Suatu hari seusai manggung, Titiek Pusta bertemu seorang wanita. Wanita itu tampak begitu sedih. Setelah ditanya, ternyata wanita itu telah ditinggal oleh suaminya begitu saja. Saat itu, ia tidak punya pekerjaan. Untuk menghidupi anak-anaknya, ia pun terpaksa menjadi wanita panggilan.
“Enak ya jadi seperti Mbak, dihormati orang. Kalau pekerjaan saya direndahin orang,” kata wanita itu. Titiek Puspa pun memeluk, menyemangati, dan mengajak wanita itu untuk berdoa bersama. “Saya ajak dia berdoa dengan kepercayaan masing-masing, karena kebetulan ia seorang Nasrani. Kami berdoa semoga dia dapat perkerjaan lain lebih baik. Saya yakinkan dia bahwa Tuhannya pasti akan beri rezeki dan makan buat anak-anaknya,” lanjut Titiek Puspa.
Setelah perjumpaan di tahun 70-an itu, Titiek Puspa langsung menulis lagu berjudul “Kupu-Kupu Malam.” Tidak lama setelah itu, mereka pun bertemu kembali. “Dia memeluk saya dari belakang, lalu dia bercerita jika dirinya telah menikah dengan seorang pengusaha yang cukup terkenal waktu itu, dan dia sudah tidak bekerja seperti dulu lagi,” kata Titik Puspa. Bahkan, menurut kabar terakhir, jelas Titiek Puspa, anak-anak dari wanita itu semua berhasil, ada yang menjadi dokter.
Sahabat terkasih, melalui kisah dibalik lagu “Kupu-Kupu Malam” ini kita bisa melihat doa dari dua orang yang berbeda keyakinan, yang ketika didoakan bersama-sama dengan penuh iman, Tuhan pun berkenan mengabulkannya. Maka, apa yang akan terjadi apabila semua orang yang berbeda keyakinan, suku dan bangsa di dunia ini bersama-sama bersatu dalam doa memohon kesembuhan dan pembebasan dari pandemi Covid-19?
Melalui kisah itu juga kita bisa melihat bahwa kita bisa menunjukkan belas kasih kepada orang yang hilang, bukan dengan menghakimi, melainkan dengan kata-kata yang membangkitkan semangat, harapan dan iman. Sebab, tidak ada seorang manusia pun yang sempurna. Kita tidak dapat menghakimi orang lain begitu saja hanya karena mereka memiliki dosa atau kesalahan yang ‘berbeda’ dari kita.
Oleh karenanya, syukur kepada Allah, karena di masa Prapaskah ini, kita senantiasa diingatkan akan rahmat pengampunan dan kemaharahiman Allah. Allah tidak pernah menghakimi kita, melainkan selalu dengan setia mendengarkan setiap seruan hati kita sekalipun itu tak terucapkan. Wanita yang kedapatan berbuat zinah juga mengalaminya, seperti dikisahkan dalam Injil Yohanes 8: 1-11. Yesus pun berkata kepadanya, “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
Melalui peristiwa ini, kita dapat belajar dari apa yang Tuhan Yesus lakukan. “Yesus membungkuk lalu menulis di tanah dengan jari-Nya.” Walau terkesan sederhana dan janggal, namun melalui perbuatan-Nya ini, Tuhan Yesus ingin menunjukkan kepada kita apa itu kemaharahiman Allah. Kemaharahiman Allah itu selalu solider dengan kerapuhan atau kelemahan manusia. Allah yang Maharahim ingin menjadi lebih dekat dengan wanita itu, bukan seperti orang-orang yang berdiri menjauhinya.
Yesus menulis di tanah dengan jari-Nya. Seperti yang kita tahu, tanah adalah asal mula manusia diciptakan. Dengan demikian, Tuhan menyentuh ‘tanah’, supaya Ia dapat membersihkan dan menyembuhkan manusia dari dosa dan menjadikannya sebagai ciptaan yang baru.
Semoga, masa Prapaskah ini menginspirasi kita semua agar menjadi pribadi penuh belas kasih dan pengampunan. Semua ini sungguh dapat kita lakukan, apabila kita mau terlebih dahulu mengakui kelemahan atau dosa kita di hadapan Allah, memohon pengampunan-Nya, dan tidak berbuat dosa lagi.
Biarlah, dengan rahmat pertobatan dan kerahiman Allah yang telah kita terima, kita pun dapat saling mendoakan, saling menguatkan dan memberi semangat dan sukacita sekalipun di situasi dunia yang serba tak menentu seperti saat ini.
Oleh Frater Agustinus Hermawan OP