(Renungan berdasarkan Bacaan Injil Yohanes 6: 41-51)
Amin, amin, saya katakan kepada Anda, siapa pun yang percaya memiliki hidup yang kekal. Akulah roti hidup. (Yoh 6: 47-48)
Saat ini saya sedang menjalani pelayanan pastoral di salah satu rumah sakit di Metro Manila. Selain mengunjungi pasien dan melayani kebutuhan rohani mereka, kami juga mengikuti sesi pengolahan yang dipandu oleh seorang pengawas. Dalam salah satu sesi, pengawas kami bertanya kepada saya, “Di mana sumber utama pewartaanmu?” Sebagai anggota Ordo Pengkhotbah, saya terperangah. Reaksi awal saya adalah mengucapkan motto kami, “Contemplare, di contemplata aliis tradere (untuk berkontemplasi, dan membagikan buah dari kontemplasi).” Dia menekan lebih jauh dan bertanya apa yang ada di balik kontemplasi itu. Saya mulai bingung mencari jawaban. “Apakah ini studi? Hidup komunitas? Atau doa? Dia mengatakan bahwa semua jawaban saya adalah benar, tetapi ada sesuatu yang lebih mendasar. Saya akui saya tidak tahu. Dia pun tersenyum, dan dia mengatakan ini adalah iman.
Jawabannya sangat sederhana namun sangat masuk akal. Kita berdoa karena kita memiliki iman kepada Tuhan. Kita pergi ke gereja karena kita memiliki iman kepada Allah yang penuh belas kasih yang memanggil kita untuk menjadi umat pilihan-Nya. Sedangkan saya sendiri, saya memasuki Ordo Dominikan karena saya memiliki iman bahwa Allah yang murah hati memanggil saya untuk hidup membiara. Kita mewartakan karena kita memiliki iman pada Tuhan yang pengasih dan kita ingin berbagi Tuhan dengan sesama.
Saya telah menghabiskan bertahun-tahun belajar filsafat dan teologi di salah satu universitas ternama di Filipina, tetapi ketika saya bertemu pasien dengan penyakit dan masalah yang sangat berat, saya menyadari bahwa semua pencapaian, pengetahuan, dan kebanggaan saya itu sia-sia. Bagaimana saya akan membantu pasien untuk membayar tagihan rumah sakit dengan jumlah yang sangat besar? Bagaimana saya akan membantu pasien-pasien di saat-saat terakhir mereka? Bagaimana saya akan membantu pasien yang marah pada Tuhan atau kecewa dengan hidup mereka? Namun, saya harus ada di sana untuk mereka, dan pewartaan yang terbaik sebenarnya adalah yang paling mendasar. Ini bukan pewartaan dalam bentuk diskursus teologis, diskusi filosofis, dan khotbah atau nasihat yang panjang. Untuk mewartakan di sini adalah untuk membagikan iman saya dan untuk menerima iman mereka. Saya ada di sana untuk bersama mereka, untuk mendengarkan kisah dan pergulatan mereka, untuk berbagi sedikit canda dan tawa, dan berdoa bersama dengan mereka. Berdoa untuk mereka adalah saat-saat langka di mana saya berdoa dengan semua iman saya karena saya tahu bahwa hanya iman ini yang dapat saya berikan kepada mereka.
Dalam Injil ini, kita membaca bahwa beberapa orang Yahudi bersungut-sungut karena mereka tidak memiliki iman kepada Yesus. Namun, Yesus tidak hanya memanggil mereka untuk hanya percaya kepada-Nya, tetapi juga untuk benar-benar memakan-Nya karena Dia adalah Roti Kehidupan. Iman dalam Ekaristi sungguh menjadi penentu. Hanya dua kemungkinan: sebuah kegilaan atau iman terbesar. Sebagai umat Kristiani yang percaya pada Ekaristi dan menerima Yesus di setiap Misa, kita menerima rahmat dan tantangan luar biasa untuk memiliki dan menyatakan iman ini. Namun, ketika kita gagal untuk menghargai arti dan keindahan dari iman ini, dan hanya menerima Roti Hidup secara rutin, kita akan kehilangan iman ini.
Sebagai orang yang pergi ke gereja setiap Minggu dan menerima Ekaristi secara teratur, apakah kita benar-benar percaya kepada Yesus, Roti Hidup? Apakah iman kita memberdayakan kita untuk melihat Tuhan di tengah-tengah perjuangan dan tantangan hidup kita sehari-hari? Apakah kita memiliki iman yang dapat kita bagikan di saat yang paling penting?
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno OP