Prosesi dengan goyang adat disertai suara khas warga Biamoma dari suku Mee di Papua berjalan di pinggiran Danau Paniai menuju Paroki Wedauma di kaki Gunung Wou. Di sana, umat paroki menerima tamu remaja Katolik dari tujuh paroki se-Dekenat Paniai.
Sebanyak 500 remaja Katolik dari Paroki Epouto, Madi, Enaro, Komopa, Yagai, Obano, Dauwagu, dan Wedauma melaksanakan “Temu Remaja Katolik Dekenat Paniai” dengan tema “Remaja Misioner Pancarkan Sinarmu” dan sub tema “Dengan Semangat ‘Laudato Si’ Remaja Katolik Siap Diutus Menjadi Penjaga dan Penata Taman Gereja” di Paroki Wedauma, 28-31Juli 2019.
Perayaan Ekaristi, dengan dekorasi, lagu dan pakaian khas budaya Papua, yang dipimpin Pastor Sebas Maipai Pr, yang begitu dekat dengan alam, mengawali dan mengakhiri kegiatan itu. Pastor asal Adonara, NTT, yang fasih berbahasa daerah suku Mee itu mengatakan, “jangan mempersiapkan segala sesuatu dengan matang sesuai konsep dan aktual kita. Kita harus selalu mengandalkan Roh Kudus, karena Roh Kuduslah yang menerangi dan melengkapi segala kekurangan di segala tempat dan suasana.”
Peserta bangun pukul 05.00 pagi kemudian berdoa, olah raga mengangkat lumpur di tengah suhu yang dingin dan mendengar masukan yang dipersiapkan dengan metode drama, puisi, lagu-lagu, ceramah, tanya jawab, diskusi kelompok, berbagi pengalaman, pembakaran api unggun, aksi penghijauan menanam pohon dan bibit bunga.
Selain Pastor Maipai, dalam temu remaja itu, peserta mendengar masukan dari Pastor Ibrani Kwijangge Pr, Frater Sebastianus T Liwu Pr, Suster Yustin Keiya SRM, Suster Elisio SMSJ, Margaratha Balubun dan Yulius Pekei, yang semuanya bertujuan mengajak para remaja misioner merasa memiliki, menjaga, merawat, serta menjadi pribadi yang diutus membawa terang bagi dunia yang semakin dikendalikan oleh orang yang kurang bersahabat dengan alam.
Pastor Maipai menyajikan materi bertema “Tungku Api Kehidupan dan Maknanya bagi Kehidupan Remaja Masa Kini.” Gerakan tungku api merupakan salah satu gerakan bersama yang dicetuskan dan dimotori Gereja Keuskupan Timika untuk melindungi dan mengolah hak-hak sumber hidup masyarakat lokal. Gerakan itu muncul akibat keprihatinan Gereja atas aneka permasalahan di Keuskupan Timika.
“Lebih baik tidak punya uang daripada tidak punya dusun, tanah, laut, dan alam,” adalah salah satu ungkapan keprihatinan yang mendorong segenap lapisan untuk melibatkan diri dalam gerakan melindungi dan mengolah sumber hak hidup keluarga dan masyarakat lokal.
Pastor tak berkasut itu mengajak para remaja misioner agar menyadari bahwa oada (pagar dari kayu untuk melindungi tanaman), emawa (rumah), tungku api kehidupan, dan Gereja adalah ani (saya, diri kita sendiri).”
“Jika kita menjual atau merusak alam ciptaan, kita menutup jalan, terang, dan kesempatan hidup sekarang dan nanti. Maka, kita harus membiarkan tungku api tetap bernyala supaya ada asap dalam rumah kita. Ada asap dalam keluarga, Gereja, masyarakat, tandanya masih ada kehidupan. Nyala tungku api sangat ditentukan oleh ketersediaan sumber daya alam yang diolah oleh keluarga. Jika keluarga tidak mencari dan mengolah sumber daya alam seperti sagu, ikan, keraka, petatas, pisang, dan umbi-umbian untuk kelangsungan hidup, dengan sendirinya tungku api akan padam,” kata imam itu.
Suster Elisio mengajak remaja misioner belajar dari kehidupan Santo Fransiskus Asisi yang meninggalkan kekayaan keluarga dan mengikuti Yesus yang kaya namun mengosongkan dirinya. “Seperti Yesus yang lahir dan mati dalam ketelanjangan, demikian juga Santo Fransiskus Asisi yang amat bersahabat dengan alam mengosongkan dirinya dan menemukan Tuhan dalam alam ciptaan Tuhan serta penderitaan manusia,” kata suster.
Margaretha mengajak peserta mempelajari kehidupan Santo Fransiskus Asisi dalam praksis hidup sekarang dengan menjalankan semangat 2D2K (Doa, Derma, Kurban, Kesaksian). “Semangat 2D2K merupakan semangat semua orang beriman. Kita semua dipanggil untuk melayani sesama dan sahabat kita alam.”
Karena pelayanan lebih mulia dalam hidup kita adalah pertama-tama melayani Tuhan yang hadir dalam sesama dan alam ciptaan-Nya, kata Frater Sebastianus, “Kita orang lemah dan sederhana dipanggil Tuhan untuk bersaksi, melayani Tuhan dalam sesama untuk membangkitkan semangat pertobatan ekologi.”
Pertobatan ekologi, lanjut frater yang menjalani Tahun Orientasi Pastoral itu, adalah membangkitkan kesadaran dalam diri kita yakni membaharui hati dan budi dari yang lama ke gaya berpikir kreatif, baru, positif dan menghidupkan.”
Sementara itu, Pastor Ibarani mengajak peserta menyadari bahwa “diri kita adalah rumah Tuhan. Tempat Allah mendiamkan diri-Nya. Kita harus menata dan menjaganya karena jika kita membiarkan dan menghancurkannya maka kita akan menjadi susah.”
Imam itu menegaskan, “jika kita menjual tanah, pohon, rumah, maka kita menjual dan membiarkan orang lain merusak mama kita sendiri, kita menjual kesempatan hidup kita, kita menjual Tuhan yang hadir dalam alam kita. Karena itu stop jual-jual tanah.”
Setelah belajar tentang ekologi serta cara-cara merawat ekosistem alam ciptaan Tuhan, yang diberikan oleh Yulius Pekei, peserta yang masing-masing datang membawa dua bibit pohon dan satu jenis bibit bunga, serta 3-5 bibit pohon dari setiap paroki, masuk dalam sesi menata taman Gereja.
Mereka membentuk lingkaran sambil memegang bibit-bibit pohon. Sebelum menanam, Pastor Maipai dan Pastor Ibrani berdoa dan memberkati setiap bibit pohon, selanjutnya bibit-bibit itu ditanami bersama-sama di halaman Gereja Paroki Wedauma sebagai ekspresi nyata remaja Katolik memancarkan sinarnya melindungi alam ciptaan atau ibu bumi. (PEN@ Katolik/Fr Bastian)