Renungan berdasarkan Bacaan Injil Minggu ke-30 di Masa Biasa, 28 Oktober 2018: Markus 10: 46-52
“Yesus, anak Daud, kasihanilah aku.” (Markus 10:47)
Saya mengucapkan kaul lebih dari delapan tahun yang lalu bersama dengan 12 frater lainnya. Salah satu momen paling menyentuh dalam ritual profesi religius ini adalah ketika Romo Provinsial bertanya kepada kami, “Apa yang kamu cari?” Dan kami semua bersujud dan berbaring di lantai, sambil berseru, “Belas kasih Tuhan dan juga komunitas!” Setelah beberapa saat, Pastor Provinsi meminta kami untuk berdiri, dan kami mulai mengucapkan kaul kami di hadapannya. Saat saya mengingat momen yang penting ini, saya merenungkan dalam hati saya, “Mengapa harus meminta belas kasih?” Mengapa kita tidak memilih keutamaan lainnya? Mengapa tidak keadilan, yang adalah salah satu keutamaan penting dalam tradisi Kristiani? Mengapa tidak cinta kasih, yang adalah keutamaan terbesar dari semua keutamaan?
Namun, profesi religious ini bukanlah satu-satunya. Jika kita mengamati perayaan Ekaristi Kudus, ritus ini penuhi dengan permohonan belas kasihan. Pada awal Misa, setelah kita mengingat dosa-dosa kita, kita berseru, “Tuhan, kasihanilah kami” tiga kali. Dalam doa Syukur Agung, kita sekali lagi memohon belas kasihan Tuhan agar kita bisa menikmati kehidupan kekal bersama para kudus. Dan, sebelum kita menerima Komuni Kudus, kita berdoa kepada Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia, supaya Dia berbelas kasihan kepada kita. Tidak hanya dalam Ekaristi, tetapi permohonan belas kasih juga ditemukan dalam sakramen-sakramen lainnya. Sekali lagi, pertanyaannya adalah mengapa harus belaskasih?
Kita mungkin melihat sekilas jawaban dalam Injil kita hari ini. Yesus meninggalkan Yerikho dan melakukan perjalanan terakhirnya ke Yerusalem. Kemudian, tiba-tiba Bartimeus, seorang pengemis buta, berteriak dengan penuh daya, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” Dia begitu gigih sehingga setelah ditegur oleh banyak orang, dia bahkan berteriak lebih keras. Setelah mendengar permohonan belas kasihan, Yesus yang telah menetapkan pandangannya ke Yerusalem memutuskan untuk berhenti. Yesus tidak bisa pura-pura tuli terhadap seruan Bartimeus. Dia tidak bisa mengabaikan belas kasihan. Namun, ini bukan satu-satunya episode di mana Yesus mengubah rencana awalnya dan mendengarkan permintaan belas kasihan. Dia membersihkan seorang penderita kusta karena belas kasihan (Mrk 1:41). Tergerak oleh belas kasihan, Dia memberi makan lima ribu orang (Mrk 6:30). Jika ada sesuatu yang dapat mengubah pikiran dan hati Yesus, pikiran dan hati Tuhan, ini adalah belas kasih.
Menggemakan para pendahulunya, Santo Paus Yohanes Paulus II, dan Paus Benediktus XVI, Paus Fransiskus mengatakan bahwa karakter pertama dan esensial dari Allah adalah belas kasih. Sesungguhnya, Tuhan yang penuh belas kasihan ditemukan di banyak tempat dalam Alkitab (lihat Kel 34: 6,7; Ul. 4:31; Mz 62:12, dll.). Itulah mengapa nama Tuhan adalah belas kasih.
Namun, apa yang membuat Bartimeus unik adalah bahwa ia adalah yang pertama dalam Injil Markus yang menyatakan secara verbal permohonan belas kasihan kepada Yesus. Mengikuti contoh Bartimeus, Gereja terus menjadi pengemis belas kasihan Allah. Seperti Bartimeus yang mengikuti Yesus, mengikuti-Nya berarti bahwa kita memiliki kesadaran bahwa Allah sangat berbelas kasih kepada kita dan kita membutuhkan kemurahan Tuhan. Seperti Bartimeus, kita mengungkapkan kebutuhan kita akan belas kasih Tuhan dalam ibadah kita, doa-doa kita, dan hidup kita. Kita memohon belas kasihan saat hidup menjadi sulit dan diluar kendali kita. Kita berseru “Tuhan, kasihanilah!” Ketika kita menghadapi pencobaan, atau pun saat kita gagal. Saya juga memiliki kebiasaan bahwa setiap malam sebelum saya beristirahat, saya berdoa “Tuhan, kasihilah aku!” mengakui kegagalan saya pada hari ini, namun yakin bahwa Tuhan tidak akan pernah meninggalkan saya. Kita memohon belas kasihan ketika mengetahui bahwa kita tidak layak, namun kita percaya bahwa Tuhan akan mengubah “pikiran-Nya” dan merangkul kita sekali lagi.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno OP