“Salah satu langkah kunci untuk mencegah penyebaran pandemi virus corona adalah menjaga jarak sosial. Tetapi jika Anda tinggal di kamp pengungsi, Anda tidak punya ruang nyaman untuk melakukannya,” kata Immanuel Chayan Biswas, Staf Komunikasi untuk Program Respons Rohingya dari Caritas Bangladesh, yang berbasis di Cox’s Bazar.
Di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh itu, jelasnya, komunitas Rohingya tidak hanya menghadapi tantangan hidup di tempat penampungan yang penuh sesak hingga sepuluh orang atau lebih dalam satu ruangan, tetapi juga penggunaan jamban-jamban serta fasilitas-fasilitas air umum, dan terbatasnya ruang tempat mereka menerima pembagian makanan. Mereka tidak bisa menjaga jarak yang tepat atau mempertahankan langkah-langkah kebersihan agar secara efektif terhindar dari penyebaran virus corona baru.
Lebih lanjut, Biswas menunjukkan, pandemi tragis itu hanyalah salah satu situasi darurat yang mendominasi kehidupan mereka. “Orang-orang Rohingya yang tinggal di kamp-kamp pengungsi Bangladesh menjadi korban empat kali lipat,” katanya.
“Mereka adalah korban yang tercerabut secara kasar dan traumatis dari tanah air mereka di Myanmar; korban penyakit disentri dan cacar; korban angin topan berulang yang menghantam Bangladesh. Dan sekarang mereka juga menjadi korban pandemi global yang menimpa Bangladesh.”
Diperkirakan ada 1,1 juta pengungsi Rohingya di Bangladesh. Sebagian besar dari mereka melarikan diri dari Myanmar setelah Agustus 2017, setelah serangan brutal militer di negara bagian Rakhine Myanmar terhadap serangkaian serangan pemberontak.
Komunitas Rohingya, yang sebagian besar Muslim, telah lama menghadapi diskriminasi di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha, termasuk ditolak kewarganegaraannya sejak 1982.
Kasus pertama Covid-19 ditemukan di kamp-kamp Rohingya tanggal 14 Mei. Saat ini setidaknya ada 46 kasus yang dikonfirmasi dan 5 kematian akibat virus itu, tetapi karena kapasitas tes terbatas, jumlah sebenarnya cenderung jauh lebih tinggi.
Biswas dari Caritas Bangladesh mengatakan, fasilitas medis di kamp tidak memadai sesuai jumlah pengungsi. Dalam banyak kasus mereka hanya mendapat perawatan primer. Sebelumnya, orang Rohingya yang sakit kritis akibat Covid-19 bisa mendapat akses ke Rumah Sakit Umum Ukhiya atau Cox’s Bazar Medical College. Sekarang, fasilitas perawatan ini hanya terbuka untuk warga Bangladesh setempat.
Biswas menyesalkan, terlalu sedikit orang yang punya informasi tepat tentang Covid-19. Caritas Bangladesh bekerja di seluruh negeri itu dan di kamp-kamp Cox’s Bazaar untuk memberikan pesan pencegahan kepada puluhan ribu orang, serta sabun dan perlengkapan kebersihan untuk ribuan keluarga. Mereka juga memasang tempat-tempat cuci tangan di tempat-tempat umum dan dekat toilet. Pasokan air dan fasilitas sanitasi yang buruk di kamp-kamp menimbulkan tantangan besar untuk sering mencuci tangan.
Dengan terjadinya musim hujan, ada bahaya besar tanah longsor dan banjir melanda tempat-tempat penampungan itu. Kerusakan jalan sangat membatasi akses untuk mendapat pelayanan dan menambah persoalan dengan pelecehan fisik dan seksual.
“Masyarakat internasional,” kata Biswas, “harus perhatikan keadaan komunitas Rohingya … Mereka harus memiliki hak untuk hidup bermartabat.”
Ketika Covid-19 “menyerang orang-orang rentan ini, kita harus bekerja di semua tingkatan untuk memastikan bisa terlihat akhir penderitaan mereka,” lanjutnya.(PEN@ Katolik/paul c pati berdasarkan Vatican News)