(Renungan berdasarkan Minggu Prapaskah II, 17 Maret 2019: Lukas 9: 28-36)
Suatu kali, saat saya mengajar kelas Alkitab, salah satu peserta bertanya kepada saya, “bagaimana Petrus dapat mengenali Musa adalah yang berdiri di samping Yesus saat Transfigurasi?” Itu adalah pertanyaan yang valid, namun saya pribadi tidak pernah memikirkan. Saya datang dengan beberapa kemungkinan jawaban. Mungkin, Musa muncul membawa dua loh batu Taurat. Mungkin, ketika Yesus berbicara dengan Musa dan Elia, Petrus dapat mengambil nama-nama itu. Mungkin, ilham ilahi menerangi pikiran Petrus tentang identitas Musa. Akhirnya, saya harus menjawab, “Ketika Anda pergi ke surga, jangan lupa untuk bertanya kepada Petrus dan Musa!”
Peristiwa transfigurasi adalah momen penting dalam kehidupan Yesus dan para murid-Nya. Dari sini, Yesus memulai kisah sengsara-Nya menuju Yerusalem dan salib. Transfigurasi terjadi untuk memperkuat iman para murid yang akan menyaksikan peristiwa mengerikan yang menimpa Guru mereka. Namun, perubahan rupa tidak hanya penting bagi Yesus dan para murid-Nya, tetapi juga bagi Musa. Kenapa?
Musa adalah salah satu tokoh terbesar dalam Perjanjian Lama. Kepadanya, nama pribadi Allah diwahyukan (Kel 3:16). Dia menantang Firaun yang agung. Dia memimpin orang-orang Ibrani dari perbudakan Mesir ke Tanah Perjanjian, bahkan melewati Laut Merah. Dia memediasi perjanjian antara Allah dan Israel di Gunung Sinai (Kel 20). Selama empat puluh tahun, dia dengan sabar membimbing dan mendidik Israel di padang gurun. Melalui tangannya, banyak mujizat terjadi. Namun, ada sesuatu yang terjadi di padang gurun. Di Meribah, Israel mengeluh dan meminta air. Musa diperintahkan oleh Tuhan untuk bersabda kepada batu untuk mengalir dengan air, tetapi alih-alih mengatakannya, Musa memukul tongkatnya dua kali. Air memang mengalir, tetapi hal ini tidak menyenangkan Tuhan. Tuhan kemudian berkata bahwa Musa tidak akan memasuki Tanah Perjanjian (Bil 20: 1-14). Memang, Musa akhirnya meninggal di Gunung Nebo, tepat sebelum menyeberangi sungai Yordan.
Itu adalah kisah yang memilukan. Setelah dengan setia mengikuti Tuhan, memimpin orang-orang dengan air mata dan cucuran keringat, dan menanggung banyak masalah yang diciptakan bangsa Israel, satu kesalahan tunggal membuatnya tidak dapat menginjak Tanah Perjanjian. Banyak ahli Alkitab Yahudi dan Kristen telah dibuat bingung oleh teks yang sulit ini. Memang, kita dapat terus mempertanyakan Tuhan untuk perlakuan tidak adil-Nya. Untungnya, ceritanya tidak berakhir di sana. Musa akan memasuki Tanah Perjanjian, tetapi dia harus menunggu seseorang: Yesus dan transfigurasi-Nya. Sungguh, Musa tidak hanya memasuki Tanah Perjanjian, tetapi ia juga sekali lagi menyaksikan Tuhan yang menampakkan diri kepadanya di semak yang terbakar [Kel 3:2].
Membaca kehidupan Musa tanpa transfigurasi, kita melihat sosok Allah yang adil namun tidak berperasaan, yang menilai Musa tidak layak memasuki Tanah Perjanjian karena kesalahan kecil. Namun, dengan transfigurasi, Tuhan memberi akhir yang indah bagi Musa. Seperti Musa, kita kadang berhadapan dengan beberapa peristiwa dalam hidup kita, yang berada di luar pemahaman kita, dan tidak sesuai dengan sosok Allah yang penuh kasih. Namun, kadang, Allah membiarkan kita menjadi bingung, agar kita dapat melihat betapa menakjubkan Allah akan membawa kita dalam akhir bahagia di hidup kita.
Apakah momen dalam hidup kita yang sulit dipahami? Adakah peristiwa hidup dimana kita merasa Allah sepertinya tidak peduli? Apakah kita mampu seperti Musa untuk menunggu dengan sabar akan kasih Tuhan yang akan datang pada waktu-Nya yang indah?
Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno OP