(Renungan berdasarkan bacaan Minggu ke-10 dalam Masa Biasa, 10 Juni 2018, Markus 3: 20-35)
“Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku’ (Mrk 3:35).”
Dalam kebudayaan Israel kuno dan juga banyak budaya di Asia dan Afrika, keluarga adalah inti dari identitas seseorang. Seseorang dilahirkan, tumbuh, menjadi tua dan wafat dalam keluarga. Sewaktu uskup agung Pontianak, Agustinus Agus memberi ceramah di University of Santo Tomas, Manila, dia bangga sebagai bagian suku Dayak yang berasal rumah betang. Dalam budaya tradisional suku Dayak, sebuah keluarga besar atau klan tinggal, hidup dan melakukan rutinitas bersama di rumah besar dan panjang. Inilah rumah betang.
Ketika saya bertanya kepada beberapa teman Filipina saya, “Jika rumah kamu terbakar, apa hal pertama yang akan kamu selamatkan?” Jawaban mereka bukanlah uang, dokumen penting atau perhiasan, tetapi foto keluarga! Pada tahun 1977, Presiden Tanzania Julius Nyerere, salah satu tokoh Afrika paling terkenal waktu itu, mengunjungi Amerika Serikat dan berbicara di depan para mahasiswa Afrika yang belajar di sana. Di depan mereka, dia mengkritik orang-orang Afrika yang menerima banyak dukungan dari keluarga dan suku mereka, namun menolak untuk kembali ke tanah Afrika setelah belajar. Itu adalah tindakan pengecut dan pengkhianatan ke Afrika.
Namun, membaca Injil hari ini dengan seksama, umat Katolik yang baik akan terkejut. Kita tentunya mengharapkan Yesus menyambut dengan baik Maria, ibu-Nya, dan saudara-saudaranya yang datang dan mencari Dia. Anehnya, Yesus tidak melakukan apa yang diharapkan, tetapi sebaliknya Dia mengambil kesempatan itu untuk menunjukkan siapa keluarga baru-Nya, “Ia melihat kepada orang-orang yang duduk di sekeliling-Nya itu dan berkata, ‘Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku’”(Mrk 3:34-35) Kata-kata Yesus terkesan keras karena Yesus tampaknya tidak memasukkan Maria dan saudara-saudara-Nya dari komposisi keluarga baru-Nya. Apakah ini berarti Yesus tidak menghormati Maria, yang adalah orang tua-Nya? Apakah ini berarti bahwa keluarga biologis dan tradisional tidak memiliki nilai?
Jawabannya jelas tidak. Tentu saja, Yesus menghormati dan mengasihi ibu-Nya. Yesus juga mengajarkan kekudusan sebuah pernikahan dan kehidupan keluarga (lihat Mat 5:31-32; Mat 19:19). Jemaat Gereja perdana juga mengikuti ajaran Yesus tentang integritas sebuah pernikahan dan kehidupan keluarga, sebagaimana tercermin dalam surat-surat St. Paulus (lihat 1 Kor 7: 1-17; Ef 6: 1-5). Kita yakin bahwa bagi Yesus, pernikahan dan keluarga itu baik. Namun, inti dari Injil kita hari ini adalah Yesus memanggil kita semua untuk melampaui hubungan alami ini. Keluarga baru Yesus tidak didasarkan pada darah tetapi berakar pada iman dan kemauan kita menjalankan kehendak Allah. Ini juga panggilan yang Yesus alamatkan kepada Maria dan sanak saudara-Nya. Tentunya, Maria menjadi model iman ketika dia mematuhi kehendak Allah saat ia menerima Kabar Sukacita (Luk 2: 26-38), ketika ia mengikuti Yesus bahkan sampai ke salib (Yoh 19: 25-26) dan setia berdoa bersama dengan Gereja perdana (Kis 1:14). Santo Agustinus pun mengatakan dalam kotbahnya, “Suatu berkat yang lebih besar bagi Maria karena ia telah menjadi murid Kristus daripada menjadi ibu Kristus.”
Keluarga sebagai institusi itu baik, tetapi Yesus mengajarkan bahwa kita perlu menjadi murid-Nya Yesus terlebih dahulu sebelum kita menjadi anggota keluarga yang baik. Kalau tidak, keluarga akan terbuka terhadap godaan sang jahat. Korupsi, nepotisme, dan kronisme adalah praktik jahat yang berakar dalam keluarga. Sisi ekstrim lainnya adalah ketika saudara saling bertikai, bahkan membunuh, karena rebutan warisan seolah-olah mereka tidak berasal dari rahim yang sama. Adalah kehendak Tuhan bahwa kita setia, bahwa kita melakukan keadilan, bahwa kita berbelas kasih terutama bagi yang lemah dan miskin. Tanpa nilai-nilai Kristiani, keluarga tidak akan menjadi sumber kebaikan. Menggemakan kata-kata St. Agustinus, menjadi bagian dari keluarga adalah sebuah berkat, tetapi menjadi murid Kristus adalah berkat yang jauh lebih besar.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno OP