(Renungan berdasarkan Bacaan Injil Minggu ke-20 dalam Masa Biasa [C], 25 Agustus 2019: Lukas 13: 22-30)
Keselamatan adalah salah satu topik diskusi yang membakar. Dalam beberapa diskusi yang saya fasilitasi, saya sering menemui beberapa peserta yang bertanya: Siapa yang akan diselamatkan? Dengan cara apa kita akan diselamatkan? Kapan akan diselamatkan? Apakah kita perlu percaya kepada Yesus untuk diselamatkan? Jawabannya bisa sesederhana ya atau tidak, tetapi seringkali, peserta dengan pikiran kritis menuntut jawaban yang lebih komprehensif dan masuk akal. Namun, saya selalu membawa pendengar untuk melihat keselamatan dari sudut yang berbeda dan lebih dalam.
Saya bertanya kepada mereka: apakah keselamatan itu sebenarnya? Sebagian besar orang akan segera menjawab: Kita diselamatkan dari dosa, dari neraka. Jawabannya benar, namun tidak lengkap dan pada kenyataannya, dangkal. Analogi yang baik adalah orang Israel di Mesir. Mereka dibebaskan dari perbudakan, namun kebebasan mereka bukan hanya demi kebebasan. Mereka dibebaskan sehingga mereka dapat menyembah Tuhan mereka tanpa rasa takut. Seperti orang Israel, kita juga diselamatkan dari dosa, tetapi kebebasan dari perbudakan dosa ini adalah untuk sesuatu yang lebih besar. Kita dipanggil untuk berbagi kehidupan ilahi-Nya, untuk bersama-Nya dan menikmati keberadaan-Nya. Inilah yang kita maksud sebagai kudus. Kita kudus ketika kita dipersatukan dan berpartisipasi dalam Pribadi yang merupakan sumber dari semua kekudusan. Inilah kebahagian sejati, inilah surga: merengkuh Tuhan.
Namun, Yesus mengingatkan kita hari ini bahwa jalan menuju keselamatan dan kekudusan bukanlah cara yang mudah dan instan. Sementara iman adalah awal dari keselamatan kita, tetapi ini bukanlah akhir. Yesus sendiri berkata, “Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sempit… (Luk. 13:24)” Kata “berjuang” dalam bahasa Yunani asli adalah “agonizomai” yang secara harfiah berarti ikut serta dalam pertandingan atau perlombaan olah raga. Gambarannya adalah seorang atlet yang menekuni pelatihan dan disiplin yang ketat, dan bersaing dengan para pesaing terbaik di bidangnya. Itulah sebabnya untuk merengkuh medali adalah proses yang menyakitkan. Santo Paulus mengambil gagasan Yesus ini ketika ia mendorong Gereja di Korintus untuk “… Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya! Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota abadi. (1 Kor. 9:25)”
Salah satu atlet Olimpiade paling terkenal adalah perenang Amerika Michael Phelps. Dalam fase pelatihan, Phelps berenang sekitar 80.000 meter seminggu. Dia berlatih dua kali sehari, setidaknya. Phelps melatih sekitar lima hingga enam jam sehari pada enam hari seminggu. Tidak hanya di kolam renang, ia membangun tubuh kemenangannya melalui latihan angkat berat dan diet yang gila. Tetapi kita sering tidak tahu bahwa Michael menderita Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Orang dengan ADHD memiliki masalah dengan fokus, gelisah dan impulsif, namun Phelps mampu mengatasi gangguan ini dan mengubahnya menjadi kekuatan. Dari orang yang mengalami kesulitan untuk fokus, dia mampu tetap fokus pada tujuannya. Dengan demikian, ia memenangkan 15 medali emas Olimpiade.
Keselamatan pada dasarnya adalah anugerah. Tidak ada yang dapat mengklaim bahwa ia memiliki hak untuk keselamatan ini. Namun, anugerah ini, meskipun cuma-cuma, tidak murahan. Kita berjuang setiap hari, seperti atlet yang bersaing untuk medali. Kita melakukan yang terbaik sehingga kita layak menerima hadiah ini. Kita setiap hari berperang melawan dosa dan musuh yang menjauhkan kita dari Tuhan. Kita berusaha sekuat tenaga agar anugerah di tangan kita menjadi benar-benar berkah bagi dan bukan kutukan. Jadi di akhir hidup kita, bersama dengan Santo Paulus, kita dapat berkata, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. (2 Tim. 4: 7)”
Pastor Valentinus Bayuhadi Ruseno OP