Bersaksi, bersungut, bertanya. Itulah tiga kata yang ditekankan Paus Fransiskus dalam homili Misa pagi di Casa Santa Marta pada hari Kamis, 8 November 2018. Paus merenungkan Injil Luk 15: 1-19, yang dimulai dengan kesaksian Yesus: pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasa datang kepada-Nya dan mendengarkan Dia, dan Dia makan bersama mereka.
Maka, kata pertama, adalah “kesaksian” Yesus, yang, kata Paus, “adalah hal baru saat itu, karena datang kepada orang berdosa membuat kalian najis, seperti menyentuh penderita kusta.” Untuk alasan ini, para ahli Taurat menjauhkan mereka. Menurut Paus Fransiskus, memberi kesaksian tidak pernah “menjadi perkara gampang, baik bagi para saksi – yang sering membayar dengan kemartiran – atau bagi yang berkuasa.”
Memberi kesaksian adalah melanggar kebiasaan, cara berada … Melanggarnya demi sesuatu yang lebih baik, mengubahnya. Untuk alasan ini, Gereja maju melalui kesaksian. Apa yang menarik dari kesaksian itu [bagi orang-orang]. Bukan kata-kata, yang membantu; tetapi kesaksian itulah yang menarik, dan yang membuat Gereja tumbuh. Ini sesuatu yang baru, tetapi tidak sepenuhnya baru, karena belas kasihan Tuhan juga ada di Perjanjian Lama. Mereka, para ahli Taurat ini, tidak pernah mengerti arti kata-kata itu: “Aku menginginkan belas kasihan dan bukan pengorbanan.” Mereka telah membaca tentang belas kasihan, tetapi mereka tidak mengerti apa itu. Dan Yesus, dengan cara bertindak-Nya, mewartakan belas kasihan ini dengan kesaksian-Nya.
Kesaksian, Paus mengulangi, “selalu merusak kebiasaan,” dan juga ‘menempatkan kalian pada risiko.”
Kenyataannya, kata Paus Fransiskus, kesaksian Yesus menyebabkan orang-orang menggerutu. Orang-orang Farisi, ahli-ahli Taurat, para ahli hukum mengeluh tentang Dia, dengan berkata, “Dia menerima orang-orang berdosa, dan makan bersama mereka.” Mereka tidak berkata, “Lihat, nampaknya orang ini baik karena berusaha membuat orang-orang berdosa bertobat.” Ini, lanjut Paus, adalah sikap yang unsur utamanya selalu membuat komentar negatif “untuk menghancurkan orang yang memberi kesaksian.” Dosa mengeluh tentang orang lain ini, katanya, adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, dalam cara besar dan kecil. Dalam kehidupan kita sendiri, kita dapat menemukan diri kita bersungut-sungut “karena kita tidak menyukai sesuatu atau orang lain,” dan bukannya berdialog, atau “mencoba menyelesaikan situasi konflik, kita diam-diam mengeluh, selalu dengan suara rendah, karena tidak berani berbicara jelas.”
Dan begitulah yang terjadi, kata Paus, bahkan di lingkungan-lingkungan, “di paroki-paroki.” “Seberapa sering terjadi sungut-sungut di paroki-paroki?” tanya Paus, seraya menunjukkan bahwa kalau “Saya tidak suka pernyataan, atau ada orang yang saya tidak suka, bersungut-sungut langsung terjadi.”
Dan di keuskupan–keuskupan? Konflik-konflik ‘Infra-diocesan’ … Konflik-konflik internal dalam keuskupan. Kalian tahu ini. Dan juga dalam politik. Dan ini yang jelek. Kalau pemerintah tidak jujur, ia berusaha membungkam lawan-lawannya dengan bersungut-sungut. Selalu ada nista, fitnah, dengan mencari sesuatu [untuk dikritik]. Dan kalian pasti tahu pemerintahan yang diktator, karena kalian telah mengalaminya. Apa yang membuat pemerintahan diktator? Pertama, mengendalikan sarana-sarana komunikasi dengan undang-undang, dan dari sana, ia mulai menggerutu, meremehkan semua orang yang merupakan bahaya bagi pemerintah. Menggerutu adalah makanan harian kita, pada tingkat pribadi, keluarga, paroki, keuskupan, sosial.
Persoalannya adalah mencari cara “untuk tidak melihat kenyataan,” kata Paus Fransiskus, “tidak mengizinkan orang untuk berpikir.” Yesus tahu ini, kata Paus, tetapi Tuhan itu baik, dan “bukannya mengutuk mereka karena menggerutu,” Dia mengajukan pertanyaan. “Dia menggunakan metode yang mereka gunakan.” Mereka mengajukan pertanyaan dengan niat jahat, untuk menguji Yesus, “untuk membuat Dia jatuh.” Misalnya, saat mereka bertanya kepada-Nya tentang membayar pajak, atau tentang perceraian. Yesus bertanya kepada mereka, dalam Injil hari ini, “Siapa di antara kamu, yang memiliki seratus ekor domba, dan jikalau dia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya?” Dan “normal bagi mereka untuk mengerti.” Malah mereka menghitung: “Saya punya 99,” jadi bagaimana jika kehilangan satu?
“Kami akan membiarkan yang satu ini binasa, dan … kami akan menyelamatkan (domba-domba) ini.” Inilah logika para ahli Taurat. “Siapa di antara kalian?” Dan pilihan mereka adalah kebalikan dari Yesus. Untuk alasan ini, mereka tidak datang berbicara dengan orang-orang berdosa, mereka tidak datang kepada para pemungut pajak, mereka tidak datang karena ‘lebih baik tidak mengotori diri saya dengan orang-orang ini, itu adalah risiko. Mari selamatkan diri kita sendiri. Yesus pintar dalam menanyakan pertanyaan ini kepada mereka: Dia masuk ke dalam permainan kata-kata mereka, tetapi menempatkan mereka pada posisi yang bertentangan dengan apa yang benar. “Siapa di antara kalian?” Dan tidak seorang pun dari mereka berkata, ‘Ya, itu benar,’ tetapi mereka semua berkata, ‘Tidak, tidak, saya tidak akan melakukannya.’ Dan karena alasan ini mereka tidak dapat memaafkan, berbelaskasih, menerima.
Akhirnya, Paus meringkas tiga “kata” yang menjadi renungannya: “kesaksian” yang provokatif, dan membuat Gereja bertumbuh, bersungut-sungut” yang seperti “penjaga jati diri saya, sehingga kesaksian tidak melukai saya,” dan “pertanyaan” Yesus. Paus Fransiskus kemudian menambahkan kata lain: sukacita, pesta, yang orang-orang ini tidak tahu: “Semua orang yang mengikuti jalan para ahli Taurat, tidak mengetahui sukacita Injil,” kata Paus. Dan paus mengakhiri dengan doa, “Agar Tuhan membuat kita memahami logika Injil ini, berbeda dengan logika dunia.”(PEN@ Katolik/paul c pati berdasarkan laporan Debora Donnini dari Vatican News)