Jafarudin, adalah seorang mantan anggota DPRD Kota Cirebon yang dalam Konser Kebhinekaan Suluh Nusantara yang berlangsung di Pelabuhan Muara Djati Cirebon 14 Desember 2019 bertindak sebagai Pimpinan Produksi.
Paul C Pati dari PEN@ Katolik menemuinya seusai konser itu untuk bertanya apa saja yang dia lakukan dan bagaimana dia melihat gagasan konser kebhinekaan yang ditawarkan oleh seorang suster itu.
PEN@ Katolik: Apa yang Anda lakukan sebagai pimpinan produksi konser ini?
JAFARUDIN: Tugas saya adalah menerjemahkan naskah yang ditulis Suster Albertine OP untuk dibawa ke lapangan, kepada 1865 pemain termasuk 1300 siswa-siswi Day Care, Play Grup, TK, SD, SMP, dan SMA Santa Maria Cirebon, agar mereka semua terlibat langsung sebagai pelaku kebhinekaan. Itu butuh sesuatu yang ekstra agar semua diakhiri dengan rasa sukacita, seperti yang diinginkan penulis naskah, semua sukacita dalam kebhinekaan.
Anda mengalami kesulitan dalam menerjemahkan ide itu?
Ya, kesulitan pertama adalah bagaimana menerjemahkan dengan hati-hati dan seksama sehingga anak-anak mampu mengerti apa yang akan ditampilkan dan orang tua memahami apa yang dilakukan anak-anaknya. Bayangkan, pementasan malam hari untuk anak mulai yang berusia 1 tahun di Day Care. Ini butuh keikhlasan orang tua.
Kesulitan terbesar adalah bagaimana membuat semua yang terlibat mengerti arti konser ini. Kalau makna kebhinekaan ternyata sudah tertanam sejak latihan dan sudah tertanam dalam diri para siswa-siswi TK sampai SMA Santa Maria Cirebon.
Tapi ada waktu tiga bulan untuk itu.
Benar, persiapan itu selama tiga bulan. Namun, kita hanya latihan seminggu dua kali dan setiap latihan dua jam, berarti seminggu hanya empat jam. Bagaimana agar pertunjukan ini dilaksanakan dengan baik dan diakhiri dengan sukacita sesuai Tahun Pewarta Persekolahan Santa Maria Cirebon, yang tujuannya ingin menyampaikan sesuatu yang bersifat sukacita, itulah yang harus diterjemahkan dan ditampilkan dalam konser ini.
Bagaimana mengurus ijin untuk menggunakan pelabuhan?
Perijinan pelabuhan menemui kendala serius, namun tetap diupayakan karena Pelabuhan Cirebon ini adalah satu-satunya tempat bersejarah terjadinya kebhinekaan itu. Bangsa India, Arab dan Cina yang datang ke Cirebon melalui pelabuhan masih meninggalkan kenangan bahkan keturunannya masih ada ada di sini, misalnya ada daerah Pecinan dan masih ada bangsa Arab di sini. Semua dasarnya dari pelabuhan yang dulu namanya Pelabuhan Muara Djati Cirebon.
Bagaimana tongkang ini bisa dipakai? Apa memang sudah lama ada di ini?
Penggunaan tongkang menghadapi kendala. Kami sudah meminta ijin dari Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) untuk menggunakan sebuah tongkang yang sudah tiga tahun berlabuh di sini. Tongkang itu sudah kita blocking. Tetapi, pada H-1, tongkang itu diberangkatkan oleh pemiliknya ke Semarang dan dilanjutkan ke Taiwan, sehingga KSOP memberikan jaminan untuk mendatangkan tongkang baru. Satu hari sebelum acara dimulai, didatangkan tongkang baru, dan semua sesuai yang kita harapkan. Panjang tongkang baru ini memang hanya 60 meter, 15 meter lebih pendek dari yang sebelumnya. Maka, beberapa hal harus dirubah misalnya teknik penempatan kursi. Itu perubahan dramatis.
Apa sebenarnya dasar konser ini, sehingga Anda siap membantu?
Konser ini bermula dari keprihatinan dan keresahan Yayasan Santo Dominikus Cabang Cirebon menyusul terjadinya banyak kejadian yang tidak bagus di Cirebon, misalnya penusukan murid yang di-blow-up besar-besaran, padahal tidak semua siswa atau anak sekolah di Kota Cirebon bersikap demikian. Namun, yayasan itu mau mengkaunter berita-berita itu dengan bukti bahwa kebhinekaan masih terjalin. Maka, kami dengan kawan-kawan sangat bersemangat menyambut gagasan cemerlang pimpinan yayasan itu, Suster Albertine OP, untuk ditampilkan dalam konser ini.
Apakah ada kesulitan menerjemahkan gagasan seorang suster Katolik?
Meski sebagian besar pelaksana konser ini beragama Islam, namun kami tidak masalah dengan gagasan dari seorang suster yang Katolik, bahkan sebaliknya kami salut karena gagasan itu timbul dari kaum minoritas, sesuatu yang sebenarnya harus dari kami yang mayoritas di Kota Cirebon. Ini sangat luar biasa, warga Muslim di Kota Cirebon menyambut baik dan mendukung penuh ide Yayasan Santo Dominikus itu.
Mengapa dukungan itu begitu besar?
Saya mantan anggota DPRD. Saya percaya gagasan yang disampaikan Suster Albertine adalah juga ide atau gagasan dari masyarakat atau konstituen saya. Ketika di Komisi III lima tahun lalu, saya sudah melihat keresahan ini dan saya berusaha menghadirkan konser seperti ini. Tapi, baru di tahun keenam ini terjadi dengan bantuan Suster Albertine OP dari Yayasan Santo Dominikus. Maka gagasan suster itu kami sambut baik dan terjemahkan sebaik-baiknya di sini. Mudah-mudahan Cirebon bisa menjadi contoh konsep kebhinekaan untuk dibawa ke seluruh Nusantara.
Konsep kebhinekaan dalam bentuk “Persaudaraan Insani untuk Indonesia Damai,” menurut Suster Albertine, sudah dibicarakan oleh para uskup Indonesia dalam Sidang Konferensi Waligereja Indonesia di Pusat Pastoral Keuskupan Bandung 4-11 November 2019 sesuai Dokumen Abi Dhabi yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Ahmad Al-Tayyeb, 4 Februari 2019. Mudah-mudahan Cirebon lebih awal dan ini bisa menjadi contoh untuk dibawa ke Nusantara.***
Artikel Terkait:
1865 pemain Konser Kebhinekaan Suluh Nusantara berjanji jadi inspirator kedamaian
Konser Kebhinekaan, buah kontemplasi Tahun Pewarta Sekolah Santa Maria Cirebon