Sabtu, Juli 27, 2024
30.6 C
Jakarta

Konser kebhinekaan, buah kontemplasi Tahun Pewarta Sekolah Santa Maria Cirebon

 

Suster Albertine Padmo OP memotong tumpeng dalam Peluncuran Konser Kebhinekaan Suluh Nusantara didampingi  anggota DPRD Kota Cirebon Edi Suripno (kiri dengan baju merah) dan Walikota Cirebon Nashrudin Aziz (kanan baju putih)  (Foto diambil dari FB Suster Albertine OP)
Suster Albertine Padmo OP memotong tumpeng dalam Peluncuran Konser Kebhinekaan Suluh Nusantara didampingi anggota DPRD Kota Cirebon Edi Suripno (kiri dengan baju merah) dan Walikota Cirebon Nashrudin Aziz (kanan baju putih) (Foto diambil dari FB Suster Albertine OP)

Suster Maria Albertine Padmo OP yang lahir di Wonosari 5 April 1969 adalah Kepala Kantor Yayasan Santo Dominikus Cabang Cirebon. Bulan Juni 2019, magister pendidikan itu resah mendengar berbagai berita jelek, hoaks, dan narasi negatif tentang Cirebon dan Indonesia. Setelah berkontemplasi, suster itu pun membagikan buah-buah kontemplasi itu dalam bentuk naskah ‘Konser Kebhinekaan Suluh Nusantara,” yang melibatkan 1865 pemain, 1300 di antaranya peserta didik Persekolahan Santa Maria Cirebon.

Setelah para undangan dan penonton pulang ke rumah masing-masing seusai konser yang berlangsung satu jam di atas sebuah tongkang dan dermaga Pelabuhan Muara Djati Cirebon, 14 Desember 2019, Paus C Pati dari PEN@ Katolik mewawancarai Suster Albertine tentang alasan suster mementaskan konser itu bersama Majelis Seni dan Tradisi (MeSTi) Cirebon.

PEN@ Katolik: Apa sebenarnya yang mendorong suster membuat konser kolosal tentang kebhinekaan ini?

SUSTER MARIA ALBERTINE PADMO OP: Ini adalah kolase-kolase hidup berbangsa yang dimulai dari sejarah di Cirebon. Awal kebhinekaan di Cirebon dimulai dengan Pelabuhan Muara Djati. Pelabuhan inilah menjadi tempat konser ini karena di tempat inilah berbicara tentang kebhinekaan itu dimulai, dari keterbukaan pelabuhan yang waktu itu menerima pedagang-pedagang dari India, Arab, Eropa, Cina. Sejak saat itu, Cirebon menjadi Indonesia mini, yang dalam pertumbuhannya memang bertumbuh dengan baik.

Namun, akhir-akhir ini generasi sudah melupakan makna atau filosofi kebhinekaan itu. Itulah sebabnya kami, bersama Majelis Seni dan Tradisi (MeSTi) Cirebon, melakukan konser ini sebagai sarana untuk memberikan narasa-narasi positif di tengah narasi-narasi negatif yang bertebaran lewat dunia maya. Dengan konser ini kita mencoba mengkaunter narasi-narasi negatif itu.

Mengapa semua pelaksana dan peserta didik Persekolahan Santa Maria Cirebon dilibatkan?

Secara khusus, pada tahun ajaran ini (2019-2020) persekolahan di bawah Yayasan Santo Dominikus  merayakan Tahun Pewarta untuk menerjemahkan contemplata et contemplare aliis tradere (membagikan buah-buah kontemplasi kepada sesama). Tahun Pewarta mengajak kita keluar dari zona. Untuk apa kita hanya mewartakan di kelas-kelas. Kita harus mewartakan di kota ini, dan saya ingin mengatakan kepada dunia bahwa generasi muda, anak-anak Santa Maria bisa menjadi inspirator perdamaian.

Konser ini mengangkat Ikrar Anak Nusantara. Mengapa ini dimasukkan dalam seni panggung ini?

Ya, saya ingin Ikrar Anak Nusantara ini menjadi ikrar seluruh anak Nusantara untuk kembali kepada jati diri bangsa. Saya tidak ingin, mulai dari anak-anak sekolah ini, dan dari 1300 murid saya, satu siswa pun menjadi penonton. Filosopinya, agar nanti di masyarakat dia tidak menjadi penonton.

Maka, yang ikut Konser Kebhinekaan Suluh Nusantara ini bukan hanya anak-anak SMA sampai TK, tapi juga play group bahkan day care yang masih berusia satu tahun. Semua harus ikut. Untuk apa? Narasi ini harus dimulai dari hulu, atau dengan istilah Presiden Jokowi, dari dalam kandungan, agar nanti dia terus bertumbuh menjadi inspirator perdamaian, bukan nanti tetapi dari dini. Tegasnya, saya ingin semua anak Santa Maria menjadi pelaku. Dan, ikrar itu bukan nanti, tetapi hari ini, saat ini, menit ini, agar dunia tahu bukan hanya untuk Cirebon.

Konser kebhinekaan yang kolosal dan megah ini sudah berakhir. Apa yang suster rasakan?

Sekarang rasanya seperti saya sudah melahirkan, seperti sudah selesai mengandung sembilan bulan. Padahal, ide itu baru ada bulan Juni 2019 saat Cirebon dibombardir dengan berita-berita jelek dan hoaks, saat kita dihantam oleh narasi-narasi negatif bahwa hidup di Indonesia itu miris. Saat itu, sebagai guru atau pendidik saya bertanya apa yang harus saya lakukan dalam kaitan dengan Tahun Pewarta, apa yang harus kita buat untuk menginspirasi hidup bermasyarakat?

Konser Kebhinekaan Suluh Nusantara adalah sebuah proses. Konsernya hanya satu jam, tetapi proses yang panjang dengan melibatkan banyak orang, itulah suluh yang mulai kita nyalakan.

Sangat jelas konser ini berlangsung dengan kekuatan kebersamaan, kerja sama yang baik dengan umat Muslim dan lain-lain! Kekuatan apa yang suster pakai?

Kontemplasi! Dan saya bahagia ketika mereka juga menggunakan bahasa-bahasa kita, ‘bahasa-bahasa kasih, bahasa-bahasa dan narasi positif. Seni kita pakai karena seni bersifat universal, seni itu keindahan dalam jiwa yang bisa dimiliki oleh siapa saja, tidak dibatasi oleh suku dan agama. Maka, saya pun bersyukur didukung bukan hanya oleh NU tetapi juga Muhammadiyah bahkan buku tentang konser yang dibagikan kepada seluruh penonton ini dicetak oleh Universitas Muhammadiyah.

Saya juga senang karena para pejabat sangat mendukung bahkan Walikota, Wakil Walikota, Ketua DPRD Kota Cimahi, Ketua DPRD Kabupaten Cimahi menghadiri konser ini. Bahkan, dua rapat koordinasi untuk konser ini dipimpin langsung oleh walikota. Semua dinas pemerintahan, serta Polisi dan TNI serta beberapa kepala dinas antara lain Dinas Damkar, Dinas Komunikasi, Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata dan Dinas Lingkungan Hidup hadir.

Apakah persiapan konser ini tak mengganggu jam pelajaran peserta didik?

Konser ini adalah bagian dari pengembangan kurikulum. Kurikulum hanyalah apa yang digariskan, tapi itu harus dikembangkan ke ranah pengalaman untuk menjadi kisah-kisah hidup. Kurikulum hanya rancangan bahkan rancangan minimal. Kalau hanya mengikuti kurikulum, seorang anak saat keluar tidak bisa apa-apa, tidak bisa hidup, apalagi hidup sosial. Jadi, tidak ada rumus bahwa dengan konser ini jam pelajaran anak-anak terganggu. Kepala Dinas Pendidikan justru melihat ini sebagai pengembangan kurikulum.

Sebagai anggota Dominikan, bagaimana suster melihat yang suster hasilkan ini?

Ini adalah bagian dari membagikan buah kontemplasi. Nampak jelas di akhir pertunjukan ini, seperti yang  saya minta berulang kali agar ada sukacita, karena sukacita mengatasi semuanya dan terjadilah pengampunan, cinta kasih, kebersamaan, dan kebhinekaan. Semua orang bisa menikmati warna sukacita itu, sebuah perayaan bersama bukan lagi Santa Maria tapi kita semua tanpa memandang latar belakang agama.***

Artikel Terkait:

Pimpinan Produksi Konser Kebhinekaan: Kami salut dan sambut ide suster Katolik

1865 pemain Konser Kebhinekaan Suluh Nusantara berjanji jadi inspirator kedamaian

Konser Kehinekaan Suluh Nuantara 1

Sutradara Didi Kampleng dan Penulis Naskah Suster Albertine OP mengapit Wakil Walikota Cirebon Eti Herawati (Foto dari FB Suster Albertine)
Sutradara Didi Kampleng dan Penulis Naskah Suster Albertine OP mengapit Wakil Walikota Cirebon Eti Herawati (Foto dari FB Suster Albertine)
PEN@ Katolik/pcp
PEN@ Katolik/pcp

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini