Tuhan membimbing umat-Nya, menghibur mereka tetapi juga mengoreksi mereka dan menghukum mereka dengan kelembutan seorang ayah, seorang gembala yang “membawa anak-anak domba di pangkuan-Nya dan menuntun induk-induk domba dengan hati-hati.” Itulah inti homili Paus dalam Misa di kapel Casa Santa Marta di Vatikan, 10 Desember 2019, saat merenungkan Perumpamaan tentang Domba yang Hilang (Mat. 18:12-14).
Bacaan pertama dari Kitab Yesaya (Yes. 40:1-11) berbicara tentang penghiburan Allah bagi umat-Nya Israel sebagai “pernyataan harapan.” “Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku,” kata nabi itu menggemakan kata-kata Allah yang mengatakan perhambaan Yerusalem sudah berakhir dan kesalahannya telah diampuni.
Tuhan selalu menghibur kita, kata Paus, asalkan kita membiarkan diri kita dihibur. Dan Allah mengoreksi dengan penghiburan, merujuk kutipan dari Yesaya, yang berbicara tentang Tuhan sebagai Gembala Yang Baik, yang mengumpulkan kawanan domba dengan tangannya, membawa anak-anak domba “di pangkuan-Nya” dan menuntun induk-induk domba dengan hati-hati.
Tentang kata-kata “di pangkuan-Nya,” Paus mengatakan itu ungkapan kelembutan, itulah cara Tuhan menghukum, mengoreksi dan menghibur kita. “Bisakah Anda bayangkan, berada di pangkuan Tuhan, setelah berdosa?”
Tuhan, kata Paus, menghukum dengan kelembutan dan belaian. Sikap yang tidak didaktik atau tidak diplomatis ini adalah sukacita yang datang dari dalam-Nya ketika seorang berdosa mendekati-Nya. “Adalah sukacita yang membuat Dia lembut,” kata Paus.
Berbicara tentang kelembutan Allah, Paus mengingat Perumpamaan tentang Anak yang Hilang, yang ayahnya merindukan kedatangannya kembali. Dan ketika dia pulang, sang ayah memotong ucapan pertobatan putranya dan mulai merayakannya.
Dalam Injil itu juga, gembala yang kembali dengan domba yang hilang bersukacita terhadap domba yang ditemukan itu lebih dari 99 domba yang tidak hilang. Ini, kata Bapa Suci, adalah sukacita Tuhan ketika kita orang berdosa mendekati Dia dan membiarkan diri kita diampuni. Itulah sukacita yang berubah menjadi kelembutan dan menghibur kita.
Berkali-kali, kata Paus, kita mengeluh tentang kesulitan saat iblis ingin kita jatuh ke dalam roh kesedihan, sakit hati oleh kehidupan atau dosa-dosa kita. Paus mencatat, seringkali kita mengeluh dan berpikir dosa dan keterbatasan kita tidak dapat diampuni. Di saat itulah kita mendengar suara Tuhan, “Aku menghiburmu, aku di dekatmu,” yang membanjiri kita dengan kelembutan. Pencipta surga dan bumi, pahlawan Tuhan, katakanlah begitu, saudara kita, yang membiarkan diri-Nya dibawa ke salib untuk mati bagi kita, kata Paus, mampu membelai kita dan berkata, “Jangan menangis.”
Paus ingin tahu, dengan kelembutan apa Tuhan membelai Janda Nain saat meminta dia untuk tidak menangis ketika berada di depan peti mati putranya. Penghiburan Tuhan ini, katanya, adalah rahmat pengampunan.
Kalau seorang berdosa dan membuat kesalahan, kata Paus, dia harus biarkan diri dihibur Tuhan. Mintalah pengampunan, beranilah, bukalah pintu bagi-Nya untuk membelaimu dengan kelembutan seorang ayah dan saudara. “Seperti gembala Dia memberi makan kawanan domba-Nya, di tangan-Nya Dia mengumpulkan anak-anak domba, membawa mereka ke pangkuan-Nya, menuntun induk-induk domba dengan hati-hati, demikianlah Tuhan menghibur kita,” kata Paus.(PEN@ Katolik/paul c pati berdasarkan Vatican News)