Mgr Suharyo: Kendati begitu beragam, kita adalah satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa

0
1958
Mgr Suharyo
Mgr Suharyo dalam perayaan REBA Ngada 2018 di Anjungan NTT TMII, Foto dari dok KAJ

Ketika memasuki masa Prapaskah 2018, KAJ sedang menjalani Tahun Persatuan dengan semboyan “Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita Indonesia”. “Kita ingin memaknai pengalaman hidup kita, khususnya dalam konteks kesatuan dan kebhinekaan bangsa kita, sebagai karya Allah. Kita bersyukur karena Tuhan menyapa kita juga melalui pengalaman keragaman berbangsa”.

Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo menulis hal itu dalam Surat Gembala Prapaskah 2018 bertema “Kita Bhinneka, Kita Indonesia” yang dibacakan di gereja-gereja di KAJ sebagai pengganti khotbah Misa 10 dan 11 Februari 2018.

Keragaman itu, jelas Mgr Suharyo, tercermin antara lain dalam angka-angka ini, “Negara dan Bangsa Indonesia terdiri dari 17.504 pulau, 1.340 suku bangsa dan 546 bahasa. Kendati begitu beragam, kita adalah satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa.”

Dalam surat gembala tertanggal 9 Februari 2018 itu, Mgr Suharyo menegaskan bahwa “Kita hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai rumah kita bersama.” Maka umat diajak mensyukuri kesatuan dan sekaligus keragaman itu, antara lain dalam Doa Prefasi Tanah Air: “Berkat jasa begitu banyak tokoh pahlawan, Engkau menumbuhkan kesadaran kami sebagai bangsa, … kami bersyukur atas bahasa yang mempersatukan, … dan atas Pancasila dasar kemerdekaan kami”.

Sebagai bangsa beragam, lanjut uskup, “kita mempunyai cita-cita yang sama, yaitu mewujudkan negara yang berketuhanan, adil dan beradab, bersatu, berhikmat dan bijaksana serta damai dan sejahtera.”

Namun di lain pihak, lanjut prelatus itu, umat KAJ tidak bisa menutup mata terhadap peristiwa-peristiwa yang menjauhkan mereka dari cita-cita sebagai bangsa. “Secara khusus berkaitan dengan cita-cita Persatuan Indonesia, kita menyaksikan perbedaan yang seharusnya menjadi rahmat, seringkali justru tampak sebagai penghambat.”

Mgr Suharyo mengutip salah satu penelitian yang dilakukan Wahid Foundation bekerjasama dengan Lembaga Survei Indonesia, April 2016, yang menunjukkan bahwa 59,9% dari responden yang diminta tanggapannya, “memiliki kelompok yang dibenci.” Kalau benar demikian, tegas uskup agung itu, “bukan persatuan dalam kebhinekaan yang tumbuh, tetapi kebencian yang menjadi wajah masyarakat kita.

Juga dikutip hasil penelitian CSIS Agustus 2017 bahwa generasi muda (usia 17-29 tahun di 34 provinsi) menyatakan optimis mengenai masa depan Indonesia: 26,9% sangat optimis, 62,3% cukup optimis, dan mereka juga tidak setuju (52%) atau kurang setuju (32%) mengganti Pancasila dengan ideologi lain.

Namun, dalam penelitian yang sama diungkap, 58,4% tidak menerima pemimpin berbeda agama. “Angka-angka itu menunjukkan ada sesuatu yang tidak baik, tidak ideal dalam hidup kita sebagai bangsa,” tegas Mgr Suharyo yang menegaskan bahwa dalam kenyataan seperti itu iman kita menuntut untuk peduli. “Kita ingin mewujudkan kepedulian dengan terus-menerus berusaha mengamalkan Pancasila. Kita ingin mengubah tantangan-tantangan ini menjadi kesempatan untuk mewujudkan iman dengan melakukan gerakan-gerakan nyata, mulai dari yang paling sederhana.”

Sesuai tema tahun persatuan 2018, uskup berharap semoga masa Prapaskah “menjadi kesempatan istimewa bagi kita untuk makin mampu memahami kehendak Allah bagi bangsa kita, khususnya terkait dengan kesatuan dan keragaman bangsa kita,” serta semoga “kita makin mampu mengalami dan merasakan kehadiran-Nya yang menyelamatkan dan kita dikuatkan dalam upaya merawat dan menjaga persatuan dalam kebhinekaan kita dalam upaya menghadirkan Kerajaan Allah di tengah masyarakat.”

Dalam surat gembala itu juga ditulis banyak program yang ditawarkan oleh Panitia Penggerak Tahun Persatuan di lingkungan, paroki, sekolah, dan komunitas-komunitas yang dapat langsung dijalankan, misalnya menyanyikan lagu “Kita Bhinneka – Kita Indonesia”, mendaraskan Doa Tahun Persatuan, mengadakan kenduri paroki, buka puasa bersama, piknik kebangsaan dengan mengunjungi tempat bersejarah nasional dan banyak hal lain yang terdapat dalam buku “Pedoman Karya dan Inspirasi Gerakan Pastoral-Evangelisasi Tahun Persatuan Keuskupan Agung Jakarta”.

Ada upaya lain sesuai kebutuhan setempat. Tapi yang penting, menurut uskup, “kita berusaha (mulai dari lingkup RT/RW) mempererat persaudaraan dalam masyarakat, tanpa membedakan agama, suku, etnis, dan perbedaan lain. “Harapannya, dalam upaya berkesinambungan dan saling terkait, usaha-usaha kita membangun persatuan dalam keragaman akan berbuah dalam wujud habitus dan budaya baru.”

Ketika habitus dan budaya baru bertumbuh dan berkembang, Mgr Suharyo percaya, “bertumbuh dan berkembang pulalah Kerajaan Allah, kerajaan kebenaran, keadilan, cinta kasih dan damai sejahtera.” (paul c pati)

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here