“Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajuan pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, keluar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat. Ketahuliah, bahwa adat negeri kami melarang keras gadis keluar rumah.
Ketika saya sudah berumur 12 tahun, lalu saya ditahan di rumah. Saya mesti masuk ‘tutupan’, saya dikurung di dalam rumah, seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tiada boleh keluar ke dunia itu lagi, bila tiada serta seorang suami, seorang laki-laki yang asing sama sekali bagi kami, dipilih oleh orang tua kami untuk kami, dikawinkan dengan kami, sebenarnya dengan tiada setahu kami.
Saya tiada tahu berbahasa Prancis, Inggris, dan Jerman, sayang! Adat sekali-kali tiada mengizinkan kami anak gadis tahu berbahasa asing banyak-banyak. Kami tahu berbahasa Belanda saja, sudah melampaui garis namanya. Dengan seluruh jiwa saya, saya ingin pandai berbahasa yang lain-lain itu, bukan ingin akan pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan supaya dapat membaca buah pikiran penulis-penulis bangsa asing itu.”
Sahabat terkasih, tulisan diatas merupakan cuplikan dari sebuah surat yang ditulis oleh R.A Kartini kepada salah seorang sahabatnya di Belanda. Beberapa tahun setelah kematiannya, surat-suratnya yang sebagian besar ditulis dalam bahasa Belanda itu dikumpulkan oleh para sahabatnya. Lalu, Armijn Pane menerjemahkan surat-surat itu ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan menjadi buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Apabila membaca surat-surat beliau, kita seolah membaca roman kehidupan seorang gadis muda yang penuh semangat pembaharuan dan cita-cita luhur. Cita-cita yang Kartini pikir akan terwujud setelah beberapa generasi setelahnya, namun berkat dukungan sahabat-sahabatnya yang mempublikasikan suratnya itu, maka dalam kurun waktu kurang dari 30 tahun setelah kepergiannya, banyak perempuan pribumi dapat mengenyam pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi.
Kini, dalam situasi lockdown atau social distancing yang sedang kita alami, kiranya kita pun dapat sedikit merasakan ‘lockdown’ atau ‘jaman kegelapan’ yang pernah dialami oleh kaum wanita era Kartini (21 April 1879–17 September 1904), apalagi saat itu belum ada televisi maupun alat-alat komunikasi seperti sekarang.
Berbicara tentang ‘lockdown’ maupun ‘kegelapan’, bacaan Injil kemarin dan juga hari ini, 21 April 2020, (Yohanes 3:7-15) mengisahkan hal serupa. Nikodemus yang datang pada malam hari melambangkan perjalanan iman dari ‘gelap’ menuju ‘terang’. Sebagai imam kepala, Nikodemus takut dianggap pengkhianat oleh rekan-rekannya apabila menemui Yesus, karenanya ia datang tengah malam agar tidak diketahui orang lain. Setelah Yesus ditangkap dan disalib, para rasul dan murid-murid Yesus pun mengalami ketakukan yang sama, maka mereka bersembunyi dan mengunci setiap pintu dan jendela rumah mereka.
Dengan demikian, bacaan Injil hari ini merupakan flashback yang telah Yesus ajarkan atau katakan. Semuanya telah terpenuhi melalui sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Saat itu, Yesus berkata kepada Nikodemus, “Kamu tidak percaya, waktu Aku berkata-kata dengan kamu tentang hal-hal duniawi, bagaimana kamu akan percaya, kalau Aku berkata-kata dengan kamu tentang hal-hal sorgawi? Tidak ada seorangpun yang telah naik ke sorga, selain daripada Dia yang telah turun dari sorga, yaitu Anak Manusia. Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.”
Melalui perkataan-Nya ini, Tuhan Yesus ingin menegaskan kepada Nikodemus bahwa apa yang terjadi di dunia dan semesta dapat dijadikan instrumen dalam mengenali kebesaran Allah. Dengan satu syarat, kita mau dilahirkan kembali dalam terang Allah (dibaptis dan percaya kepada-Nya).
Semoga, masa Paskah ini menginspirasi agar kita dapat melihat dan memaknai semua hal yang sedang kita alami sebagai perjalanan iman menuju ‘terang yang sejati’. Saat ini, mungkin secara fisik kita boleh mengalami lockdown dan kegelapan akibat rasa takut yang disebabkan pandemi Covid-19. Namun, percayalah sehabis gelap, terang pasti akan terbit kembali. Maka, biarlah mata dan hati kita senantiasa memandang Salib Kristus. Disana, tidak hanya ada penderitaan dan kematian, tetapi juga kebangkitan dan kemenangan di dalam terang kemuliaan Allah Bapa di Surga.
Frater Agustinus Hermawan OP