Tanggal 23 April 2019, umat Sri Lanka mulai menguburkan jenazah-jenazah akibat bom bunuh diri di hari Raya Paskah dan sekolah-sekolah Katolik ditutup hingga 29 April, dan di saat pemakaman massal akibat pengeboman yang menewaskan lebih dari 300 orang itu para uskup negara itu mendesak umat untuk tetap tenang, bertindak bijaksana, dan menahan diri.
Tanggal 23 April dinyatakan sebagai hari berkabung nasional dengan hening selama tiga menit di pagi hari sebagai penghargaan bagi para korban. Pemerintah Sri Lanka menyalahkan kelompok Islam lokal National Thowheed Jamath (NTJ) atas pengeboman bunuh diri yang melanda tiga gereja dan tiga hotel mewah yang penuh turis. Pada hari yang sama ISIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu melalui kantor berita Aamaq, tetapi mereka tidak memberikan bukti.
Dua gereja Katolik yang menjadi target adalah Gereja Santo Antonius di Kolombo dan Gereja Santo Sebastianus di Negombo. Ledakan lain di Gereja Evangelical Zion di kota pantai timur Batticaloa juga merenggut banyak nyawa.
Hingga hari yang sama, jumlah korban tewas meningkat menjadi 321 orang dan sekitar 500 orang terluka dalam kekerasan terburuk di negara pulau itu sejak perang saudara berakhir tahun 2009.
Konferensi Waligereja Sri Lanka (CBCSL) berharap pemerintah melakukan penyelidikan segera dan mendesak serta mendorong umatnya untuk tetap tenang. “Pastikan keamanan semua warga negara ini,” kata Ketua CBCSL Uskup Badulla Mgr Winston Fernando.
“Fakta bahwa serangan terhadap gereja-gereja ini terjadi saat umat sedang beribadah di hari raya Paskah yang teramat kudus, sesungguhnya merupakan tindakan kejam yang sangat menyedihkan,” kata uskup itu.
“Mengikuti teladan Yesus Kristus yang mengalami penderitaan yang tidak patut diterima-Nya dan memberikan diri-Nya untuk melayani umat manusia, kita juga harus siap memiliki hati yang berbelas kasih dan dengan penuh doa mencari solusi dengan cara manusiawi dan adil,” kata Uskup Fernando.
Uskup Agung Kolombo Kardinal Malcolm Ranjith prihatin karena pihak berwenang tidak segera bertindak setelah menerima informasi sebelumnya mengenai kemungkinan serangan teror. “Perkuat badan intelijen negara,” kata kardinal dalam konferensi pers 22 April. “Kami diberi tahu bahwa serangan Minggu Paskah bisa dihindari jika pemerintah bertindak berdasarkan informasi sebelumnya.”
Kardinal Ranjith juga mendesak warga negara untuk tidak menjalani hukum sendiri dan menahan diri dari menyakiti umat agama lain.
Ketua Gereja Metodis Sri Lanka Pendeta Asiri Perera mengatakan, serangan itu bisa dihindari jika pemerintah lebih serius menerapkan hukum. Aliansi Evangelikal Kristen Nasional Sri Lanka meminta umat Kristen tetap tenang dan menahan diri agar tidak disesatkan oleh desas-desus selama masa krisis ini. Mereka juga mendesak pemerintah dan pasukan keamanan untuk mengambil semua langkah yang diperlukan untuk membawa para pelaku ke pengadilan.
Semua sekolah yang dikelola Gereja Katolik di Sri Lanka ditutup hingga 29 April sebagai tindakan pencegahan. Lebih dari 70 persen penduduk Sri Lanka, yang berpenduduk lebih dari 20 juta, beragama Buddha, 12,6 persen Hindu, 9,7 persen Muslim, dan 7,6 persen Katolik dan Protestan. (PEN@ Katolik/pcp berdasarkan laporan Robin Gomes/Vatican News dengan sumber UCANews)