Siska diminta memberikan ‘advis’ kegiatan untuk organisasi baru itu. Jawaban yang diberikan berupa beberapa kemungkinan, pertama “mengumpulkan sisa-sisa uang kecil atau coin, dan setelah terkumpul dikirim untuk beasiswa seminari di Flores atau ke Jawa,” dan kedua “menyelenggarakan jambore atau pertemuan antar-KKI dengan camping bersama.”

Ternyata kedua hal itu dilakukan oleh KKI Atlanta yang sangat aktif sampai hari ini. KKI Atlanta bahkan memperluas kegiatan jambore menjadi “Jambore KKI USA and Kanada”. Jambore pertama diselenggarakan di Stone Mountain Park Atlanta, 1 dan 2 September 2001, dan kedua di Little Bennett Regional Park, Washington DC, 1 September 2002.

Dalam kegiatan itu, dia juga menyaksikan peran luar biasa Siska dalam memimpin ibu-ibu memasak untuk 500 peserta yang datang dari 13 kota. Para pastor yang menginap di rumahnya juga dia minta ‘metikin’ buncis dan sayuran lain. “Jambore yang berlangsung sukses itu dibuka dengan Misa yang dipimpin oleh Uskup Pembantu Washington DC serta 15 imam konselebran dari Indonesia. Acara itu benar-benar menjadi kenang-kenangan seumur hidup bagi para peserta,” kata Harinowo.

Menurut catatan Harinowo, saat mereka pulang ke Indonesia, KKI sudah berdiri di 41 kota, dan “rasanya Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) perlu memperhatikan mereka, karena meskipun mereka bermukim di Amerika, orientasi mereka tetap Gereja Katolik Indonesia. Maka, uskup-uskup Indonesia perlu sekali-sekali hadir di sana.”

Usulan Siska itu telah menjadi “pemersatu” KKI-KKI di AS. Sebelumnya KKI berdiri sendiri-sendiri tanpa ada komunikasi. Setelah jambore itu, para imam Indonesia yang berkarya di AS bergilir melayani puluhan KKI di seluruh Amerika, dan terjadi persaudaraan erat antar-KKI di sana.

Dalam sebuah catatan mengenang tujuh hari kematian Siska, A Kunarwoko, yang suka berkunjung dan nginap di rumah Harinowo mengaku, pernah menyaksikan kehebatan cinta Siska bagi keluarga dan sahabatnya. “Liburan kuliah musim panas 1999 dan 2000, saya sempat berkunjung ke Washington. Biasanya sejak 1990, selama libur musim panas, saya membantu sebuah paroki di Keuskupan New York atau Los Angeles. Musim panas 1999, saya kebetulan membantu Paroki Saint Claire Deltona, Florida. Sebelum ke Deltona, saya menginap beberapa hari di rumah keluarga itu di kawasan Rockville Maryland.”

Rumah itu tak pernah sepi oleh teman-teman Indonesia di Washington serta yang sedang belajar atau bertugas di KBRI. “Semua orang yang datang ke rumah Harinowo merasa pulang ke rumah sendiri. Bapak dan Ibu Harinowo seolah jadi kakak atau orang tua bagi teman-teman Indonesia. Siska dipanggil mami oleh anak-anak muda. Sebagian besar “pejuang perantauan” di Washington menjuluki Siska ‘emak sejuta umat.’ Julukan itu menjelaskan dengan sendirinya, siapa Siska di mata sahabatnya,” tulisnya.

“Aura” keakraban dan kekeluargaan istimewa langsung dirasakan siapapun yang mampir, karena “siapa pun yang datang disambut dengan tawa dan canda meriah Siska,” yang tak pernah kelihatan murung atau sedih. “Yang kaya, miskin, baik-baik, bermasalah, tua, muda, Islam, Katolik, Kristen, Jawa, Batak, Flores, Cina, siapapun, rasanya bertemu oase teduh kalau datang ke rumah itu.” Kendati tamu tak pernah henti datang, “saya saksikan Siska dan Harinowo, tetap punya ‘quality time’ dengan anak-anak.”

Rumah itu, selain “rumah teduh” bagi orang Indonesia di DC, juga jadi rumah bernyanyi. Keluarga Katolik Indonesia di Amerika cabang Washington DC selalu latihan koor di situ. “Teman-teman selalu kangen suara merdu Siska, penentu bernyanyi benar kalau ketemu lagu sulit,” tulisnya.

Kunarwoko juga ingat acara ‘rekoleksi dengan Siska, “orang malam” yang terbiasa tidur sesudah pukul 4 pagi. Sesudah ‘quality time’ dengan suami dan anak-anak, sekitar pukul 10 malam, Siska biasa panggil saya, ‘Mo, ngopi yuk di belakang!’ yang artinya ajakan “rekoleksi”. Dekat dapur ada bangku panjang menghadap taman, enak buat ngobrol dan ngopi. Siska perokok berat. Saya tidak. Ngopi pun seperlunya saja. Sementara untuk Siska, segelas besar kopi hitam selalu setia menemani.”

Saat ‘rekoleksi’ dia bertanya, “Orang Dayak kok bisa kawin sama orang Jawa, ceritanya gimana mbak?” Dengan ketawa, Siska jawab, “Sudah diatur sama yang di atas ‘kali! Waktu ketemu Harinowo saya kok merasa orang ini “greng”nya kuat!” “Wah, kayak dongeng cupid itu dong!” tegasnya. “Bukan! Jodoh memang tak lari ke mana. Tapi kan kita ngga cuma punya hati. Punya kepala juga. Kita mau ngambil seseorang jadi pasangan hidup kan lihat kelakuannya. Harinowo punya semua itu. Maka ya dia pantas saya ambil!” jawab Siska.

Menurut Kunarwoko, “Tuhan seolah tahu, Siska adalah pencinta ekaristi. Tuhan tahu Siska rajin menyambut komuni suci. Tuhan tahu, Siska rajin memuji-Nya dengan koor. Siska di hari raya itu dipanggil Tuhan agar bisa merayakan perjamuan suci, Misa abadi di surga. Di masa pandemi, Tuhan seolah menjawab kerinduan Siska untuk merayakan ekaristi sejati. Tuhan tahu, sudah lama Siska tidak menerima hosti suci. Kini kerinduannya terpenuhi sudah.”

Seperti ibu Katolik umumnya, “Rosario jadi sahabatnya. Ia tak pernah lalai Misa Minggu. Ia mendidik anak-anak secara Katolik seperti janji yang diucapkan pada pernikahan. Tentu, cintanya pada Gereja dan para imam tak perlu diragukan.

Segala ‘pelayanan’ dan ‘kasih” serta ‘bantuan’ dari Keluarga Harinowo, khususnya Siska, baik di KKI maupun di rumahnya sendiri, yang suka menampung para pastor yang mampir, dan menerima orang-orang yang sedang belajar atau bekerja di KBRI, membuat ratusan teman dari Amerika dan Eropa melayat saat kematiannya melalui live streaming.

Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo dan beberapa imam dari berbagai kongregasi juga datang melayat. Dalam Misa Pelepasan hingga Pemakaman nampak hadir dua imam Serikat Sabda Allah (SVD), seorang Kapusin (OFMCap) dan seorang Dominikan (OP). Pastor Antonius Eko Juliantoro SVD dari Yogyakarta yang sudah mengenal keluarga Harinowo selama 20 tahun, merasa Siska memintanya mendoakan dirinya di hari Minggu sebelum kematiannya.

“Minggu lalu saat Misa pribadi, setelah Doa Penutup, nama Ibu Siska muncul di pikiran saya. Begitu kuat sekali. Kemudian saya berdiam dan berdoa tiga kali Salam Maria. Saya tidak tahu intensinya apa. Saya juga tidak pernah berpikir macam-macam, apalagi mengharapkan keadaan seperti ini,” kata imam itu.

Padahal, menurut ingatan Pastor Eko, kalau Siska minta doa atau intensi selalu untuk suami atau untuk anak-anaknya. “Belum pernah sekali pun Ibu Siska minta doa untuk diri sendiri, dan ketika namanya muncul saat Misa itu, saya berpikir mungkin itulah saatnya Ibu Siska minta saya berdoa untuk dirinya.”

Hati Siska itu baik. Itu kesan yang imam itu dapatkan lewat berbagai komunikasi tentang Siska. Dan, imam itu pernah melihat bagaimana Siska “selalu memikirkan orang lain, selalu mendahulukan orang lain,” dan mungkin termasuk kesehatannya. “Saya masih ingat waktu ke Bengkayang. Ketika parkir di suatu tempat, Ibu Siska melihat tukang parkir perempuan. Dia turun dari mobil dan beri uang mungkin 50 ribu rupiah. Yang saya lihat, orang ini tak bisa lihat orang lain menderita,” kata imam itu.

Saat pemakaman, Pastor Thomas Alfred Dino Lamaroang OFMCap dari Jakarta mengatakan, “saya sedih, tapi senang karena Ibu Siska tidak pernah sedih dalam hidupnya, dia selalu gembira, karena itu dia pergi menghadap Tuhan dalam ketenangan waktu tidur, karena dia menyiapkan semua dengan baik, karena dia kembali di Hari Tubuh dan Darah Kristus. Cintanya akan Tuhan membuat dia memeluk Tuhan dalam ketenangan.”

Menurut Pastor Thomas, “Siska yang namanya terdiri dari 4 kata dan memiliki 4 anak, setelah pesta 40 tahun pernikahan dia meninggal dan setelah 4 hari kita memakamkannya diantar oleh 4 orang imam dalam Misa pelepasan hingga pemakaman.” Ya, Siska yang suka tidur sesudah pukul 4 pagi dan meninggal 14 Juni itu memiliki anak terkecil yang lahir 4 Juni. Dia rupanya senang dengan angka 4.

Ada kesan, Misa pelepasan dan pemakaman Siska diciptakan sedemikian rupa sehingga berlangsung tanpa suasana sedih tetapi penuh kegembiraan dan tawa. Begitu banyak ungkapan para imam bahkan anaknya saat memberikan ucapan terima kasih membuat keluarga dan orang-orang yang hadir tertawa bahkan terpingkal-pingkal.

Menurut Harinowo, Siska memang mengajarkan anak-anaknya untuk hidup seperti Maria yang selalu menyenangkan sesama, melindungi sesama dan hidup bagaikan “tutela matris” (perlindungan ibu). “Siska telah jadi tempat berlindung bagi keluarga dan sesama.” Oleh karena itu, peti jenazah Siska ditutupi kain bergambar Bunda Maria dan Salam Maria dalam Bahasa Latin.

Maka, meski Harinowo beserta anak-anak dan cucu-cucunya sudah pulang ke rumah, mereka masih merasa berada dalam lindungan Siska dan mengingat kata seorang imam Dominikan dari Pontianak dalam Misa Pelepasan Jenazah bahwa “Panis angelicus” yang dinyanyikan Harinowo di depan jenazah Siska berarti bahwa dalam setiap perayaan Ekaristi mereka sudah disatukan dan bahwa mereka tidak sendirian.

Mereka percaya, mereka masih menyatu dengan Siska, seorang ibu yang menurut imam itu merupakan “sebuah pemberian terbaik Tuhan bukan hanya untuk keluarga, tetapi untuk kita” sehingga banyak orang melepas kepergiannya “dengan kerinduan yang sama untuk berjumpa kembali di rumah Bapa di Surga.”

Siska sudah menyiapkan segalanya untuk keluarga, tegas seorang anaknya di pemakaman, “Ibu Siska sudah pergi untuk menyiapkan tempat bagi kita di sana.”

Siska memang penuh cinta, kebaikan dan perlindungan. Maka, mereka pun mengakhiri rangkaian pemakaman itu dengan bernyanyi riang seakan ingin belajar dan meneruskan kasih Siska kepada sesama, “Ajarilah kami bahasa cinta-Mu, agar kami dekat pada-Mu.”(PEN@ Katolik/pcp/aop)

Fransiska Huberta Iyangsari Harinowo (Siska) (Ist)
Harinowo menyanyikan “Panis angelicus” (Ist)
Harinowo bersama empat anaknya bernyanyi untuk istri dan ibu mereka (Ist)
Ciryllus Harinowo (screenshot)
Pastor Antonius Eko Juliantoro SVD (screenshot)
Pastor Thomas Alfred Dino Lamaroang OFMCap (screenshot)
Seorang anak dari Siska dan empat imam yang hadir dalam pemakaman (screenshot)
Sekeluarga bernyanyi dalam sebuah vocal group di acara Natal KBRI Washington tahun 2000
Dalam pakaian khas Dayak (ist)
Bersama Pastor Gregorius Budi Subanar SJ di rumah di Rockville, Maryland

 

2 KOMENTAR

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version