Meski hanya dengan live streaming karena protokol Covid-19, banyak Misa dirayakan dan intensi dipanjatkan untuk menyertai perjalanan postulan Persaudaraan Dominikan Awam (PDA) Aloysius Aluinanto Sandjaya yang meninggal dunia, 4 April 2020.
Selain yang dirayakan anaknya Pastor Bernard Timothy OP di Amerika Serikat, Misa-Misa harian dan doa serta Doa Rosario dari Keluarga Dominikan (pastor, suster, frater, dan awam) selalu menyertai perjalanan Sandjaya. Tugas utama Ordo Pewarta (OP) atau Dominikan adalah untuk keselamatan jiwa-jiwa.
PEN@ Katolik mendapat informasi beberapa Misa yang dirayakan untuk perjalanan pulang Sandjaya. Tanggal 13 Mei 2020, Pastor Antonius Suyadi Pr dari Paroki Santo Yakobus Kelapa Gading melaksanakan Misa live streaming “Mengenang 40 Hari Meninggalnya Aloysius A Sandjaya” di Gereja Stasi Santo Andreas Kim Tae Gon, Kelapa Gading, Jakarta.
Semua yang mengenal almarhum, menurut imam itu, “tahu persis kehidupan Sandjaya yang sungguh taat dan setia kepada Tuhan Allah,” bahkan mencurahkan kehidupannya bagi hidup menggereja dengan cara luar biasa, sehingga “kenangan segala kebaikannya sangat melekat bagi kita semua.”
Selain mengingat kedua anaknya yang sudah dan sedang dalam pembinaan menjadi imam, Pastor Suyadi menegaskan, “keluarganya mencurahkan waktu dan kehidupannya untuk Gereja.” Saat dipanggil Tuhan, “beliau prodiakon di Paroki Kelapa Gading dan sangat tekun melayani, bahkan pernah ketua prodiakon.” Kalau mengenang kebaikannya untuk Gereja, tegas imam itu, “sangat banyak, dan kepeduliannya menjadi teladan bagi kita semuanya.”
Sandjaya dipanggil dalam usia 67 tahun, “tetapi seluruh kehidupannya yang diarahkan kepada Tuhan untuk kebaikan Tuhan dan kebaikan sesama itu juga diukur sebagai usia yang lanjut bagi Tuhan. Pasti Tuhan sangat berkenan atas segala daya upaya hidup untuk sesama dan kemuliaan Tuhan yang telah dilakukan Sandjaya sepanjang kehidupannya.”
Gereja Santo Andreas Kim Tae Gon, Kelapa Gading, ini adalah salah satu karya Sandjaya. “Pak Sandjaya terlibat banyak dalam pembangunan gereja ini. Ini salah satu contoh saja. Pasti Tuhan menerima segala daya upaya kehidupannya, dan kita yakin bahwa Aloysius Sandjaya sudah berada dalam kemuliaan Allah, dan ketika sakit pun dia sudah menerima Sakramen Pengurapan Orang Sakit meski dari jauh saja, lewat fotonya.
Misa Requiem untuk Aloysius Sandjaya di Paroki Kelapa Gading sudah dirayakan sejak hari meninggal mereka, 4 April 2020, oleh Pastor Aloysius Hadi Nugroho Pr. Dalam homilinya ketika mengulangi Yoh 11:21, “Tuhan kalau Tuhan ada di sini sebelumnya tentu saudara saya tidak mati,” Pastor Nugroho mengatakan, “Saya merasa ingin menangis.”
Menurut imam itu, kalimat itu adalah kalimat kita semua karena, “mungkin ada rasa kecewa, mengapa terjadi saat ini, mengapa kita kehilangan orang baik” dan “kita menyatukan rasa kecewa itu dengan apa yang diungkapkan oleh Marta. Dia kecewa.”
Kalau pernah merasakan kebaikan Aloysius Sandjaya dan FX Ruby Susanto, yang juga diperingati saat itu, “kemungkinan kita pun merasakan kekecewaan seperti ini, bahkan kalau boleh marah, mungkin saya akan marah.” Tetapi justru Misa Requiem, jelas imam itu, “membuat kita dihibur, membuat kekecewaan dilebur, karena dalam Misa ini Yesus mengatakan ‘Akulah Kebangkitan dan Kehidupan.’ Dan, itulah keyakinan Gereja, kehidupan kita di dunia adalah sementara dan ada kehidupan lebih kekal yang akan dinikmati nanti.”
Menurut imam itu, Sandjaya dan Susanto sudah memberi terbaik untuk Gereja, dan tugas kita sekarang “memberikan yang terbaik untuk mereka yaitu ‘doa-doa kita’ karena mereka sekarang sedang dalam perjalanan untuk berjumpa Allah di surga dan dalam perjalanan itu mereka butuh doa-doa kita.”
Selain Misa Requiem pada hari kematian, Misa juga dirayakan dari Pastoran MSF Jakarta pada Peringatan Tiga Hari meninggalnya Sandjaya. Ketua Komisi Keluarga KAJ Pastor Erwin Santoso MSF dalam homilinya mengatakan, dia mengenal Sandjaya sebagai seorang yang sangat kocak. “Dia tipe orang yang tidak bisa diam. Dalam suasana kering dan rapuh, dia pasti akan membuat semua orang di dekatnya merasa gembira,” kata imam itu.
Kalau ada empat atau lima orang berkumpul dan di situ ada Sandjaya, cerita imam itu, pasti dia melawak. “Beberapa lawakannya tidak lucu, tetapi akhirnya kami tertawa, justru karena ekspresinya, justru karena kemauannya untuk menghibur, sehingga akhirnya tidak perlu materi stand up comedy, tetapi kesungguhan hatinya untuk melayani setiap saat, entah sebagai prodiakon, pemimpin perusahaan, maupun dalam pergaulan.”
Dalam perjalanan, lanjut imam itu, Sanjaya akan terus bernyanyi. “Seperti ada ratusan lagu yang dia hafal, meski dia tidak menyanyikan dengan not yang tepat. Tetapi, itu sangat memberkati, sangat menghibur orang yang berada di dekatnya,” lanjut imam itu. Bahkan Pastor Erwin hampir tidak percaya ketika Sandjaya yang “tidak kaku dan suka tertawa” itu mengusulkan menyanyi satu lagu yang saat itu belum booming dan belum dikenal imam itu yakni “Hidup ini adalah kesempatan.”
Menurut Pastor Erwin, Sandjaya meninggalkan kesan baik bagi orang-orang lebih muda dan inspirasi cara melakukan pelayanan tanpa mengenal lelah. “Dia prodiakon yang tidak mengenal libur. Setiap hari, karena rumahnya memang dekat dengan gereja, dia berjalan ke gereja bukan hanya ikut Misa tanpa berbuat apa-apa. Setiap hari, dia membawa baju prodiakon untuk ‘jaga-jaga’ kalau ada prodiakon tidak datang dan harus digantikan. Maklum, meski Misa harian tetap banyak umat hadir di Gereja Kelapa Gading. Sungguh mengesankan, kami saja yang Misa tiap hari belum tentu siap seperti itu,” kata imam itu.
“Sandjaya bukan hanya kelimpahan harta tetapi kelimpahan rohani!” Saya percaya itu, apalagi kedua putranya dipanggil menjadi imam, tegas Pastor Erwin. Maka, Pastor Erwin mengaku dia tidak memulai homilinya dengan penjelasan Kitab Suci tetapi yang sudah dilakukan oleh Sandjaya. “Itu adalah perbuatan baik, yang mengukir namanya, dia sudah menjadi prodiakon selama-lamanya di surga, sehingga Misa online hari ini pun dipenuhi orang-orang yang masih menghormatinya. Saya percaya, manusia meninggalkan nama di dunia tetapi terlebih dari itu manusia meninggalkan bekal yang akan dibawanya ke surga seperti yang selalu dinyanyikan oleh Sandjaya dengan nada tidak pas tetapi menarik, ‘Hidup ini adalah kesempatan’.”(PEN@ Katolik/paul c pati/aop)
Almarhum Aloysius Aluinanto Sandjaya: benar-benar man for others, Dominikan sejati