Setiap tahun pada hari Minggu sebelum Pentakosta, Gereja merayakan Hari Komunikasi se-Dunia untuk merayakan prestasi media dan untuk memfokuskan pada cara mengunakan komunikasi sebaik mungkin untuk mempromosikan nilai-nilai Injil.
Menjelang Hari Komunikasi se-Dunia ke-52 pada hari Minggu ini, Paus Fransiskus merilis pesan berjudul “Kebenaran itu akan memerdekakan kamu. Berita palsu dan jurnalisme untuk perdamaian.”
Jurnalisme damai pertama diartikan sekitar 60 tahun yang lalu oleh cendekiawan tentang perdamaian terkemuka, Johan Galtung. Dia menyebut jurnalisme damai sebagai model dan sumber pilihan praktis bagi para wartawan.
Galtung sendiri mendefinisikan jurnalisme damai sebagai saat “ketika editor dan wartawan membuat pilihan – apa yang akan dilaporkan, dan bagaimana melaporkannya – yang menciptakan peluang bagi masyarakat luas untuk mempertimbangkan dan menghargai tanggapan-tanggapan tanpa kekerasan terhadap konflik.”
Ketika berbicara kepada Alessandro Gisotti dari Vatican News, Galtung menjelaskan bagaimana dia menguraikan konsep “jurnalisme damai” dan mengungkapkan rasa terima kasihnya atas perhatian dan dukungan Paus Fransiskus.
Galtung menjelaskan, dengan hanya mempelajari dan menganalisis cara berita dilaporkan di surat kabar Norwegia selama tahun 1960-an, “dan itu ketika kami berbicara tentang Kuba dan Kongo,” ia menyadari empat kesimpulan bahwa berita itu: harus negatif (harus memiliki sesuatu yang berhubungan dengan perang dan kekerasan), harus ‘berorientasi pada aktor’ bukan struktur atau harus ada seseorang yang disalahkan, harus mempengaruhi negara-negara kita (negara-negara elit), dan khususnya mempengaruhi orang-orang penting di negara-negara penting.
Maka, jelasnya, ambillah peristiwa apapun dan lihatlah apakah peristiwa itu memenuhi satu atau semua dari empat kriteria ini. “Pada titik ini, peristiwa itu mudah menjadi berita,” tegasnya.
Enam puluh tahun sejak Galtung menguraikan konsep “jurnalisme damai”, ia berbicara tentang apa artinya konsep itu saat ini dan menunjukkan bahwa ia fokus pada konsep perdamaian dan sampai pada kesimpulan bahwa ada perbedaan antara perdamaian “positif” dan perdamaian “negatif.”
“Jurnalisme damai terbagi dua: jurnalisme damai ‘negatif’, yang mencoba memecahkan konflik untuk mengurangi kekerasan; dan jurnalisme damai ‘positif’, yang ingin menjajaki kemungkinan kerjasama yang lebih positif. Dengan kata lain, yang pertama berfokus pada aspek negatif dan yang kedua pada aspek positif,” katanya.
Paus Fransiskus mendedikasikan Pesan Hari Komunikasi se-Dunia 2018 untuk “jurnalisme damai” dan Galtung berterima kasih untuk itu. Dia percaya bahwa Paus Fransiskus adalah salah satu dari tokoh-tokoh positif terbesar zaman kita dan “jelas, saya sangat terpukul dengan pendiriannya pada konsep seperti “jurnalisme damai” dan dukungannya adalah dorongan besar.
Mengomentari penegasan Paus Fransiskus dalam pesannya bahwa “perdamaian adalah berita yang sebenarnya,” Galtung menjawab, “Mengapa begitu sulit bagi media untuk menginformasikan tentang perdamaian? Kenapa media nampak hanya tertarik pada perang?” Menurut Galtung, ini “karena mereka tidak tahu bagaimana menulis tentang perdamaian, bahkan mereka tidak tahu bagaimana membuat konsep perdamaian!”
Dia mencatat kasus luar biasa di Denmark ketika tiba-tiba orang-orang mulai bicara tentang ‘rekonsiliasi’, tentang rekonsiliasi yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Denmark di masa lalu dan para wartawan tidak menulis tentang itu karena mereka bahkan tidak mengerti tentang itu!
Dia juga menyatakan pendapatnya bahwa para wartawan perempuan umumnya lebih peduli dan lebih mampu menempatkan “jurnalisme damai” ke dalam praktik daripada rekan pria mereka.
Galtung mengakhiri pembicaraan dengan menekankan bahwa budaya “Jurnalisme Damai” berakar pada pendidikan dan pelatihan jurnalis, dan tidak menerima begitu saja pedoman yang ditetapkan oleh beberapa sekolah tinggi jurnalistik di dunia saat ini, guna melepaskan diri dari model negatif dan memperkenalkan konsep “Jurnalisme Damai”. (paul c pati berdasarkan Vatican News)