Tanggal 26 Desember, saya berbincang dengan seorang teman lama. Dalam percakapan akrab itu, ia mengajukan dua pertanyaan menarik. “Mengapa orang lebih mengucapkan ‘Merry Christmas’ bukan ‘happy Christmas’?” Lalu, “Bagaimana orang Kristen harus menyapa sesama saudara non-Kristen di saat Natal?”
Kita harus mengakui, para ahli sejarah dan ahli bahasa tidak dapat menunjuk secara pasti mengapa banyak orang cenderung menggunakan ucapan “Merry Christmas”. Namun, beberapa catatan mengatakan bahwa penggunaan “Merry Christmas” sudah ada sejak tahun 1534 di London, Inggris.
Dalam surat Uskup John Fisher melalui Thomas Cramwell yang ditujukan kepada Raja Henry VII, sang Uskup menggunakan kata “merry” Christmas. Para ahli juga mencatat kata “merry” Christmas digunakan abad ke-16 dalam lagu Natal, “We wish you a ‘Merry’ Christmas.”
Ucapan “Merry Christmas” mulai digunakan secara umum tahun 1834 bersamaan dengan publikasi buku berjudul “A Christmas Carol” karangan Charles Dickens. Sejak tahun itu pula, untuk pertama kalinya dalam sejarah mulai dijual kartu natal.
Mengapa harus menggunakan kata “merry” dan bukan “happy” Christmas?
Secara linguistik (ilmu tata bahasa), kata “merry (adjektiva atau kata sifat) berarti suasana penuh kebahagiaan, kebahagiaan diri sendiri dalam hubungan dengan orang lain. Kata ini lebih merupakan “perilaku” (behavior). Sedangkan kata “happy” berasal dari kata “hap” yang lebih lebih merupakan “perasaan” (emotion, feeling). Emosi biasanya yang berhubungan dengan kepribadian seseorang. Emosi kadang kala sangat tergantung pada situasi batin seseorang, bersifat temporer, tidak menentu, sangat situasional.
Natal adalah perayaan kegembiraan yang tidak bersifat emosional melainkan eksistensial, artinya menyangkut seluruh keberadaan manusia. Umat bergembira bukan saja karena perasaan semata melainkan karena seluruh keberadaan dirinya, bahkan seluruh alam raya.
Ketika kita mengatakan “Merry Christmas” kita mengungkapkan bahwa sukacita dan kegembiraan Natal tidak dapat diberikan oleh ciptaan mana pun. Kegembiraan Natal adalah kegembiraan dan sukacita surga dan bumi. Karena, Tuhanlah yang mengambil inisiatif pertama dan utama untuk mendatangi kita, dan bukan kita yang datang kepada-Nya.
Walaupun demikian, ungkapan “Merry Christmas” tidak juga secara universal digunakan dalam ucapan Natal. Misalnya, di Inggris, setiap tahun Ratu Elizabeth lebih menggunakan ucapkan “Happy Christmas” ketika menyapa warganya melalui siaran radio. Ada rumor yang mengatakan bahwa sang Ratu lebih senang menggunakan “Happy” Christmas karena baginya kata “Merry” Christmas bisa berarti kegembiraan dan sukacita berlebihan. Bahkan menurut sumber awal, para pemimpin awal Gereja Inggris lebih suka menggunakan istilah “Happy” yang lebih merujuk pada sekedar emosi dari pada “Merry” Christmas.
Dalam arti ini, “Happy Christmas” agak sedikit konservatif. Kata ini lebih digunakan oleh orang-orang kelas atas kerajaan (https://wonderopolis.org/wond…/why-do-we-say-merry-christmas). Sedangkan ungkapan “Merry Christmas” yang lebih modern dan popular. Kata ini digunakan secara individual selama abad ke-18 dan abad ke-19. Istilah ini lebih digunakan oleh kalangan kelas warga masyarakat, dan menyebar luas melalui berbagai macam lagu dan ceritera, sebagai akibat dari novel Charles Dickens yang telah disebut di atas (https://www.countryliving.com/life/a37128/origin-of-merry-christmas/).
Kita lebih menggunakan “Merry Christmas” sebab melalui ungkapan ini kita menyatakan harapan bahwa Kristus yang kita terima saat Natal akan memberikan kegembiraan yang tidak sekedar emosional melainkan penuh pada kedatangan-Nya yang terakhir (parousia). Uskup Honolulu Mgr Larry Silva dalam tulisannya “Happy Holiday vc Merry Christmas” mengungkapkan bahwa kita lebih memilih “Merry Christmas” daripada “Happy Christmas” karena ungkapan itu lebih menyatakan kebenaran yang kita rayakan.
Beliau mengingatkan bahwa ungkapan “Merry Christmas” hanya akan berdaya kuasa apabila kita menghidupi realitas kebenaran bahwa “Sabda telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita.” Kebenaran ini jauh lebih penting daripada sekedar kata-kata ungkapan yang kita perdebatkan. (https://www.catholicnewsagency.com/ resources/advent/bishops-previous-advent-teachings/happy-holidays-vs-merry-christmas).
Lalu bagaimana dengan mereka yang bukan kristen? Apakah kita harus mengungkapkan “Merry Christmas” kepada mereka juga? Mgr Larry Silva mengatakan, kita harus membawa kebenaran itu untuk semua orang, termasuk yang tidak mengimani Natal. Kita harus terus menyentuh lubuk hati mereka dengan tindakan kebenaran dan belas kasih yang diamanatkan Yesus, Sang Kebenaran.(https://www.catholicnewsagency.com/resources/advent/bishops-previous-advent-teachings/happy-holidays-vs-merry-christmas).
Dalam dunia pluralis dewasa ini, di mana setiap agama berlomba dalam konsep tentang yang baik, kita harus terus menjadi pewarta kegembiraan, keselamatan, persekutuan, kerjasama, toleransi, dan bekerjasama demi perdamaian dan kesejahteraan umum tanpa diskriminasi. Dalam situasi sedemikian, kita harus mampu menghargai situasi dan keyakinan umat lain yang tidak mengimani Natal.
Maureen Fiedler dari National Catholic Reporter mengungkapkan, dalam pengalamannya, ia lebih memilih untuk mengatakan “Merry Christmas” kepada sesama orang Kristen. Namun, dalam perjumpaan dengan sesama non-Kristen, ia lebih memilih mengatakan “Happy Holiday” sehingga orang yang tidak merakan Natal juga dihormati dan merasa diikutkan dalam situasi kita (https://www.ncronline.org/…/merry-christmas-vs-happy-holida…).
Singkatnya, dalam situasi pluralitas hidup berbangsa dan negara, dan demi menjamin tetap berlangsungnya toleransi, sapaan kita juga harus bisa disesuaikan dengan keadaan di mana kita berada dan hidup. Kita mengatakan “Merry Christmas” kepada sesama orang Kristen. Tetapi bagi orang lain yang tidak seiman kita bisa mengatakan “Happy Holiday”.
Manila, 26 Desember 2018
Pastor Constan Fatlolon