Tanggal 26 Februari 2020, umat Katolik akan mulai menjalankan Masa Prapaskah atau Masa Puasa. Dalam Masa Puasa, umat Katolik juga menjalankan Aksi Puasa Pembangunan (APP) atau menyisihkan uang lewat amplop atau kotak APP untuk dana sosial.
Gagasan APP itu digulirkan sekitar tahun 1969 oleh Vikjen Keuskupan Agung Semarang (KAS) saat itu Pastor C Carry SJ. Tahun berikutnya, gagasan itu ‘ditangkap’ oleh Delegatus Sosial (Delsos) KAS saat itu Pastor Gregorius Utomo Pr dan menjadi perhatian pelayan pastoral bidang sosial ekonomi saat itu hingga saat ini.
Namun hari ini, 15 Februari 2020, pukul 4.50, Pastor Gregorius Utomo Pr yang akrab dipanggil Romo Tomo meninggal dunia di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta dalam usia 91 tahun.
Menurut informasi, jenazah sudah dibawa ke Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus (KHTY) Ganjuran tempat Romo Tomo bertugas sebelum meninggal. Di sana akan dirayakan Misa Penghormatan pukul 16.00 dan 18.00. Hari Minggu 16 Februari 2020 pukul 05.00, jenazah akan disemayamkan di pelataran Candi Mandala HKTY. Di sana akan dirayakan Misa pada pukul 07.00 untuk peringatan Hari Orang Sakit Sedunia dan penghormatan jenazahnya.
Hari yang sama, pukul 13.00, jenazah dibawa ke Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan. Keesokan harinya, 17 Februari 2020, sesudah Misa Requiem pukul 10.00 yang dipimpin Uskup Agung Smarang Mgr Robertus Rubiyatmoko di Kapel Seminari Kentungan, jenazah akan dimakamkan di Pemakaman Para Imam KAS di seminari itu.
Romo Tomo lahir 17 Februari 1929 di Yogyakarta dari pasangan Agustinus Setitadi dan Agustina Suparti Purwaatmadja dan ditahbiskan sebagai imam diosesan KAS tahun 1963. Imam yang pernah menjadi tentara pelajar dari tahun 1945 hingga 1949 itu meraih doktor di Seminari Kentungan dan MA dari Universitas Negeri New York tahun 1987.
Beberapa karya imam itu antara lain Sekretaris Eksekutif Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) KWI (1972-1984), Direktur Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial, Jakarta (1982-1984), Ketua Yayasan Pusat Penelitian Pertanian Organik, Cisarua, sejak 1984, dan Moderator Gerakan Hari Pangan Sedunia dan Nelayan Indonesia, sejak 1990.
Romo Tomo mulai dikenal dalam seminar pertanian se-Asia di Ganjuran, tahun 1990, yang ditawarkan oleh Federasi Konferensi-Konferensi Waligereja Asia (FABC). Diawali dengan seminar itu dan dalam memperingati Hari Pangan se-Dunia 16 Oktober 1990, lahirlah Deklarasi Ganjuran yang isinya mengajak semua pihak membangun pertanian lestari dan pedesaan yang lestari.
Pertanian dan pedesaan lestari ditandai dengan, pertama, bersahabat dengan alam; kedua, murah secara ekonomis; ketiga, berakar atau sesuai kebudayaan setempat; dan keempat, berkeadilan sosial untuk siapa saja dan apa saja.
“Maka deklarasi Ganjuran ini, kalau disingkat, berarti mengajak semua saja untuk menjadi berkat bagi siapa saja dan apa saja demi keadilan dan pelestarian keutuhan ciptaan,” kata Romo Tomo dalam program Pijar Katolik TVRI Yogyakarta, 30 Juni 2013, seperti dikutip oleh PEN@ Katolik.
Gerakan pertanian lestari atau organik yang dirintis Romo Tomo menjadi semacam oase baru bagi solusi keadilan sosial karena martabat petani makin dihargai. Gerakan pertanian tersebut juga menjadi simpul persaudaraan antarpetani dari berbagai macam ragam iman yang dihayati. Terjadilah dialog iman dan dialog karya dalam proyek pertanian lestari. Persaudaraan sejati tercipta. Antarmanusia saling menghargai apapun latar belakangnya. Musuh bersamanya adalah kemiskinan dan ketidakadilan.
Pertanian lestari pun, tulis Lukas Awi Tristanto dalam opini di PEN@ Katolik tahun 2013 itu, menjadi peluang membangun persaudaraan semesta, ketika semua petani menghormati alam dan tidak rakus mengeksploitasi tanah pertaniannya hanya untuk memproduksi komoditas pertanian. Alam benar-benar dihargai. Walau bagaimanapun juga tanah adalah sakral, sumber kehidupan para petani. Tanah, air, udara menjadi saudara-saudari bagi manusia, partner hidup manusia.
“Romo Tomo sadar betul bahwa untuk setia dalam proyek tersebut sangat melelahkan dan membutuhkan stamina rohani yang tinggi. Tak jarang, para aktivis bahkan agamawan putus asa ketika menghadapi berbagai kesulitan dalam menangani proyek sosial,” tulisnya.
Gerakan pertanian organik yang diperjuangkan Romo Tomo dan banyak orang lainnya tentu sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Indonesia dilanda korupsi, kekerasan dan kerusakan lingkungan hidup. Dalam pertanian organik yang digagas Romo Tomo terkandung pembelajaran kejujuran untuk berbuat adil baik bagi sesama manusia maupun alam lingkungan.
Pertanian organik juga mengajarkan persaudaraan apa pun latar belakang petani, karena semuanya berjuang demi ketahanan pangan. Gerakan itu, tulis Lukas Awi Tristanto, sebenarnya menantang kita semua, khususnya umat yang beragama, “bagaimana bisa menyembah Tuhan yang tidak kelihatan, jika kepada sesama manusia apa pun latar belakangnya (agama, suku, sosial, politik) dan alam yang kelihatan saja kita tidak bisa bersaudara dan berbuat adil?”(PEN@ Katolik/paul c pati)