Oleh Pastor Wifrid Babun SVD
Ketika jembatan gantung di wilayah Satarmese Barat, Manggarai, Flores, NTT selesai dikerjakan, masyarakat setempat tetap ragu dan takut. Untuk melewatinya, mereka pikir seribu kali. Jembatan alternatif menuju desa wisata Waerebo ini memang panjang. Saat melewatinya, terasa sekali goyangannya, apalagi setiap pijakan kaki di atas lempengan plat jembatan itu selalu berisik.
Di kejauhan dasar sungai, ada bebatuan tajam dengan deburan keras ‘Wae Mau’ yang mengalir ke Laut Sawu Flores. Seakan gigi-bebatuan yang runcing itu sementara menunggu. Yang kepleset langkah dan jatuh, ‘ah itu kiamat!’ Dan, itulah juga yang menjadi kegelisahan tersendiri bagi ‘Pastor Sak Semen’ almarhum Pater Stanis Ograbek SVD, misionaris Polandia.
Bagaimana meyakinkan masyarakat sekitar Narang, Satarmese Barat, bahwa jembatan gantung yang dibangunnya dengan konstruksi beton bertulang ini aman dan nyaman untuk siapa pun dan juga untuk apa pun? Aman untuk manusia menuju Narang ibukota Satarmese Barat. Raga dan jiwa nyaman. Tetapi sekali lagi, bagaimana meyakinkan umat dan masyarakat? Ah … dasar otak seorang arsitek hebat. “Saya siapkan kuda yang terbaik. Saya tunggang di atasnya dengan gaya cowboy. Sekali saya sentuh dengan kaki di sisi kiri kanan perutnya, kuda itu pun jalan dengan tegapnya.”
Hal ini dilakukan hanya untuk memberi bukti agar ‘neka rantang’ (jangan takut). Jembatan ini sangat kuat. Siapa saja bisa lewat. Apa saja juga jamin beres. Buktinya, kuda saja bisa lewat. Dan bukan itu saja. Manusia yang menunggang kuda pun bisa menyeberang. Aman sampai sebelah. Masyarakat dan umat yang tadinya tahan napas menyaksikan adegan seru layaknya di film ini, dengan spontan tepuk tangan gembira.
“Tetapi…” kata almarhum Pater Stanis sambil menarik nafas panjang … “Wilfrid tahu, sesampai di sebelah jembatan, ketika umat dan masyarakat riuh rendah aplaus, saya turun dari kuda, baju dan celana saya seluruhnya basah kuyup … Kuda keringat. Saya juga keringat. Sama-sama keringat!” Namun, adegan penuh tantangan ini masih tersimpan di memori kolektif umat Paroki Narang!
Pernah terjadi. Ada keributan tengah malam di ‘misi Ruteng’. Hari itu, persisnya saya tidak tahu, para pastor SVD melakukan rekoleksi. Seperti biasa, setiap pastor gunung selalu membawa serta kuda mereka masing-masing. Selalu ada dua ekor. Satu untuk membawa peti berisi pakaian, yang satu lagi untuk ditunggang. Itu artinya, setiap pastor selalu disertai ‘anak pastor’. Anak pastor adalah nama untuk setiap anak laki-laki yang setia menemani pastor berpatroli ke mana saja. Dia wajib ikut. ‘Orang nomor dua di pastoran adalah anak pastor. Kalau pastor tidak ada, dia otomatis menjadi nomor satu’. Dan kegaduhan itu terjadi justru karena ulah anak pastor ini. Mengapa? Ternyata anak pastor ini, mungkin dengan atau tanpa sengaja membawa seekor kuda betina. Maka, terjadilah pertarungan kuda jantan. Celaka 13.
Tempo doeloe, kuda bukan sekedar binatang tetapi lebih pada makna. Ada spirit yang tegar, teguh, kuat, tahan banting. Naik gunung turun bukit, hanya kuda satu-satunya teman setia. Entah waktunya tampan dan tidak tampan: ‘rain or shine’ dengan kuda.
Namun, tenda pameran dalam rangka tahbisan Uskup Ruteng Mgr Siprianus Hormat telah dibongkar. Sebelum dibongkar, umat bisa melihat sebuah patung kuda di depan stand karya para imam SVD di Keuskupan Ruteng. Itu pun sudah dibongkar.
Yang tersisa adalah kisah, yang tetap terawat dan tak pernah hilang dari ingatan adalah jejak perkasa kaki para misionaris yang semuanya berkuda. Dengan berkaki dan berkuda mereka mengukir sejarah dan membikin sejarah mengabarkan berita damai dan kabar gembira. Salah satu kisahnya adalah kuda Pater Stanis yang melintasi jembatan Satarmese itu.
Semua misionaris telah melakukan perutusan mereka dalam dan karena kasih (Omnia in Caritate), seperti moto tahbisan Uskup Ruteng Mgr Siprianus Hormat yang beberapa kali menyebut misionaris yang menyejarah, Mgr Wilhem van Bekkum SVD. Saya kira Mgr van Bekkum juga membawa serta kudanya ke surga. ‘Kuda sang misionaris!’***