“Saya punya pidato untuk dibaca … tidak terlalu panjang, hanya tujuh halaman … tapi saya yakin, setelah halaman pertama mayoritas akan tidur, dan saya tidak akan bisa berkomunikasi. Saya percaya yang ingin saya katakan dalam pidato ini akan dipahami dengan baik dalam membaca, dalam refleksi. Maka, saya memberikan pidato ini kepada Dr Ruffini, … agar kalian semua bisa tahu. Dan saya boleh berbicara sedikit spontan dengan kalian, untuk mengatakan apa yang ada dalam hati saya tentang komunikasi. Setidaknya saya pikir tidak banyak yang akan tertidur, dan kita bisa berkomunikasi lebih baik!”
Demikian kata-kata pertama Paus Fransiskus saat bertemu para anggota Dikasteri Vatikan untuk Komunikasi, 23 September 2019, di Vatikan, pada kesempatan Sidang Umum mereka. Paus berbicara dengan dikasteri yang bertugas mengkomunikasikan Paus dan pesan Paus ke seluruh dunia itu tentang bagaimana seharusnya komunikasi itu.
Menurut Vatican News, Paus Fransiskus dikenal sebagai komunikator yang hebat, dan pagi hari itu Paus memberikan contoh keterampilan-keterampilan komunikasi yang bahkan mengejutkan orang-orang yang pekerjaannya mengkomunikasikan Paus serta pesan Paus ke seluruh dunia.
Paus mulai dengan bercanda bahwa “pidato tujuh halaman” (yang sebenarnya hanya tiga halaman) yang dia siapkan berisiko membuat pendengarnya tidur. Itulah sebabnya Paus lebih suka berbicara secara informal tentang komunikasi, tentang apa yang “ada dalam hatinya.”
Paus mengingatkan para anggota dikasteri itu agar komunikasi dimulai dengan sikap Allah yang mengkomunikasikan diri-Nya sendiri kepada kita. Dengan cara yang sama, para komunikator sejati memberikan diri mereka sendiri dengan “menempatkan semua seterika di atas api,” dan tidak ragu-ragu.
Paus menekankan perlunya mengkomunikasikan “semua yang benar, adil, baik, dan indah”. Ini harus dilakukan, kata Paus, dengan menggunakan “pikiran dan hati, kepala dan tangan, segalanya.” Dalam cintalah kita melihat komunikasi yang lengkap, lanjut Paus.
Paus minta kita tidak terlibat dalam gaya komunikasi “komersial” yang bertujuan mengajak orang masuk agama kita, atau secara paksa meminta orang pindah agama. Paus mengutip Paus emeritus Benediktus XVI yang pernah berkata, “Gereja tidak tumbuh karena penyebaran agama, tetapi melalui kesaksian.”
Mengkomunikasikan Kebenaran, berarti memberi kesaksian tentang kehidupan kalian sendiri, kata Paus. “Menjadi orang Kristen berarti menjadi saksi-saksi, menjadi martir.” Paus mengenang kata-kata Santo Fransiskus dari Asisi, yang mengatakan: “Mewartakan Injil setiap saat. Dan bila perlu, gunakan kata-kata.” Saksi, kata Paus, harus datang pertama. Kita adalah Gereja para martir, lanjut Paus.
Paus juga memperingatkan tentang godaan “pengunduran diri.” Pengunduran diri, kata Paus, tidak mencerminkan cinta akan Tuhan. Itu ada di dunia kafir, dan Yesus sendiri memperingatkan para murid-Nya terhadap bahaya “keduniawian”. Jangan takut “Gereja segelintir orang,” kata Paus, asalkan kita seperti “garam, seperti ragi.”
Paus Fransiskus menyerukan komunikasi yang menggunakan “kata benda bukan kata sifat.” Kata benda mengidentifikasi orang dan benda. Daripada menggunakan kata sifat yang menggambarkan seseorang “ini atau itu,” kata benda mengkomunikasikan “realitas orang,” kata Paus, dan inilah yang diminta dilakukan oleh para komunikator Kristen.
Paus menyarankan gaya komunikasi yang “keras tapi indah.” Bukan jenis kecantikan “Rococo,” tetapi kecantikan yang mengekspresikan dirinya “melalui kata benda,” melalui “kesaksian,” dengan melibatkan diri sendiri dalam komunikasi.
Paus mengakhiri pidatonya dengan mengatakan bahwa komunikator harus mempelajari bahasa para martir dan para Rasul dengan membaca kembali Kisah Para Rasul dan tulisan-tulisan umat Kristen perdana. “Komunikasikanlah sukacita Injil,” kata Paus, karena “itulah yang Tuhan minta kalian lakukan.”
Kemudian Paus berdiri dan secara pribadi menyalami setiap anggota Dikasteri untuk Komunikasi yang hadir dalam audiensi itu, 500 orang. (PEN@ Katolik/paul c pati berdasarkan Vatican News dan Kantor Pers Vatikan)