Kita ingin menjadi Gereja dengan “pintu-pintu terbuka” (EG,49) seperti kerinduan Paus Fransiskus, yaitu persekutuan umat yang merangkul orang miskin dan menderita dalam dekapan cinta kerahiman Allah. Persis ini pulalah yang menjadi arti mendasar perayaan Natal. Allah menjadi manusia, untuk mengisi ruang-ruang kosong dan dingin kehidupan kita dengan kehangatan cinta ilahi. Dengan itu kita juga didorong untuk semakin menjadi manusiawi, dan melayani yang lain sebagai saudara dan saudari.
Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng Mgr Silvester San mengatakan itu dalam Surat Gembala Natal 2018 kepada para imam, biarawan dan biarawati, serta umat Allah Keuskupan Ruteng. Surat itu ditandatangani uskup itu di Ruteng, 5 Desember 2018.
Dikatakan, melalui berbagai kegiatan diakonia, umat Allah Keuskupan Ruteng akan semakin menjadi “garam dan terang dunia” (Mat 5:13-14), dan “apa yang indah dan berharga dalam tahun persekutuan 2018 ingin kita lanjutkan pada tahun 2019 dengan memusatkan pastoral keuskupan kita pada bidang pelayanan (diakonia).”
Melalui fokus itu, lanjut Mgr San, “kita ingin semakin menjadi Gereja yang menuruti teladan Yesus, sang guru, yang datang ‘bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani’ (Mrk 10:45). Dia juga meminta kita untuk saling melayani, ‘membasuh kaki’ satu sama lain (Yoh 13:14).”
Namun secara khusus, lanjut Uskup Denpasar itu, “diakonia kita terarah kepada orang-orang miskin, sakit, difabel dan menderita, karena merekalah yang disapa oleh Yesus dalam perutusan Mesias-Nya: ‘Aku datang untuk mewartakan kabar baik bagi kaum miskin, dan pembebasan bagi yang tertindas’ (Luk 4:18-19).”
Dijelaskan, peningkatan martabat orang miskin dan menderita tidak hanya melalui bantuan karitatif material dan non material, karena “diakonia Gereja mesti berciri transformatif, artinya memberdayakan orang yang tidak mampu untuk semakin mandiri.”
Karena itu dalam tahun pelayanan 2019, Keuskupan Ruteng “ingin menggalakkan berbagai kegiatan pencerahan dan pelatihan di bidang pertanian organik sayur mayur dan buah-buahan, budidaya ikan dan ternak, kerajinan tangan dan tenun ikat.” Karena kemandirian ekonomi membutuhkan modal memadai, jelas uskup, “kita perlu terus mengembangkan koperasi jalur paroki atau mendorong umat untuk menjadi anggota koperasi yang transparan dan akuntabel.”
Surat gembala itu juga mengangkat Pesan Sidang Sinodal KWI 2018: Panggilan Gereja Melindungi HAM. “Pesan Natal bersama 2018 para uskup KWI dan gembala Gereja Protestan PGI, mengajak kita untuk menyadari dan memperjuangkan HAM: “Perayaan kelahiran Yesus, Sang Juruselamat, menjadi saat dan kesempatan untuk memahami hakikat HAM secara baik dan benar, menyadari luhurnya martabat manusia dan pentingnya gerakan menghormati HAM,” tulis uskup.
Salah satu HAM mendasar, lanjut surat gembala itu, adalah kebebasan untuk menyatakan pendapat, dan menentukan pilihan politik dengan “jujur, bebas dan bermartabat.” Hal itu, tegas Mgr San, “menjadi sangat penting dan aktual bagi kita dalam momentum pemilihan Presiden (PilPres) dan pemilihan legislatif (Pileg) tahun depan, 2019.”
Untuk itu, Mgr San mengajak seluruh umat Katolik Keuskupan Ruteng agar terlibat aktif memilih pemimpin negara yang “berwawasan kebangsaan”, “berlaku adil dan toleran terhadap semua kalangan”, telah berkurban melayani kesejahteraan masyarakat dan memperjuangkan HAM di bumi pertiwi ini.
“Pilihlah wakil-wakil rakyat dari partai-partai yang sungguh membela Pancasila dan memperjuangkan kedamaian dan toleransi dalam kehidupan bangsa yang majemuk. Janganlah menggadai hati nurani kita oleh segepok uang atau janji-janji manis yang palsu. Jangan pula memilih seseorang sekedar karena adanya ikatan keluarga dan kekerabatan, tetapi jatuhkan pilihan itu pada calon yang jujur, mampu dan berintegritas,” tulis uskup seraya menghimbau para imam, biarawan dan biarawati untuk tidak terlibat politik praktis, misalnya menjadi anggota tim sukses atau menggiring umat untuk memilih calon tertentu.
“Jangan pula membiarkan mimbar Gereja menjadi sarana untuk berpolitik. Meskipun demikian, para klerus perlu aktif memperjuangkan politik nilai. Klerus berkewajiban mencerahkan dan mendorong umat agar tidak terpecah apalagi berkonflik karena pilihan politik berbeda, menolak kampanye berbau SARA, melawan hoaks atau berita bohong, serta melakukan pilihan politik sesuai prinsip-prinsip nilai Kristiani,” kata Mgr San seraya meminta hierarki “memberikan siraman rohani dan kekuatan iman pada umatnya yang ingin membaktikan hidupnya untuk nusa dan bangsa.”(PEN@ Katolik/paul c pati)