“Dengan haru kita serahkan hidup kita yang tanpa arti. S’moga Tuhan nanti berkenan mewarnai hidup yang mati. Dalam Yesus kita berbakti, hidup kita jadi berarti, tiada lagi warna yang suram, jiwa raga cerah bersinar. Lagu syukur kita haturkan, dengan khidmat hati berbakti. S’moga Tuhan nanti berkenan memberikan hidup abadi.”
Lagu dan syair dalam Madah Bakti Nomor 230 itu adalah gubahan Paul Widyawan, yang lahir di Yogyakarta, 18 Januari 1945, dan wafat di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, 10 Agustus 2019, dan dimakamkan di Makam Utaralaya Yogyakarta, 11 Agustus 2019, setelah disemayamkan Kapel Pusat Kateketik (Puskat) tempat berlangsungnya Misa Requiem dan Misa Pemberangkatan Jenazah.
Dengan kematiannya, dia tidak bisa menyelenggarakan atau menyaksikan pentas Paduan Suara Vocalista Divina yang didirikan Kursus Organ dan Vocal yang diasuh oleh Paul Widyawan tahun 1983, yang rencananya akan ditampilkan 18 Desember 2019.
Pusat Musik Liturgi (PML) di Yogyakarta menulis bahwa “Hidupnya adalah musik.” Paul Widyawan, yang meninggal pada usia 74 tahun itu adalah putra ketiga dari Tarsisius Samsi dan Lamberta Rusdiati, sebenarnya menjadi imam, namun mantan seminaris Mertoyudan menyelesaikan SMA tahun 1965 di SMA di De Britto sebagai siswa terbaik se-DIY.
Namun sebelum tamat SMA, tepatnya tahun 1964, Paul Widyawan sudah mendirikan Vocalista Sonora yang lima kali melakukan tour kesenian di Eropa, “lengkap dengan lima Sendranyanyi ciptaannya sebagai pengolahan inkulturatif dari kisah-kisah Kitab Suci dalam situasi masyarakat dan Gereja Indonesia zaman sekarang,” tulis PML.
Bahkan tiga tahun kemudian, 1967, lanjut PML, Paul Widyawan bersama Pastor Prier SJ “merencanakan perwujudan musik Gereja yang khas Indonesia sesuai pesan Konsili Vatikan II dan direalisir dalam Pusat Musik Liturgi yang didirikan tahun 1971.”
PML menulis bahwa lagu-lagu Gereja yang ada di Madah Bakti serta aransemen kor baik yang sakral maupun profan merupakan warisan yang akan berlangsung terus, dan “ratusan penyanyi yang pernah dilatih di Yogyakarta maupun seluruh Indonesia dipesonakan dengan penjiwaan lagu yang berpangkal dari syair yang diungkapkan dalam musik.”
Menurut catatan Jost Kokoh Prihatanto, “….Dalam buku Perjalanan Musik Gereja Katolik Indonesia Tahun 1957-2007, Pastor Prier menceritakan bahwa ide mendirikan PML bermula dari obrolan berkala dengan Paul Widyawan sejak tahun 1967, ketika Pastor Prier masih menjalani studi teologi di Yogyakarta….”
Penulis lagu, pemimpin paduan suara dan salah satu perintis inkulturasi khas “Madah Bhakti” dan “Vocalista Sonora” khas PML, itu memang mewariskan banyak karya nyata dan banyak melahirkan komposisi-komposisi lagu-lagu rohani inkulturasi yang kini menjadi tembang-tembang andalan dalam kidung-kidung pujian rohani dan liturgis dalam perayaan Ekaristi, Misa panggilan, Misa inkulturasi (antara lain Jawa, Sunda, Mandarin, Sumatera, Sulawesi) dan Misa perkawinan.
Paul Widyawan sendiri jelas sangat terpengaruh oleh ekspresi tradisional Indonesia. Ia adalah salah satu penulis lagu penting dalam sejarah Gereja Indonesia, yang semarak digerakkan oleh semangat inkulturasi. (PEN@ Katolik/paul c pati)