Demonstrasi-demonstrasi yang kini berlangsung di Republik Demokratik Kongo, dengan tuntutan agar Presiden Joseph Kabila mengundurkan diri, juga diikuti oleh kelompok Katolik dengan nama yang Komite Koordinasi Awam.
Dalam pawai protes di Kinshasa, 25 Februari 2018, dua orang tewas dan puluhan lainnya cedera saat bentrokan dengan polisi dan militer. Ada juga yang tewas dalam demonstrasi serupa di kota Mbandaka, demikian laporan John Waters dari Vatican News.
Pawai itu merupakan protes atas usulan Presiden Republik Demokratik Kongo , Joseph Kabila, untuk menjalani masa jabatan ketiga. Sekarang hal itu dilarang, berdasarkan konstitusi negara. Lebih dari 3 juta orang diperkirakan bergerak menuju ibu kota, serta sejumlah kota provinsi lainnya. Polisi yang disebarkan di jalan-jalan menembakkan gas air mata serta tembakan peringatan guna membubarkan para pemrotes.
Banyak pemrotes itu adalah umat Katolik, yang menjadi anggota kelompok bernama Komite Koordinasi Awam, yang memiliki hubungan erat dengan Gereja Katolik di negara itu. Dalam pawai itu, komite itu memperlihatkan pernyataan yang berbunyi “Pengorbanan orang-orang yang tewas kemarin demi kebebasan di negara kita tidak akan sia-sia. Anggaran yang mengerikan ini harus ditambahkan dengan puluhan orang terluka, penangkapan dan pencemaran gereja-gereja serta korban agresi dan kebrutalan oleh polisi dan milisi. Kutukan tegas untuk perilaku yang tidak dapat dibenarkan dalam menghadapi orang-orang yang tampil secara damai dengan rosario, kitab suci, salib dan daun-daun zaitun di tangan mereka.”
Komite itu terus memuji perilaku banyak rakyat biasa Kongo dalam “perjuangan mereka untuk tujuan bersama kita.” Mereka juga meminta polisi untuk terus komit melindungi penduduk, dengan mengatakan, “Tidak akan berhenti sampai kita mendapatkan kembali martabat dan kebebasan kita.”
Joseph Kabila telah menjabat sebagai Presiden Republik Demokratik Kongo sejak 2006. Dia adalah mantan Kepala Angkatan Darat dan putra mantan Presiden Kongo, Laurent-Desire Kabila. Dia menggantikan ayahnya sebagai Presiden Kongo setelah ayahnya dibunuh tahun 2001 dan terlibat dalam negosiasi untuk mengakhiri Perang Kongo Kedua tahun 2004. Dia boleh terus berkuasa ketika konstitusi yang baru sedang disusun tahun 2006. Pemilihannya kembali di tahun 2011 banyak diperdebatkan karena tuduhan penyimpangan suara.
Desember 2016, juru bicara Kabila memperkirakan bahwa pemilihan Presiden yang baru tidak akan berlangsung sampai April 2018.(pcp berdasarkan Vatican News)